Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden AS, Donald Trump, bertemu dengan Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, 21 Mei 2025, di Kantor Oval
Presiden AS, Donald Trump, bertemu dengan Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, 21 Mei 2025, di Kantor Oval. (Foto Resmi Gedung Putih oleh Daniel Torok, Public Domain, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Trump menolak hadir di KTT G20 di Afrika Selatan karena tuduhan pelanggaran HAM dan kebijakan kontroversial pemerintah setempat.

  • Afrika Selatan tetap siap menjadi tuan rumah KTT G20 dan menegaskan komitmennya terhadap solidaritas, kesetaraan, dan keberlanjutan.

  • G20 tidak memiliki mekanisme pengusiran anggota, sehingga sulit untuk mengeluarkan negara dari pertemuan tersebut meskipun terjadi konflik atau ketegangan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menegaskan bahwa ia tidak akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Afrika Selatan.

“Afrika Selatan seharusnya tidak lagi berada di G lagi, karena apa yang terjadi di sana buruk,” ujarnya dalam pidato di American Business Forum, Miami pada Rabu (5/11/2025), dikutip dari Anadolu Agency.

Trump, yang sejak lama menyoroti isu diskriminasi terhadap warga kulit putih di Afrika Selatan, akhirnya memilih absen dari KTT tersebut dan menugaskan Wakil Presiden JD Vance sebagai perwakilan AS.

1. Tuduhan pelanggaran HAM dan kebijakan kontroversial

Presiden AS Donald Trump berbicara di CPAC Februari 2011. (Mark Taylor from Rockville, USA, CC BY 2.0, via Wikimedia Commons)

Trump sebelumnya menuding pemerintah Afrika Selatan melakukan pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Ia menyoroti kebijakan penyitaan tanah tanpa kompensasi yang dianggapnya tidak adil.

“Bagaimana kita bisa diharapkan pergi ke Afrika Selatan untuk pertemuan G20 yang sangat penting ketika perampasan tanah dan genosida menjadi topik pembicaraan utama?” katanya pada April lalu.

Pada Februari lalu, Trump menerbitkan Executive Order 14204 yang menginstruksikan lembaga federal AS membantu pemukiman kembali warga Afrikaner kulit putih, yang disebut sebagai korban diskriminasi rasial, sambil memangkas bantuan ke Afrika Selatan, dilansir dari Yeni Şafak.

Langkah itu diambil setelah Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menandatangani undang-undang yang mengizinkan penyitaan tanah tanpa ganti rugi dalam kasus tertentu. Aturan tersebut menuai kontroversi karena sebagian besar lahan pertanian di negara itu dimiliki oleh warga kulit putih, yang hanya mencakup sekitar 7 persen dari populasi.

Pemerintah Afrika Selatan membantah tuduhan itu dan menilai klaim Trump tidak sesuai fakta. Mereka menyebut isu genosida terhadap warga kulit putih tidak berdasar, sebab data kriminalitas terbaru menunjukkan tingkat kekerasan terhadap kelompok itu tidak lebih tinggi dibanding ras lain.

2. Afrika Selatan tegaskan siap gelar KTT G20

Bendera Afrika Selatan (pexels.com/Engin Akyurt)

Juru bicara kepresidenan, Vincent Magwenya, mengatakan kepada BBC bahwa Afrika Selatan tetap percaya diri menjadi tuan rumah KTT G20 di Johannesburg bulan ini. Pemerintah juga sempat mengecam keputusan AS yang memprioritaskan pengungsi Afrikaner keturunan Belanda-Prancis.

Tema G20 tahun ini menyoroti solidaritas, kesetaraan, dan keberlanjutan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Chrispin Phiri, menilai posisi negaranya unik untuk memperjuangkan nilai tersebut.

“Menggambar perjalanan kita sendiri dari pembagian ras dan etnis ke demokrasi, Afrika Selatan secara unik diposisikan untuk memperjuangkan masa depan solidaritas sejati di dalam G20, di mana kemakmuran bersama menjembatani ketidaksetaraan yang dalam,” katanya kepada BBC.

Ia menambahkan bahwa pemerintah berkomitmen membangun kerja sama yang berfokus pada keberlanjutan dan pembangunan guna mengatasi dampak kolonialisme di benua Afrika.

Upaya diplomatik juga telah dilakukan oleh Presiden Ramaphosa melalui kunjungan ke Gedung Putih pada Mei lalu bersama sejumlah tokoh politik kulit putih dan pegolf ternama Afrika Selatan. Namun, pertemuan itu berlangsung panas setelah Trump menuding petani kulit putih dibunuh menggunakan bukti yang telah dibantah. Tak lama setelah itu, pada Agustus, AS memberlakukan tarif ekspor 30 persen terhadap Afrika Selatan, angka tertinggi di kawasan sub-Sahara.

3. G20 tak punya mekanisme pengusiran anggota

Pertemuan anggota G20 di Rio de Janeiro, Brasil. (Foto Resmi Gedung Putih oleh Adam Schultz, public domain, via Wikimedia Commons)

G20 dibentuk pada 1999 setelah krisis keuangan Asia sebagai forum kerja sama ekonomi global, yang kini mencakup 85 persen kekayaan dunia. KTT para pemimpin negara pertama digelar pada 2008 untuk memperkuat stabilitas ekonomi melalui koordinasi internasional.

Setiap tahun, para pemimpin negara anggota, bersama Uni Eropa dan Uni Afrika, berkumpul membahas isu ekonomi dunia. Tidak ada aturan yang memungkinkan pengusiran anggota karena G20 bukan organisasi berbasis traktat seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Jika sebuah negara akan diusir, itu pada dasarnya berarti bahwa itu dikeluarkan dari pertemuan - itu tidak diundang ke pertemuan oleh siapa pun yang menjadi tuan rumah G20 tahun itu,” kata Dr Andrew Gawthorpe dari Foreign Policy Centre kepada BBC.

Ia menjelaskan bahwa keputusan semacam itu jarang terjadi karena harus ada kesepakatan di antara seluruh anggota. Sebagai contoh, Rusia dikeluarkan dari G8 setelah mencaplok Krimea pada 2014.

Rusia sendiri masih menjadi bagian dari G20 meski banyak negara menyerukan pengusirannya pasca-invasi ke Ukraina pada 2022. Karena forum ini berbasis konsensus, kesepakatan semacam itu sulit dicapai. Setelah KTT di Afrika Selatan, AS dijadwalkan memegang presidensi berikutnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team