Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret Muqtada al-Sadr, ulama syiah Irak (twitter.com/AlWeghar)
Potret Muqtada al-Sadr, ulama syiah Irak (twitter.com/AlWeghar)

Tangerang Selatan, IDN Times - Seorang ulama Syiah ternama, Muqtada al-Sadr, mengumumkan pengunduran diri dari urusan politik Irak. Hal itu diungkap usai rentetan kebuntuan politik yang terjadi di negaranya dalam membentuk pemerintahan baru.

"Saya telah memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan politik. Oleh karena itu saya mengumumkan sekarang pensiun definitif saya," kata Sadr.

Melalui Twitter, dia menyebut bahwa semua institusi yang berkaitan dengan gerakan Sadrist akan ditutup. Terkecuali tempat makam ayahnya, yang dibunuh pada 1999 dan fasilitas warisan lainnya.

1. Irak hampir 1 tahun tanpa pemerintahan baru

Melansir Reuters, pada Sabtu (27/8/2022) dirinya mengatakan bahwa semua pihak (termasuk al-Sadr) harus melaksanakan tugas pemerintahan untuk membantu menyelesaikan krisis politik yang telah berlangsung berbulan-bulan.

Kebuntuan politik sejak pemilihan legislatif pada oktober 2021 membuat Irak berjalan tanpa pemerintahan baru, baik tanpa perdana menteri ataupun presiden. Hal itu karena ada ketidaksepakatan antara faksi-faksi mengenai pembentukan koalisi.

Sebelumnya, Sadr dan para pendukungnya telah menyerukan pembubaran parlemen dan membentuk pemilihan umum terbaru. Namun, dia mengatakan bahwa tindakan itu tidak terlali penting.

Sebaliknya, ia menegaskan bahwa semua partai dan tokoh yang telah menjadi bagian dari proses politik, tidak perlu berpartisipasi kembali. Pernyataan itu merujuk kepada semua pihak yang pernah atau berkuasa sejak invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003.

"Itu termasuk gerakan Sadrist," katanya, seraya menambahkan bahwa dia bersedia menandatangani kesepakatan tersebut dalam waktu 72 jam.

Al-Sadr merupakan ulama syiah yang memiliki jutaan pengikut setia di Irak. Dia pernah memimpin suatu milisi dalam melawan pasukan AS dan pemerintahannya, terhitung sejak lengsernya diktator Saddam Hussein pada 2003.

2. Pendukung Sadr tolak pencalonan PM Irak dari kalangan pro-Iran

Selama berminggu-minggu, para pendukung Sadr melakukan protes dengan aksi duduk di luar gedung parlemen Irak, setelah sebelumnya menyerbu gedung parlemen pada 30 Juli untuk mendesak tuntutan mereka.

Mereka protes karena saingan syiah mereka, Kerangka Koordinasi pro-Iran, memilih kandidat perdana menteri yang dinilai tidak layak untuk menjabat. Saingan al-Sadr disebut ingin kepala pemerintahan baru diangkat sebelum pemilihan baru diadakan. 

Perdana Menteri sementara, Mustafa al-Kadhemi, pada awal bulan ini mengadakan pembicaraan krisis dengan para pemimpin partai. Namun, hal itu tetap saja diboikot oleh pendukung al-Sadr.

3. Pertikaian politik disebut tidak mewakili perjuangan masyarakat Irak

Melansir Al Arabiya, warga Irak menganggap bahwa pertikaian politik di negaranya tidak ada hubungannya dengan perjuangan mereka sehari-hari. Negara tersebut telah dirusak oleh konflik selama beberapa dekade dan korupsi endemik.

Meski kaya dengan minyak bumi, Irak memiliki berbagai permasalahan seperti infrastruktur, pengangguran, dan layanan publik yang jauh dari kata memadai.

Negara tersebut juga tengah menghadapi kekeringan yang melanda di sebagian besar wilayahnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team