potret Art Shibayama, aktivis HAM Jepang di Peru (instagram.com/tessakuproject)
Dwyer dan Lovell di tahun 1990 mempublikasikan uji perbandingan antara pendapatan pendatang asal Jepang dan Eropa di Brasil lewat tulisan mereka yang berjudul 'Earnings Differentials between Whites and Japanese: The Case of Brazil'. Survei tersebut membuktikan bahwa imigran asal Jepang cenderung memiliki pendapatan yang lebih tinggi.
Hal ini juga diamini oleh McKenzie dan Salcedo dalam jurnal International Migration yang menemukan bahwa sebagian besar imigran Jepang di tahun 2000an sudah mengisi pos-pos pekerjaan kerah putih. Fenomena macam ini juga bisa ditemukan di Argentina dan Meksiko, meskipun populasi mereka tak sebesar Brasil.
Sedikit berbeda dengan imigran Jepang di Peru yang berusaha untuk hidup low-profile. Menurut tulisan Takenaka yang berjudul 'The Japanese in Peru: History of Immigration, Settlement, and Racialization', imigran Jepang di Peru kebanyakan bekerja sebagai pebisnis yang memulai usahanya dari bawah. Mereka pernah menjadi sasaran rasis dan kebencian di tahun 1940an karena Perang Dunia II sehingga menyisakan trauma tersendiri.
Ketika Alberto Fujimori mencalonkan presiden di tahun 1990an, kebanyakan warga Jepang tidak mendukungnya. Mereka khawatir Fujimori tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan akan semakin memperburuk citra warga Jepang di Peru. Fujimori kemudian dikenal sebagai penyelamat ekonomi Peru. Namun, di sisi lain melakukan sejumlah pelanggaran HAM berat.
Melansir McKenzie dan Salcedo, kondisi ekonomi yang membaik dan jumlah penduduk Jepang yang tak sepadat dulu membuat arus migrasi dari Jepang ke Amerika Latin pun hampir tak lagi ada. Komunitas Jepang di Brasil, Peru, Bolivia, dan negara-negara lain merupakan keturunan kesekian dari pekerja migran di masa lalu yang menetap.