Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Logo perusahaan farmasi Pfizer (www.fiercebiotech.com)

Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman menyambut baik informasi vaksin buatan perusahaan farmasi Amerika Serikat, Pfizer dan BioNTech, diklaim 90 persen ampuh mencegah manusia terinfeksi COVID-19. Namun, dia mengingatkan bahwa informasi tersebut baru hasil penelitian awal. 

Publik masih harus menunggu Pfizer menyampaikan data hasil penelitian mereka di jurnal ilmiah. Data yang harus dipaparkan antara lain mengenai keampuhan, respons imun (daya tahan tubuh), keamanan dan tantangan logistik. Dicky menyebut agar vaksin tersebut bisa digunakan, maka harus disimpan di suhu minus 70 derajat celcius. 

"Di Indonesia, alat ini (penyimpanan di suhu minus 70 derajat celcius) belum ada. Maka, kalau mau ya impor utuh, artinya nanti termasuk diberi alat penyimpanannya," ungkap Dicky melalui pesan pendek kepada IDN Times, Selasa (10/11/2020). 

Dicky memprediksi bila vaksin itu sudah siap edar, maka harganya tidak murah. Ia pun menyarankan agar strategi pembelian vaksin harus diversifikasi. 

Di sisi lain, Dicky juga mengajak publik lebih kritis dalam mencermati klaim yang disampaikan dua perusahaan farmasi itu. Klaim berhasil menurunkan 90 persen kasus COVID-19 bergejala, tidak sama dengan vaksin dianggap sukses mencegah agar individu tidak terpapar COVID-19. Di mana letak perbedaannya?

1. Vaksin buatan Pfizer baru terbukti bisa mengurangi gejala yang muncul bila terpapar COVID-19

Ilustrasi penyuntikan vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Dicky mengatakan, data dari Pfizer tidak menunjukkan individu yang disuntik vaksin tersebut lalu menjadi kebal dari COVID-19. Peluang terpapar virus corona tetap ada meski sudah disuntik vaksin, namun gejala yang ditunjukkan jauh lebih berkurang. 

"Orang yang memiliki gejala penyakit COVID-19 yang ringan tentu tidak akan menjadi beban bagi rumah sakit dan menyebabkan kematian. Namun, meski tidak bergejala, orang ini masih mungkin menularkan virusnya kepada orang lain," kata Dicky yang mengoreksi beberapa media yang keliru membaca pengumuman yang disampaikan Pfizer mengenai data awal hasil riset mereka. 

Oleh sebab itu, Dicky mengajak publik agar tidak cepat berpuas diri terlebih dulu. Berdasarkan data awal yang dirilis Pfizer, setiap orang yang menerima dua suntikan vaksin dalam waktu tiga minggu mengalami 90 persen lebih sedikit kasus COVID-19 bergejala, dibandingkan mereka yang menerima plasebo. 

Apa yang diucapkan Dicky sesuai dengan pemaparan laman QZ. Apalagi dari rilis Pfizer, dari 43.538 relawan, baru 38.955 relawan yang telah menerima dua suntikan berisi kandidat vaksin atau plasebo.

Bahkan, 94 relawan di antaranya akhirnya terpapar COVID-19. Harian Washington Post bahkan melaporkan hanya sedikit relawan yang benar-benar disuntikan kandidat vaksin COVID-19. Artinya, sebagian besar relawan diberi plasebo. 

Sedangkan, hasil riset awal Pfizer menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Lantaran usai disuntik vaksin, bisa berpeluang besar bila terpapar COVID-19, hanya mengalami penyakit ringan dan tak perlu dirawat di rumah sakit. Warga cukup melakukan isolasi mandiri, namun Dicky mengingatkan pasien dengan gejala ringan tetap bisa menularkan virus mematikan ini ke orang lain. 

"Memang, artinya mayoritas atau 90 persen merupakan pasien tanpa gejala. Tetapi, bila mereka menularkan virus ke 10 persen pasien dengan gejala, bukan tidak mungkin 10 persen pasien itu kondisinya akan semakin memburuk hingga meninggal dunia," tutur dia. 

2. Epidemiolog menyarankan publik menunggu hasil riset awal vaksin Pfizer diterbitkan di jurnal ilmiah

Editorial Team