Kisah Pilu dari Afghanistan: "Dunia Meninggalkan Kami Sendirian"

Sophia berkisah tentang hidup dan takutnya terhadap Taliban

Jakarta, IDN Times – Mimpi buruk 20 tahun silam kembali menghantui Sophia. Lebih mengerikan lagi, bayang-bayang itu tidak lagi bersembunyi dalam gulita. Mereka hadir di perkantoran, di sekolahan, di restoran, bahkan di jalanan siang dan malam.

“Taliban ada di mana-mana, mereka di seluruh Afghanistan, berkeliling dengan senjata mereka,” kata Sophia kepada IDN Times. Sophia bukan nama sebenarnya, karena perempuan itu menolak menyebutkan nama aslinya.

Kali terakhir Taliban menguasai Kabul sepanjang 1996-2001, Afghanistan menjadi arena pertempuran perang sipil. Perebutan kekuasaan antar etnis dan faksi memicu konflik horizontal. Keterlibatan Taliban dalam lingkaran terorisme global juga memicu konflik vertikal. Tidak salah jika tahun itu Afghanistan memperoleh label negara gagal.

Kini Taliban bukan lagi gerilyawan. Mereka adalah penguasa de facto Afghanistan. Kelompok yang berdiri pada 1994 itu mengambil alih pemerintahan setelah menaklukkan Kabul pada Minggu (15/8/2021). Pada saat yang sama, Presiden Ashraf Ghani bersama keluarganya meninggalkan negeri dengan dalih menghindari pertumpahan darah. Sebuah keputusan yang baginya heroik, namun dianggap pengecut bagi kebanyakan warganya.

“Kondisi di luar rumah kini tidak normal. Teman-teman perempuan saya masih di rumah karena Taliban tidak mengizinkan mereka untuk bekerja. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka menemukan saya dan keluarga saya,” tambah Sophia, yang setiap hari bekerja sebagai dosen negeri.

Baca Juga: Takut Dibakar Taliban, Perempuan Afghanistan Sembunyikan Foto BTS

1. Janji-janji Taliban belum mampu memenangkan hati rakyat

Kisah Pilu dari Afghanistan: Dunia Meninggalkan Kami Sendirianpotret Taliban setelah menguasai Kabul (dnaindia.com)

Pada Selasa (17/8/2021), dua hari setelah euforia kemenangan, Taliban menggelar konferensi pers perdana. Setiap tokoh menghadirkan wajahnya di hadapan layar kaca, termasuk Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid yang selama ini dianggap sebagai “hantu”, karena misterius.

Di hadapan publik, Taliban mengumbar janji-janjinya, yakni:

  • Memberikan amnesti bagi warga Afghanistan yang bekerja untuk pasukan asing, pejabat, dan pegawai pemerintah.
  • Menjamin hak-hak perempuan, termasuk mengizinkan mereka untuk bersekolah dan bekerja. Taliban juga membuka opsi untuk tidak mewajibkan burqa.
  • Menjamin keselamatan warga asing dan para diplomat.
  • Tidak akan menjadikan Afghanistan sebagai sarang teroris.
  • Taliban menjamin seluruh hak dan properti masyarakat di bawah Imarah Islam Afghanistan (Islamic Emirate of Afghanistan).

Di mata Inggris, gelagat Taliban menunjukkan bahwa mereka bukan lagi kelompok bar-bar seperti dua dekade lalu. Pernyataan itu menarik untuk diulas karena disampaikan oleh seorang tokoh militer, yang pasti memiliki pengetahuan dan informasi lebih tentang Taliban.

“Mungkin Taliban yang (sekarang) lebih masuk akal. Tidak terlalu represif, dan memang terlihat dari cara memerintah Kabul saat ini. Mungkin mereka berbeda dari yang diingat orang dari tahun 1990-an,” kata Kepala Staf Pertahanan Inggris Nick Carter, dikutip dari Reuters.

Namun, keterangan Taliban tidak cukup untuk memenangkan hati rakyat, sekalipun mereka telah ditanggalkan para pemimpinnya. Kekacauan dilaporkan terjadi di Bandara Hamid Karzai, sebab warga berharap dievakuasi oleh pasukan asing, yang berupaya menyelamatkan staf diplomatiknya. Entah kenapa hal itu terjadi, apakah warga tidak percaya dengan Taliban, atau stigma negatif terlanjur mengakar di benak masyarakat.

“Apa yang mereka sampaikan sebatas pernyataan, bukan tindakan nyata. Mereka selalu berbohong,” ujar Sophia.

Inggris juga meminta kepada dunia untuk memberi kesempatan kepada Taliban untuk merealisasikan janji-janjinya. Wacana itu bahkan telah menjadi topik utama dalam G7, forum yang beranggotakan AS, Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Kanada, dan Jepang.

Pesan utama mereka adalah pengakuan dari tujuh negara ekonomi dan demokrasi terbesar di dunia tergantung pada tindakan konkret Taliban.

“Mereka bisa saja mendukung Taliban, tapi rakyatlah yang nantinya akan menderita dan berhadapan dengan masalah,” kata Sophia, menanggapi sikap negara-negara Barat atas situasi yang sangat mungkin mengubah tatanan Asia Selatan.

2. Kejatuhan Kabul adalah aib terbesar Amerika Serikat

Kisah Pilu dari Afghanistan: Dunia Meninggalkan Kami Sendirian(IDN Times/Aditya Permana)

Kejatuhan Kabul merupakan “aib” terbesar Washington abad ini, yang mungkin akan menghantui Presiden Joe Biden hingga tuntas masa kepemimpinannya. Betapa tidak, satu per satu ibu kota Afghanistan jatuh ke tangan Taliban ketika Gedung Putih mempercepat penarikan pasukannya.

Biden bersikukuh bila penarikan militer Barat adalah keputusan yang tepat. Selain karena kepentingannya telah tercapai, yaitu membunuh Osama bin Laden yang merupakan dalang serangan 9/11 dan menumpas Al-Qaida, Biden juga tidak ingin menghamburkan anggaran negara serta membiarkan nyawa pasukannya melayang untuk konflik tak berujung.

“Satu atau lima tahun lagi, kehadiran militer AS tidak akan membuat perbedaan jika militer Afghanistan tidak ingin mempertahankan negaranya sendiri,” kata Presiden ke-46 AS itu setelah kejatuhan Kabul, seolah menjustifikasi keputusannya.

Berdasarkan catatan Watson Institute International & Public Affairs, Brown University, Gedung Putih sedikitnya telah mengalokasikan anggaran sebesar 2,26 triliun dolar AS (sekitar Rp32.542 triliun) selama konflik di Afghanistan sepanjang 2001-2021.

Selain itu, sepanjang Oktober 2001-April 2021, data juga mencatat bahwa konflik Afghanistan menyebabkan kematian 2.448 tentara AS, 3.846 kontraktor AS, 66.000 militer dan polisi Afghanistan, 1.144 anggota sekutu dan NATO, 47.245 warga sipil Afghanistan, dan 72 jurnalis. Di pihak lain, konflik 20 tahun itu telah menewaskan 51.191 pejuang Taliban dan pemberontak lainnya.

Keteguhan Biden kini menjadi “samsak empuk” bagi para rival politiknya. Tidak hanya oposisi di dalam negeri, Tiongkok dan Rusia juga menyalahkan keputusan Biden yang menyebabkan kejatuhan Afghanistan, padahal mereka sudah memperingatkan.

Tapi Biden tidak sendiri. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga menjadi target kritik.

"Apakah pemahaman kita tentang pemerintahan Afghanistan sebegitu lemahnya? Apakah pengetahuan kita tentang posisi di lapangan begitu tidak memadai? Apakah kita hanya harus mengikuti AS, berharap dengan doa dan harapan semuanya akan baik-baik saja?” kritik mantan Perdana Menteri Inggris Theresa May kepada Johnson, dikutip dari The Guardian.

Sophia pada dasarnya mengkritik kebijakan intervensi Barat. Namun, dia geram karena di tengah situasi mencekam, AS dan koalisinya justru meninggalkan negeri seolah tanpa dosa.

“Pada kondisi ini jangan tinggalkan Afghanistan. Mereka harus memaksa Taliban untuk berdamai,” ujar perempuan yang bermukim di Herat itu.

3. Kenapa intervensi Amerika Serikat gagal di Afghanistan?

Kisah Pilu dari Afghanistan: Dunia Meninggalkan Kami SendirianTentara AS yang ditugaskan di Brigade ke-3, Divisi Gunung ke-10 mengawal warga yang dievakuasi menuju terminal check-in di Bandara Internasional Hamid Karzai, di Kabul, Afghanistan, Jumat (20/8/2021) (ANTARA FOTO/Lance Cpl. Nicholas Guevara/U.S. Marine Corps/Handout via REUTERS)

Memang sebuah ironi ketika melihat anggaran AS untuk Afghanistan, yang besarannya hampir 32 kali lipat total pembiayaan Indonesia pada 2020, berujung kemenangan Taliban. Upaya membangun “perdaban” di bawah label demokrasi seolah runtuh seketika.

AS dan koalisinya harus lebih malu ketika mendengar pengakuan Taliban, bahwa penaklukkan Kabul adalah kejadian yang tidak direncanakan. Bahkan, kejatuhan ibu kota jauh lebih cepat dari prediksi intelijen, yaitu 90 hari sejak laporan itu diungkap oleh pejabat Washington pada 11 Agustus 2021.

“Kami ingin mencapai solusi politik sebelum memasuki Kabul, membuat pemerintahan bersama yang inklusif. (Tapi) ketika kami memasuki Kabul, aparat keamanan pergi meninggalkan tempat mereka. Kami terpaksa meminta pasukan untuk masuk dan mengambil alih keamanan. Perkembangannya begitu cepat sehingga semua orang terkejut,” kata  Komisi Kebudayaan Taliban, Abdul Qahar Balkhi, dilansir Al Jazeera.

Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan kejatuhan Kabul. Guru besar ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Daron Acemoglu, menyoroti kesalahan pendekatan AS dalam upaya pembangunan Afghanistan.

Washington meyakini, kata Daron, stabilitas dan perdamaian bisa terwujud apabila pemerintahan memiliki institusi negara yang kuat. Syarat utama untuk membangun lembaga negara yang kredibel adalah keamanan. Atas dasar itulah AS dan koalisinya mengirim tentara, agar suasana kondusif demi pembangunan.

Sayangnya, pendekatan berorientasi top-down atau sentralistik itu gagal diterapkan karena dua hal. Pertama, karakter sosiologis Afghanistan yang heterogen dan tribalistik. Menurut Daron, AS seharusnya memulai pembangunan dengan menyerap aspirasi sekitar 29 juta populasi Afghanistan yang terdiri dari sekitar 14 suku.

“AS gagal untuk menjadi fasilitator yang mempertemukan kepentingan berbagai pihak, tidak bisa merangkul kelompok-kelompok lokal,” tulis Daron, dikutip dari Project Syndicate.

Faktor kedua adalah AS tidak menjadikan sejarah berdarah Afghanistan sebagai refleksi pengambilan kebijakan. Menurut Daron, hanya ada dua pilihan ketika pemerintah pusat kehilangan legitimasi karena tidak menyerap aspirasi daerah, dilengserkan secara konstitusional atau tidak konstitusional.

“Sayangnya, Afghanistan adalah negara dengan sejarah panjang pertumpahan darah. Sehingga pilihan yang memungkinkan bagi mereka adalah perlawanan bersenjata. Mereka juga melihat kehadiran AS sebagai penjajahan dan upaya untuk melemahkan negara,” ulas Daron.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah korupsi dan kebiasaan hidup mewah para pejabat. Transparency International menempatkan Afghanistan pada peringkat 165, urutan 14 terbawah sebagai negara dengan korupsi tertinggi. Poinnya sangat kecil yaitu 19 per 100.

Menurut Edward Burke, peneliti hubungan internasional di Universitas Nottingham, perilaku korupsi mempengaruhi semangat juang para militer Afghanistan. Uang yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan aparat, justru diambil para komandan untuk memperkaya diri.

Alhasil, banyak pasukan di lapangan yang pembayaran gajinya menunggak, tidak menerima logistik dalam waktu yang lama, hingga manajemen rotasi yang buruk. Biden juga mencatat ada lebih dari 66 ribu tentara dan polisi Afghanistan yang enggan memerangi Taliban. Tidak aneh jika banyak pasukan yang mundur dari pos penjagaan dan menyerah kepada Taliban tanpa perlawanan.  

“Sebagian dari mereka berperang karena tidak ada lagi pekerjaan yang memberi jaminan. Sekalipun masih ada yang mau berperang, itu karena mereka yakin memperoleh bantuan dari NATO,” kata Burke dikutip dari Irish Times, seraya menegaskan bahwa semangat juang para pasukan meredup ketika AS menarik pasukannya.

Juru bicara kedutaan Rusia di Kabul bahkan melaporkan, Ghani tidak meninggalkan Afghanistan dengan tangan kosong. Ghani dikawal empat mobil dengan penuh uang.

“Mereka memaksakan supaya semua uangnya masuk ke dalam helikopter, tapi tidak cukup. Akhirnya sebagian uang ditinggalkan begitu saja di aspal,” demikian laporan kedutaan, dilansir dari The Diplomat.

Banyak negara salah memperhitungkan kekuatan Afghanistan disebabkan oleh “pasukan hantu”, yaitu militer yang secara administrasi tercatat negara tetapi wujudnya nihil. Hal itu merupakan bentuk korupsi para komandan supaya mereka bisa mengambil gaji lebih.

Taliban kerap membagikan cuplikan video atau foto ketika berhasil menaklukkan pos-pos penting pemerintahan. Selain menunjukkan kejayaan, hal itu merupakan strategi Taliban untuk menunjukkan betapa korupnya para pejabat.

Lantas, yang menjadi pertanyaan, kenapa AS tetap membantu Afghanistan? Apakah mereka tidak tahu bahwa pemerintahannya sangat korup?

Artikel bertajuk why America keeps building corrupt client states yang dirilis The Economist menjelaskan bahwa penilaian bantuan internasional masih beriorientasi pada jumlah sumbangannya, bukan efektivitas atau nilai kegunaannya. Di sisi lain, artikel itu juga mengkritik karena AS terkesan tidak sungguh-sungguh dalam memberangus korupsi di Afghanistan.

“Militer yang selalu dirotasi dalam jangka waktu pendek sangat tidak mungkin untuk menghentikan korupsi,” kata Mark Pyman, aktivis anti-korupsi di Transparency International.

4. Dunia meninggalkan Afghanistan sendirian

Kisah Pilu dari Afghanistan: Dunia Meninggalkan Kami SendirianPejuang Taliban berjaga-jaga di provinsi Ghazni, Afghanistan, Sabtu (14/8/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer.

Rasa takut dan gelisah kini menghantui kehidupan Sophia. Sepanjang berbincang dengan IDN Times, perempuan yang sedang mengampu studi doktoral itu mewanti-wanti jika dia tidak bisa membalas pesan dengan cepat. Selain jaringan internet yang tidak stabil, Sophia juga kesal karena Taliban mulai menyita simcard.

“Kami tidak ingin tinggal di rumah terus. Kami ingin hak-hak dan fasilitas kami, terutama akses terhadap teknologi dan komunikasi, tapi mereka sangat membatasinya. Mereka tidak mau orang-orang mengakses internet,” keluhnya.

Melihat respons komunitas internasional, Sophia tidak tahu lagi harus menggantungkan harapan dan keselamatannya kepada siapa.

Di sisi lain, banyak sekali misinformasi seputar Taliban yang berseliweran di dunia maya. Salah satunya adalah tidak sedikit warganet Indonesia yang percaya bahwa Taliban hadir untuk membela kepentingan umat Islam dan membela warga Afghanistan.

“Itu tidak benar, warga Afghanistan tidak menyukai mereka (Taliban),” kata dia.

“Masyarakat internasional meninggalkan Afghanistan sendirian, tidak ada yang mendengarkan suara kami, suara rakyat Afghanistan. Sering kali dikatakan kepada kami untuk bersabar, tapi bagaimana bisa saya bersabar dan belajar dalam situasi perang,” tutur dia, sekaligus mengakhiri percakapan dengan IDN Times.

Baca Juga: Taliban: Kami Tidak Ingin Melecehkan Perempuan, Itu Dilarang Allah!

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya