Lebih dari 520 Orang Tewas, PBB Sebut Myanmar di Ambang Perang Sipil

AS pertimbangkan opsi intervensi militar Myanmar

Jakarta, IDN Times - Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mendesak Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan lebih tegas, demi menyudahi kerusuhan di Myanmar. Menurut Burgener, Burma saat ini berada di ambang perang sipil atau pertumpahan darah.
 
Sejauh ini, dilaporkan lebih dari 520 demonstran anti-kudeta tewas di tangan aparat. Mereka berbondong-bondong turun ke jalan menolak menuntut restorasi demokrasi dan pembebasan para tahanan politik, termasuk penasihat negara Aung San Suu Kyi.
 
"Saya mengimbau kepada Dewan (Keamanan) untuk mempertimbangkan semua alat yang tersedia. untuk mengambil tindakan kolektif dan melakukan apa yang benar, apa yang layak diterima rakyat Myanmar, dan mencegah bencana multi-dimensi," kata Burgener kepada AFP, sebagaimana dilansir dari Channel News Asia, Kamis (1/4/2021).

Baca Juga: 50 Demonstran Antikudeta Tewas saat Hari Angkatan Bersenjata Myanmar

1. Potensi konflik antara aparat dengan kelompok etnis bersenjata

Lebih dari 520 Orang Tewas, PBB Sebut Myanmar di Ambang Perang SipilPengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Myanmar merupakan salah satu negara multi-etnis di Asia Tenggara. Tidak sedikit dari etnis-etnis tersebut yang sampai saat ini menuntut kemerdekaan atas wilayah tempat tinggalnya.
 
Burgener menambahkan, ancaman perang sipil hadir karena kelompok etnis bersenjata telah menegaskan sikapnya, bahwa mereka menentang kudeta militer. Di sisi lain, meski kecaman internasional datang silih berganti, rezim darurat yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing justru semakin menunjukkan agresivitasnya.
 
"Kekejaman militer terlalu parah dan banyak (pejuang etnis bersenjata) mengambil sikap oposisi yang jelas, meningkatkan kemungkinan perang saudara pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Burgener.
 
Dia menyambung, "kegagalan untuk mencegah eskalasi kekerasan akan merugikan dunia jauh lebih banyak dalam jangka panjang, daripada berinvestasi sekarang dalam pencegahan, terutama oleh tetangga Myanmar dan kawasan yang lebih luas."

2. Keterlambatan menindak hanya memperparah situasi

Lebih dari 520 Orang Tewas, PBB Sebut Myanmar di Ambang Perang SipilIlustrasi Suasana Pandemik COVID-19 di Myanmar (ANTARA FOTO/Ye Aung Thu)

Sebanyak 38 pengunjuk rasa meninggal dunia dalam sehari pada Sabtu,  28 Maret 2021, menjadikannya sebagai hari paling berdarah sejak protes meletus mulai 1 Februari 2021. Pada hari yang sama, junta Militer juga melancarkan serangan udara untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir di negara bagian Karen.
 
Burgener mengkritik pendekatan komunitas internasional yang menanti Dewan Administrasi Negara, sebutan untuk pemerintahan darurat yang berkuasa setahun ke depan, siap bernegosiasi. Semakin lama menunggu kesiapan mereka, maka semakin banyak korban berjatuhan.  
 
“Jika kita menunggu hanya ketika mereka siap untuk berbicara, situasi di lapangan hanya akan memburuk. Pertumpahan darah akan segera terjadi,” tegasnya.

3. Muncul opsi intervensi militar

Lebih dari 520 Orang Tewas, PBB Sebut Myanmar di Ambang Perang SipilKendaraan bersenjata Tentara Myanmar berkendara melewati sebuah jalan setelah mereka mengambil kekuasaan dalam sebuah kup di Mandalay, Myanmar, Selasa (2/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Beberapa kelompok etnis bersenjata, seperti Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA), Tentara Nasional Demokratik Kebangsaan Myanmar, dan Tentara Arakan pada Rabu, 31 Maret 2021 memperingatkan, mereka siap turun ke jalan dan berjuang bersama masyarakat menolak perebutan kekuasaan yang terjadi secara inkonstitusional.
 
"Jika mereka terus membunuh orang, kami tidak punya alasan untuk memperpanjang gencatan senjata sepihak dengan mereka," kata Brigjen Tar Bhone Kyaw selaku perwakilan TNLA.
 
Melihat peta kerusuhan terbaru, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Linda Thomas Greenfield menyampaikan, tidak menutup kemungkinan pasukan militer internasional dikerahkan untuk menyudahi konflik Myanmar.
 
"Kami berharap situasi pada akhirnya akan terselesaikan dan militer akan kembali ke barak, serta mengizinkan pemerintah yang terpilih secara demokratis untuk menggantikannya," ujar Linda.
 
"Tetapi jika mereka tidak melakukan itu, dan mereka terus melakukan serangan terhadap penduduk sipil, maka kami harus melihat bagaimana kami dapat berbuat lebih banyak," tutup Linda, seraya memberikan kode untuk intervensi militer.

Baca Juga: Myanmar Bombardir Gerilyawan Karen

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya