Sepekan Kudeta Myanmar, Militer Janji Selenggarakan Pemilu yang Adil

Aung San Suu Kyi tak kunjung dibebaskan

Jakarta, IDN Times - Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, meminta masyarakat untuk mengedepankan fakta bukan perasaan di tengah instabilitas politik dalam negeri. Pernyataan itu disampaikan ketika gerakan sipil yang menolak kudeta semakin masif di berbagai daerah.
 
Sosok yang juga menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat itu menilai, perebutan kekuasaan merupakan suatu keharusan untuk menyelamatkan Myanmar dari Liga Nasional Demokrasi (NLD), partai yang diklaim memenangi pemilihan umum (pemilu) 2020 dengan penuh kecurangan.
 

1. Militer menjanjikan pemilu yang adil

Sepekan Kudeta Myanmar, Militer Janji Selenggarakan Pemilu yang Adil(Facebook/Min Aung Hlaing)

Dilansir dari Channel News Asia, pada kemunculan perdana selang satu pekan dilancarkannya kudeta, Min Aung meyakinkan masyarakat bahwa rezim junta militer yang berkuasa saat ini berbeda dengan rezim militer yang sempat menguasai Burma selama lima dekade.
 
Dia bahkan berjanji untuk mengadakan pemilu yang adil, kemudian mengawal transisi pemerintahan kepada pihak pemenang. Dia turut menegaskan, tidak ada perubahan kebijakan luar negeri dan Myanmar tetap mendorong negara-negara untuk berinvestasi.
 
"Kami akan mengadakan pemilu multipartai dan kami akan menyerahkan kekuasaan kepada yang menang dalam pemilu itu, sesuai dengan aturan demokrasi. Junta (akan) membentuk demokrasi yang benar dan disiplin,” kata Min Aung.
 

Baca Juga: Demonstran Antikudeta Militer Myanmar: Kami Siap Berjuang Hingga Akhir

2. Ingin merombak komite pemilu

Sepekan Kudeta Myanmar, Militer Janji Selenggarakan Pemilu yang AdilPenasihat Negara (setingkat Perdana Menteri) Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengenakan masker dan sarung tangan plastik saat menggunakan hak suaranya dalam Pemilu Myanmar 2020. (Facebook.com/Chair NLD)

Di hadapan publik, Min Aung hanya menyinggung soal kejanggalan dalam pemilu tanpa menyebut pihak mana yang melakukan kecurangan. Sejak menolak hasil pemilu, fraksi militer menuding kemenangan NLD pada kontestasi politik disebabkan oleh 8,6 juta pemilih palsu.
 
Komite pemilu membantah tudingan tersebut. Mereka juga enggan memenuhi tuntutan fraksi militer yang mendesak agar daftar pemilih dibeberkan secara transparan.
 
Min Aung berencana mereformasi komite pemilu sebagai langkah awal untuk merestorasi demokrasi. Dia menuduh penyelenggara pemilu menggunakan dalih pandemik COVID-19 sebagai alasan untuk mencegah pemilu yang adil.
 
Kendati begitu, dia tidak memberi kejelasan kapan pemilu akan digelar, kecuali menyampaikan pemerintahan darurat akan berlangsung selama satu tahun.
 

3. Kudeta militer menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat

Sepekan Kudeta Myanmar, Militer Janji Selenggarakan Pemilu yang AdilSekjen PBB Antonio Guterres berbicara dalam konferensi pers malam sebelum KTT Iklim PBB (COP25) di Madrid, Spanyol, pada 1 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Sergio Perez

Sebagai informasi, pada Senin (1/2/2021) militer melancarkan kudeta dengan menahan elite NLD, antara lain pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Momen tersebut mengakhiri satu dekade pemerintahan sipil.
 
Beberapa hari kemudian, kepolisian menjerat Suu Kyi atas tuduhan mengimpor alat komunikasi berupa walkie-talkie secara ilgeal. Alhasil, perempuan peraih nobel perdamaian itu harus menjalani masa tahanan hingga 15 Februari.
 
Adapun Win Myint dibebankan pasal pidana atas tuduhan melanggar undang-undang darurat, karena menggelar kampanye yang menyebabkan keramaian di tengah pembatasan sosial.
 
Komunitas internasional mengecam tindakan militer Myanmar. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, telah berjanji mengerahkan segala cara untuk menggagalkan rezim yang tidak memperoleh kekuasaan secara konstitusional. Dewan Keamanan PBB turut mengecam kudeta militer tersebut.
 
Sementara, di dalam negeri, gerakan anti-kudeta terus tumbuh di berbagai daerah. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam demonstrasi melakukan mogok kerja hingga militer kembali ke barak. Masyarakat sipil lainnya menabuh pot hingga panci pada malam dan pagi hari sebagai bentuk penolakan terhadap pemerintahan darurat, aksi simbolik yang secara tradisional diyakini sebagai ritual mengusir roh jahat.

Baca Juga: Kudeta Militer, Perusahaan Jepang Akhiri Usaha Patungan di Myanmar 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya