[WANSUS] Jejak Muhammadiyah di Taiwan

Wawancara IDN Times dengan Ketua PCIM Taiwan Muhammad Muslih

Taipei, IDN Times – Muhammadiyah menjadi satu dari sekian banyak organisasi masyarakat (ormas) Islam yang mewarnai dinamika kehidupan warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan. Muhammadiyah, yang selama ini identik sebagai organisasinya kelompok intelektual, nyatanya di Taiwan juga hadir untuk membina pekerja migran Indonesia (PMI).

“Sejak kami berdiri, salah satu fokus kami adalah pemberdayaan masyarakat, karena memang mayoritas orang Indonesia di Taiwan adalah pekerja migran,” kata Ketua Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Taiwan, Muhammad Muslih, kepada IDN Times.

PCIM Taiwan resmi berdiri pada 1 Februari 2014. Namun, cikal bakalnya sudah ada sejak 2008, yang kala itu diprakarsai oleh Agus S Muntohar, Yordan Gunawan, dan Mungki Rahadian. Mereka yang dijuluki assabiqunal awwalun Muhammadiyah Taiwan mulai berdiskusi seputar pendirian organisasi.

Hanya saja, di tengah kesibukan akademik dan aktivitas lainnya, wacana yang diangkat oleh mereka bertiga tak kunjung terealisasi. “Sang Fajar” yang sempat terbenam, akhirnnya terbit kembali pada 2012-2013, ketika generasi kedua kader Muhammadiyah mulai berdatangan ke Taiwan.

Sembari mematangkan persiapan pendirian PCIM Taiwan, mereka rutin mengadakan kajian rutin mingguan melalui berbagai media, termasuk milist email, radio, dan media sosial.

“Pada pertengahan Januari 2014, kurang lebih ada 20-an kader yang siap bergabung. Mereka berasal dari pelajar maupun para pahlawan devisa. Pada saat itu, cita-cita mendirikan PCIM Taiwan menjadi sesuatu yang sepertinya tidak bisa ditawar lagi,” demikian keterangan dalam dokumen Sang Surya di Bumi Formosa.

“Deklarasi PCIM Taiwan pada 1 Rabi’ul Akhir 1435 H/1 Februari 2014 di Tainan oleh 13 orang atas nama seluruh kader,” tambah dokumen tersebut.

Menurut Muslih, menjelang 1 dekade usia PCIM Taiwan, kini sudah ada ratusan warga Muhammadiyah di Taiwan. Lebih hebat lagi, kegiatan filantropi PCIM Taiwan bahkan berhasil mengumpulkan hingga Rp1 miliar rupiah.

“Ketika awal-awal pandemik COVID-19, pas pembelian masker dibatasi, PCIM Taiwan ikut membagikan masker gratis,” kata Muslih, menyoroti salah satu kegiatan filantropi organisasinya.  

Untuk mengetahui jejak Muhammadiyah di bumi Taiwan, berikut selengkapnya wawancara IDN Times dengan Ketua PCIM Taiwan Muhammad Muslih!

Baca Juga: 5 Fakta Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Terakreditasi Unggul

Bagaimana sejarah singkat berdirinya PCIM Taiwan?

https://www.youtube.com/embed/2V6DsXkfvr8

Sebenarnya sudah ada sejak 2008. Tapi setop karena gak ada lagi orang Muhammadiyah yang lanjut studi ke Taiwan. Kemudian 2012-2013, muncul lagi, beberapa orang Muhammadiyah S2 dan S3 ke Taiwan. Tapi dulu bentuknya sebatas kajian-kajian bersama. Kemudian PCIM baru resmi terbentuk pada 2014 di Tainan, dengan kepengurusan dua tahun sekali. 

Kami memiliki empat ranting. Ranting utara itu Taipei, New Taipei dan seterusnya. Tengah di Taichung dan sekitarnya. Selatan ada Tainan, dan timur ada Hualien. Cuma semakin ke sini, teman-teman PCIM yang di Hualien hampir gak ada. Jadi yang aktif cuma di tiga ranting. Kalau untuk kantor kami ada dua, di Taipei dan Taichung.

Untuk warga Muhammadiyah yang terdata sekitar 500-an. Kalau sama simpatisan, mungkin bisa lebih dari itu ya. Tapi kalau pengurusnya ada sekitar 80-an, dengan mayoritas mahasiswa. Sekitar 15 persennya pekerja migran.

Ketika pelantikan, apa amanat dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah?

Sejak PCIM berdiri kami punya dan fokus pada tiga pilar. Pertama, dakwah maya, online, karena kami tidak ada di satu lokasi. Dulu kajian kita lewat radio. Kedua, filantropi, kita punya Lazismu yang bergerak ke zakat, infak, dan sedekah. Terakhir, pemberdayaan masyarakat, karena mayoritas orang Indonesia di Taiwan adalah pekerja migran, walupun susunan kepengurusan PCIM proporsi mayoritasnya pelajar, tapi kita gak lupa bahwa kita perlu ada pemberdayaan masayrakat.

Kalau relasi PCIM dengan PP, sebenarnya kita seperti pengurus wilayah ya. Makanya ketika pelantikan langsung dari PP, kebijakan dari sana juga, termasuk SK berdirinya organisasi. Program-program yang kita buat, termasuk majelis, banyak meniru PP Muhammadiyah, hanya saja kita sesuaikan dengan SDM di sini. 

Baca Juga: KDEI Taipei Latih PMI Taiwan Pemulasaraan Jenazah secara Islam

Bagaimana relasi PCIM dengan pemerintah Taiwan, KDEI, dan ormas lainnya?

[WANSUS] Jejak Muhammadiyah di TaiwanPeresmian Kantor Dakwah dan Lazismu Taipei (Dok. IDN Times/Istimewa)

Dengan ormas agama lain, dengan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) kami selalu sama-sama. Selama ini KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia) selalu melibatkan PCINU dan PCIM dalam berbagai kegiatan, termasuk pas Ramadan. Begitu juga kalau ada isu yang berkaitan dengan PMI, PCINU, PCIMU dan KMIT (Keluarga Muslim Indonesia Taiwan) akan dimintai pendapatnya. Alhamdulillah kami masih di-notice dan dilibatkan.

Kalau dengan pemerintah Taiwan, kami masih punya PR, karena secara legalitas PCIM belum ada. Kami masih mengejar itu, izin pendirian ormas di Taiwan.

Apa keuntungannya jika PCIM terdaftar sebagai ormas di Taiwan?

Aktivitas keagamaan yang melibatkan banyak masyarakat bisa mengerjakannya di ruang publik, biasanya lebih mudah aksesnya. Contohnya PCINU mereka sudah punya izin, sehingga mereka mau Salat Ied di TMS (Taipei Main Station) bisa saja. Dan karena secara grass root lebih banyak orangnya. Yang kami ingin kejar adalah itu, agar mudah dapat akses di ruang publik. Walaupun saya yakin, kalau kami mau izin, selama sudah sesuai syarat pemerintah kota pasti gak masalah juga. Tapi kalau punya legal formal pasti lebih gampang.

Apa kendalanya untuk memperoleh legalitas itu?

Issue kita adalah how to start, dari mana dulu mulainya. Tapi memang banyak hal yang harus dipersiapkan dulu, termasuk SDM (sumber daya manusia). Sumber daya kita 85 persen mahasiswa, dinamika mereka master S2 selesai, Ph.D 3 atau 4 tahun selesai. Tidak seperti PMI yang bisa puluhan tahun di sini. Jadi ketika pergantian komposisi orang dengan mayoritas mahasiswa yang sudah lulus, akhirnya rotasinya cepat. Sehingga, kita ajak teman-teman PMI untuk lebih bisa membersamai. Karena mereka yang lebih banyak dan lebih lama di taiwan.

Yang mau kita encourage sekarang adalah lewat organisasi asosiasi Islam di Taiwan yang bisa bantu proses perizinan. Yang saya amati, lembaga asosiasi muslim di Taiwan, yang sudah membawahi banyak organisasi Islam, bisa membantu kami untuk difasilitasi terkait perizinan. 

Kenapa sedikit proporsi PMI yang bergabung PCIM. Apakah ada kendala imej Muhammadiyah yang identik dengan kelompok intelektual?

Sejauh ini belum ada yang terang-terangan ya PMI yang mengeluhkan itu. Tapi ada yang dia dulu Muhammadiyah, kemudian datang ke sini untuk bekerja, saat ada kegiatan atau di grup mereka maunya program pemberdayaan PMI. Sedangkan yang pelajar itu inginkan itu diskusi tematik. Akhirnya kami bisa mengetahui secara tersirat ada sedikit barrier antara pelajar dan PMI, karena PMI jadi sedikit enggan aktif di kegiatan atau grup. Tapi gak pernah ada yang disampaikan secara tersurat.

Secara kegiatan keagamaan, apa yang membedakan PCINU dan PCIM?

[WANSUS] Jejak Muhammadiyah di TaiwanIlustrasi kegiatan PCIM Taiwan (Dok. IDN Times/Istimewa)

Kalau frekuensi kegiatan kami gak sebanyak teman-teman NU. Mayoritas kegiatan kami adalah kajian bulanan. Ngajinya juga bukan kitab, jadi lebih yang sifatnya umum banget. Misal kami undang orang KDEI bidang imigrasi, ya jadinya diskusi seputar keimigrasian. Atau (undang bagian) perlindungan WNI, ya kaitannya tentang perlindungan. Atau untuk teman-teman yang fellowship di Taiwan, ya kami diskusi tematik di bidang terkait. Jadi bukan bahas kitab khusus untuk dihabiskan sampai khatam.

Kemudian di bidang pemberdayaan masyarakat, kami punya exit program yang setiap bulan online. Pesertanya PMI, pembicara satu akademisi, dan satu lagi praktisi. Itu semacam pembekalan. Jadi mereka dapat ilmu dan experience dari temen-teman yang sudah pulang ke Indonesia, dengan harapan mereka nanti bisa mengembangkan usaha. Kegiatannya macam-macam, di bidang ekonomi misalnya bagaimana mengelola keuangan, pelatihan peternakan, pertanian. Sebenarnya targetnya PMI Taiwan, tapi yang hadir ternyata ada PMI Singapura, Hong Kong, Jepang, dan Korea.

Baca Juga: Safari Ramadan, KDEI Taipei Keliling Taiwan Serap Aspirasi PMI

Di Hong Kong, PMI yang terseret radikalisme pernah menjadi sorotan. Apakah masalah itu menjadi concern PCIM Taiwan?

Sepertinya kalau radikalisme tidak sebesar di luar (Taiwan) ya. Tapi kalau untuk Muhammadiyah, kami sendiri fokusnya adalah pembinaan kader via kajian-kajian yang selama ini kami lakukan. Kami itu biasanya punya pengkaderan fungsional, yang biasanya kerja sama dengan PCIM China, Jepang, dan Korea atau kita nyebutnya PCIM Asia Timur.

Kami punya program pembinaan kader, dengan harapan membekali temen-teman untuk tetap pada pedomannya, yaitu Islam dan ke-Muhammadiyah-an. Itu juga yang menurut saya bisa mengantisipasi tentang paham-paham radikalisme.

Sejauh ini belum banyak kegiatan kami yang fokus spesifik tentang ilmu agama. Kalau bicara soal ke-Indonesia-an dan kebhinekaan, kami aktivitasnya sama-sama dengan KDEI. Kalau murni Muhammadiyah sendiri, tidak akan sebesar hasil kerja sama dengan KDEI. Kami pernah dilibatkan dalam penjurian lomba menulis esai, yang kemudian kita membuat pedoman-pedoman penulisan. Dari situ, secara tidak langsung Muhammadiyah ikut menjaga kebhinekaan dan ke-Indonesia-an.

Apakah PCIM Taiwan memfasilitasi mereka yang ingin mualaf?

Kami beberapa kali mendampingi mualaf. Yang terbaru kemarin di Masjid At-Taqwa di Taoyuan, di Chiayi juga ada. Kami akhirnya menerbitkan surat keterangan mualaf, karena kami yang mendampingi mereka. Mayoritas adalah PMI yang kami dampingi. Terakhir enam bulan lalu PMI mualaf, dia ke sini non-muslim kemudian kita pindah muslim. Kalau membantu mengislamkan orang Taiwan gak banyak yang terfasilitasi oleh kita. Bahkan dikatakan bisa di bawah 10.

Bagaimana peran PCIM Taiwan membantu KDEI mengatasi diaspora Indonesia yang bermasalah?

Kami selalu jalan bersama dengan KDEI. Kalau ada PMI yang terlibat asusila misalnya, kami dimintai pandangan. Kami tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, karena itu ranah mereka dengan timnya sendiri.

Dulu banyak ibu-ibu yang curhat gak boleh salat sama majikannya. Nah, kemudian kami memberikan pendampingan kepada yang bersangkutan, termasuk berkomunikasi dengan agensinya, apakah memungkinkan dicarikan pekerjaan baru atau berbicara dengan majikannya. Tapi sejauh ini kami belum pernah bicara langsung dengan majikannya, karene mereka sendiri gak mau punya urusan dengan pihak-pihak selain agensinya.

Kemudian, saat Taiwan berencana untuk operasi besar-besaran bagi PMI yang kabur-kaburan, kami bantu informasikan ke PMI yang punya kenalan kaburan. Kami coba menasihati supaya tidak ditaruh di detensi.

Taiwan dikenal dengan keragamannya. Apakah menurut Anda itu adalah peluang agar PCIM Taiwan terus berkembang?

[WANSUS] Jejak Muhammadiyah di TaiwanKegiatan PCIM Taiwan berbagi masker saat pandemik COVID-19 (Dok. IDN Times/Istimewa)

Begini, dari sisi pemerintah sebenarnyaada political issue juga, bahwa mereka ingin merangkul berabgai komunitas, karena mereka butuh pengakuan, sehingga mereka merangkul LGBT pada 2016 dengan pengesahan undang-undang pernikahan sesama jenis, kemudian dibuka muslim tourism sehingga ada sertifikasi halal. Secara politik, ada keinginan dari pemerintah Taiwan untuk merangkul golongan yang berbeda, termasuk Islam. Ini positif, karena dari kebijakan akhirnya kami punya kesempatan untuk berkembang.

Kalau dari sisi kultural atau masyarakat, entah apakah mereka bodo amat atau apa, tapi saya pernah diskusi dengan beberapa orang Taiwan, pada prinsipnya selama kami tidak mengganggu ya akhirnya gue gue lu lu. Tapi selama ini gak ada pertentangan. Pun kalau ada kegiatan di publik gak ada resistensi.

Kami yakin kalau masyarakat Taiwan welcome terhadap segala perbedaan. Termasuk kami punya tapak suci, dulu ada warga Taiwan yang ikut jadi anggota, sering ikut latihan. Dari sering latihan, kemudian dia tertarik. Barang kali ini jadi pendekatan budaya juga ya, bukan agama secara langsung. Yang pada akhirnya orang tertarik untuk mempelajari Islam dan Muhammadiyah.

Apa di antara mimpi besar PCIM Taiwan yang belum tercapai?

Kami dulu ingin membuat panduan fiqih minortas. Lembaga Majelis Tarjih Muhammadiyah sudah ada rencana buat panduan itu, misalnya bagaimana ketika kita ingin salat saat kondisi kita tidak seseluasa di Indonesia.

Waktu itu ketika PP Muhammadiyah kunjungan ke sini pada 2019, ketika meresmikan markas kami, termasuk ada Prof Haedar Nashir, kami minta arahan dan diskusi dengan mereka. Ternyata sampai sekarang belum keseampaian, malah yang sudah terbit adalah Panduan Ramadan, pelaksanaan ibadah Ramadan di Taiwan yang kami kerja sama dengan PCIM Mesir. Fiqih minoritas berhenti.

Tapi itu bentuk ikhtiar kamu bahwa ini penting, karena aksesibilitas beribadah di Taiwan tidak semudah di Indonesia, termasuk makanan. Itu masih menjadi PR kita. Saya rasa itu panduan yang cukup penting agar WNI muslim di Taiwan bisa mengaplikasikannya.

Terakhir, apa harapan Anda terkait PCIM Taiwan?

Sejalan dengan cita-cita kita, dengan atau tanpa keterlibtan teman-teman yang akan melanjutkan perjuangan kami, harapannya Sang Surya tetap bersinar di Bumi Formosa. Jadi semoga dengan tiga landasan yang kami yakini dari awal, dakwah, filantropi, dan pembderdayaan masyarakat, semoga Muhammadiyah tetap tetap bersinar di Taiwan.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya