Wakil Indonesia di AICHR, Yuyun Wahyuningrum (kanan), dalan sebuah pertemuan daring pada Desember 2020. (aichr.org)
Sudah 13 tahun, ada beberapa perkembangan, misalnya pada bulan November 2019 disepakati complain mechanism yang tidak ada di TOR, tapi mekanismenya masih sangat awal dan belum sempurna. Saya beri contoh misalnya di mekanisme lain, apabila warga atau NGO menyampaikan komplain, nanti didiskusikan di level regional mekanismenya dan kemudian direspons, dengan mediasi, misalnya. Nah, di AICHR, mekanisme responsnya belum sepakat. Tapi, yang sudah disepakati adalah menerimanya.
Responsnya sendiri dilakukan oleh negara masing-masing. Contoh kasus, misalnya ada komplain dari indonesia, maka AICHR Indonesia yang merespons itu. Dari 2019 sampai sekarang, saya sudah menerima dua komplain dari masyarakat sipil, yaitu mendapat pelecehan di tempat kerja dan Perda Bogor soal mengkriminalkan LGBT. Prosesnya, mereka menyampaikan komplain ke Sekretariat ASEAN (ASEC), lalu ASEC ke AICHR, perwakilan negara tersebut merespons yaitu saya.
Untuk dua kasus ini, saya cek ke Komnas HAM karena jika kasusnya regional, kami tidak boleh ikut campur terlalu dalam, karena bisa merusak proses. Jadi saya hanya memantau prosesnya, begitu juga dengan Perda Bogor soal LGBT. Dalam kasus seperti ini, AICHR Indonesia bisa melakukan komunikasi jika ada korban yang tidak puas dengan hasilnya, kita bisa mengirim surat ke instansi-instansi terkait.
Lalu ada pertemuan dengan NHRI (Lembaga Nasional HAM). Selama 10 tahun terakhir, AICHR menolak bertemu dengan Komnas HAM, mereka pikir Komnas HAM itu NGO. Saya jelaskan bahaw Komnas HAM ini bukan NGO dan kita butuh Komnas HAM untuk bekerja sama.
Menurut saya, ini kemajuan dari sebelum-sebelumnya, karena awal pertemuan itu bahkan mereka menolak foto bersama, tidak ada rilis pers dan sebagainya. Pertemuan kedua mulai cair dan lancar. Sebenarnya, orang-orang Komnas HAM di negara lain itu juga eks diplomat, mereka tahu caranya berdialog.
Lalu, ada ASEAN Human Rights Dialog. Ini bukan hal yang baru juga karena 2013 itu sudah pernah dibuat idenya oleh eks Menlu Marty Natalegawa, Muhammad Anshor (Dubes RI di Chili) dan Hasan Kleib (Wakil Dirjen WIPO di Jenewa). Pada 2021 kemarin kita buat lagi, delapan dari 10 negara ikut rapat, bahkan Myanmar juga ikut. Ini perkembangan yang cukup bagus dari perspektif Indonesia, karena kita bisa diskusi soal HAM antar negara dan Myanmar tahu kalau dia sedang ditekan. Tapi, non-interference principal tetap ada.
Tahun ini, juga akan dilakukan. Kamboja akan menjadi tuan rumah bersama dengan Indonesia. Kita berharap ASEAN HR Dialog ini menjadi agenda ketua ASEAN dan AICHR ada di setiap agenda ketua. Ini adalah kontribusi Asia Tenggara soal metodologi dalam promosi HAM, melalui dialog.
Selama ini, HAM itu selalu dianggap sebagai kontribusi Barat terhadap norma-norma yang dianggap baik, pun ada juga norma-norma yang ditawarkan oleh Afrika. Di kawasan kita ini, naming and shaming tidak diinginkan, tapi dialog. Dengan dialog, perubahan bisa terjadi. Kita terus menerus mendorong adanya dialog dan berharap bisa efektif di kawasan. Kita berharap bisa menjadi kontribusi ASEAN terhadap HAM di dunia.