Warga Palestina Gugat AS terkait Bantuan Militer ke Israel

Jakarta, IDN Times - Lima warga Palestina mengajukan gugatan terhadap Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) ke pengadilan federal Washington DC pada Selasa (17/12/2024). Gugatan ini menuntut penghentian bantuan militer AS ke Israel atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Gaza.
Angka korban tewas di Gaza telah mencapai lebih dari 45 ribu orang sejak Oktober 2023. Namun, AS masih terus menggelontorkan bantuan militer tahunan senilai 3,8 miliar dolar AS (Rp61,2 triliun) kepada Israel. Pemerintahan Joe Biden bahkan menambah bantuan sebesar 17,9 miliar dolar AS (Rp288 triliun) sejak awal perang Gaza.
Para penggugat mendesak pemerintah AS mematuhi Undang-Undang Leahy yang melarang pemberian bantuan militer kepada unit keamanan asing yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Departemen Luar Negeri AS menolak berkomentar terkait gugatan yang sedang berjalan ini.
1. AS dituduh menerapkan standar ganda
Para penggugat meminta pengadilan memerintahkan AS membuat daftar unit militer Israel yang tidak layak mendapatkan bantuan karena terlibat pelanggaran HAM. Mereka juga menuduh Departemen Luar Negeri AS sengaja membuat pengecualian khusus bagi Israel melalui pembentukan Forum Pemeriksaan Leahy Israel.
Josh Paul, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS yang mengundurkan diri Oktober lalu, mendukung gugatan ini.
"Saya duduk sebagai anggota Israel Forum Leahy Israel dan berulang kali menyaksikan kasus pelanggaran HAM berat diajukan, namun pejabat senior enggan bertindak karena takut akan konsekuensi politik," ujar Paul, dilansir dari Middle East Eye.
Forum khusus ini dianggap mempersulit penerapan sanksi terhadap unit militer Israel yang melanggar HAM. Melansir AP, laporan Departemen Luar Negeri AS pada Mei 2024 telah mengakui adanya bukti Israel melanggar hukum internasional. Namun Washington tetap menolak menerapkan pembatasan senjata.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, pernah membantah tuduhan adanya standar ganda dalam penerapan UU Leahy terhadap Israel. Namun, keberadaan forum khusus ini sendiri dinilai telah melanggar asas supremasi hukum.