TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Digital Fashion: Bentuk Green Economy Potensial di Indonesia

Teknologi maju munculkan peluang baru

Ilustrasi digital fashion. (twitter.com/slamthings)

Isu lingkungan bukanlah hal yang baru bagi masyarakat global. Namun, urgensi dari isu ini semakin tinggi mengingat meningkatnya jumlah limbah dari berbagai sumber. Dilansir dari NASA (14/7/2022), suhu bumi terpantau mengalami kenaikan yang konstan (sekitar 0,85 derajat Celcius hingga 1,02 derajat Celcius) dalam tujuh tahun terakhir .

Di Indonesia, salah satu industri yang menyumbang limbah terbesar adalah industri fashion. Dilansir Kompas (24/2/2022), Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Arifin Rudiyanto mengatakan bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga per tahun 2021 dan hanya 0,3 juta ton limbah tekstil saja yang terdaur ulang.

Berbagai usaha dilakukan, seperti daur ulang, slow fashion, dan fashion sirkular. Kini, muncul sebuah entitas baru di dunia fashion yang diklaim mampu melahirkan solusi dari luapan besar limbah tekstil yang bernama “Digital Fashion”.

Apa itu digital fashion?

Dilansir Harper's Bazaar Indonesia pada Rabu (13/7/2022), digital fashion merujuk pada segala bentuk representasi busana dalam bentuk digital. Pembuatan produk digital fashion dirancang menggunakan software pembuat desain 3D (tiga dimensi) dan teknologi AR (augmented reality). Yang membedakan dari produk fashion konvensional adalah wujudnya yang tidak berbentuk fisik, namun berbentuk produk digital.

Meski digital fashion terdengar baru dan futuristik, nyatanya kita sudah cukup familier dengan produk-produknya. Salah satu yang paling familier adalah filter pada Snapchat dan Instagram yang memungkinkan kita bertransformasi sebagai sosok yang baru di media sosial. Dalam konteks digital fashion, filter memungkinkan penggunanya mengenakan aksesori yang tidak dimiliki di dunia nyata.

Selain filter, digital fashion sudah diperkenalkan melalui avatar. Avatar merupakan karakter virtual yang diwujudkan secara 3D dan dapat di personalisasi sesuai keinginan, seperti mengubah bentuk dan fitur fisik tubuh karakter sampai merancang busana yang dipakainya.

Digital fashion sedang mencuri perhatian

Kemunculan digital garments (busana digital) di awal tahun 2020 merupakan awal perkenalan digital fashion pada dunia akan keberadaannya sebagai busana yang dapat dipakai manusia.

Meski dianggap aneh dan tidak natural, digital fashion mampu bertahan bahkan berkembang. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya Metaverse Fashion Week pada 23 dan 24 Maret 2022 yang menghadirkan Dolce & Gabbana, Tommy Hilfiger, dan Charles & Keith dalam panggung runway digital.

Digital fashion semakin di lirik oleh peminat fashion dunia karena tiga hal. Pertama, produk digital fashion tidak perlu menggunakan bahan baku tekstil sehingga dianggap lebih rendah limbah. Kedua, digital fashion memungkinkan desainer merancang busana dari material yang dianggap mustahil di dunia nyata. Ketiga, digital fashion lebih inklusif karena tidak membatasi ukuran tertentu pada busananya.

Digital fashion dan green economy

Digital fashion dianggap lebih ramah lingkungan karena menggunakan sumber daya yang lebih sedikit dan tidak menghasilkan limbah tekstil seperti industri fast fashion saat ini. Hal ini membuat digital fashion menjadi salah satu sektor pembangun green economy, karena green economy mengutamakan kegiatan bisnis untuk pelestarian lingkungan.

Menurut United Nation Environment Programme atau UNEP pada Rabu (13/7/2022), green economy adalah ekonomi yang melibatkan kegiatan jual beli, infrastruktur, dan aset lainnya untuk mengurangi emisi dan polusi, peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, dan pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Digital fashion juga memfasilitasi penggunaan busana sekali pakai tanpa harus membuangnya menjadi sampah. Syarifa Yurizdiana, aktivis Zero Waste Indonesia dalam Media Indonesia (24/8/2021) menyatakan jika 92 ton limbah tekstil dihasilkan per tahun secara global.

Selain karena minim sumber daya dan limbah tekstil, digital fashion memberikan kesempatan yang setara bagi desainer busana dan desainer AR untuk memperkenalkan karya, memproduksi karya secara massal, dan mendapat keuntungan dari karya tersebut. Tidak hanya desainer pemula, namun juga desainer besar hingga brand dapat mengambil peluang ini.

Sehingga, digital fashion berpotensi untuk membuka kesempatan kerja baru tanpa menghapus profesi pekerjaan yang sudah ada mengingat busana kain tidak mungkin tergantikan di dunia nyata.

Baca Juga: Dialog B20-G20: Indonesia Fokus Percepat Transformasi Digital

Writer

Hamdiki Roziqi

Content Writer in the making.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya