Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi Universitas Indonesia (ui.ac.id)
ilustrasi Universitas Indonesia (ui.ac.id)

Inilah kehidupan, tetapi buat saya masih saja sangat mengagetkan dengan yang baru saja
terjadi di Univeritas Indonesia, universitas kebanggaan saya. Saya mengabdikan diri selama tiga puluh tahun terakhir sebagai guru besar, memberikan kuliah dalam berbagai
mata kuliah, membimbing penulisan skripsi dan tesis untuk baccalaureate dan master
maupun Doktor, menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal, bab dari buku maupun menulis
buku sebagai penulis tunggal maupun bersama kolega dengan segala suka dan dukanya.

Ternyata baru-baru ini telah diberitakan bahwa baru saja UI memberikan gelar Doktor
kepada dua orang kandidat, yang hanya mengikuti program sebanyak tiga semester dan
kemudian dinyatakan berhasil mempertahankan tesis mereka di hadapan sejumlah
penguji. Terus terang saya terkejut di suatu siang yang sedang saya nikmati sambil
mengenang kembali peristiwa lain yang pada Sabtu sebelumnya, 12 Oktober. Saat itu saya menerima penghargaan akademi tertinggi dari FEBUI.

Penghargaan ini ditunjukkan dalam suatu piagam bernama Adi Tama Wira Karya, yang diserahkan Dekan FEB Dr Teguh Dartanto di atas panggung kehormatan. Pemberian penghargaan disaksikan oleh Ketua Senat GURU Besar Profesor Bambang Brodjonegoro dan Rektor UI Professor Ari Kuncoro, keluarga dekat, rekan dan kolega, dan saya terima dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih bercampur bangga, karena ternyata kerja saya selama tiga puluh tahun dalam dunia akademi diakui oleh universitas, di mana saya bekerja dengan semangat pengabdian dan dedikasi penuh.

Ternyata saya telah mempublikasikan sepuluh buku sebagai penulis  tunggal, dan
membimbing dua puluh doktor di bidang Ekonomi, International Political Economy dan
Hukum di UI, RSIS-NTU, dan Universitas Pelita Harapan, demikian pula puluhan S2 dan S1.

Tetapi alangkah terkejutnya, bagaikan terkena aliran Listrik tekanan tinggi, saya membaca
berita yang menyedihkan sekaligus mengejutkan di siang itu. Betapa tidak, semua
kebanggaan tadi seperti sirna begitu saja karena Universitas yang baru saja menganugerahi saya tanda kehormatan itu baru saja menghadiahkan gelar doktor kepada dua orang secara memalukan. Seperti Sim Salabim dan lahirlah dua doktor konon kabarnya hanya dengan mengikuti program tiga semester. Saya tentu saja mengemukakan ini bukan karena iri dengan mereka, tetapi dengan rasa prihatin dan malu, bahkan berkabung. Bagaimana hal ini bisa terjadi dengan universitas yang saya banggakan selama ini. Rasanya seperti tercoreng muka ini didepan umum, dipermalukan dan dicemoohkan, dan saya tidak bisa berkutat apapun.

Menurut pemberitaan kedua doktor ini diberikan oleh suatu center yang saya juga baru pertama kali mengetahuinya, Pusat Kajian Strategi dan Global. Saya bergumam sendiri ‘bagaimana mungkin ini terjadi di UI ya? Sungguh ya, saya sama sekali tidak merasa iri dengn mereka yang memperoleh gelar yang sama dengan begitu mudahnya. Saya tidak iri, tetapi malu, bahkan berkabung dengan apa yang terjadi ini. Memang saya dan
rekan-rekan yang termasuk normal harus bekerja keras selama lima tahun full time,
melakukan penelitian, menulis tesis,  dan mempertahankannya dalam suatu ujian lisan.
Dan waktu dinyatakan lulus tentu saja sangat mensyukuri dan bangga.

Apalagi saya sangat senang memperoleh surat citation yang ditandatangani seluruh penguji, menyebutkan bahwa kualitas penelitian dan tulisan saya menunjukkan tingginya tingkat akademi yang saya miliki dan menunjukkan kualitas pendidikan ekonomi di Department of Economics, Boston University, tempat saya mengikuti program Ph.D, 1975-1980. Terus terang lima tahun itu justru bagian terbaik dari kehidupan saya rasanya. Ya kalau dicapai dalam tiga semester nggak tahu bagaimana rasanya.

Karena itu, kembali saya dan saya rasa semua rekan lain tidak iri dengan mereka yang selesai jauh lebih singkat itu, malah kami sedih, bahkan berkabung bahwa UI memberikan doktor dengan cara demikian. Kami tentu berharap hal ini akan diselesaikan dengan baik dan bijak oleh pimpinan UI. Saya juga mendengar bahwa Dewan Kehormatan Senat Guru Besar UI sedang bekerja untuk meneliti secara saksama apa yang telah terjadi dan akan memberikan laporan secepatnya. Ini tidak untuk mempermalukan siapa pun, namun diperlukan untuk mengembalikan integritas dan kualitas Univeritas Indonesia.

Sedihnya, ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia sebelumnya telah terjadi di universitas lain menyangkut seseorang yang kemudian terkuak waktu ada yang mengaku
menjadi penulis dari tesis yang menjadi dasar orang tadi dinyatakan sebagai doktor dalam
Ilmu Pertanian. Ya begitulah adanya. Tapi harap dimaklumi bahwa doktor itu memang
bukan ekslusif hanya untuk orang-orang tertentu, monopoli sekelompok orang tepilih,
bukan.

Doktor boleh dan bisa diraih siapapun dan kapanpun, tetapi yang bersangkutan
harus memenuhi persyaratan yang ketat, mengikuti dan lulus sejumlah mata kuliah 
wajib, melakukan penelitian, menulis tesis dan dinyatakan lulus oleh para penguji lisan
tesis tersebut. Itu saja, tidak kompleks, tetapi jangan cari jalan pintas apapun caranya
dengan memberi imbalan atau dengan menggunakan kekuasaan. Itu saja. Semoga ini benar-benar yang terakhir terjadi dan tidak akan ada lagi yang menyusul.

Beberapa waktu lalu ada juga universitas yang memberikan gelar Guru Besar Honoris Causa. Ini juga menyedihkan. Doktor HC biasa diberikan dimanapun, diberikan pada seseorang yang meskipun tidak mengikuti program doctor yang formal, tetapi dianggap telah memiliki keahlian seperti mereka yang mengikuti program formal. Tetapi kalau guru besar mana mungkin? Tugas guru besar adalah memberi kuliah, membimbing penulisan tesis dan menghasilkan karya ilmiah. Bagaimana mengukurnya kalau semua ini tidak dilakukan? Ini jadi lelucon yang menyedihkan dunia akademi.

Akhirnya, buat mereka yang sudah mempopulerkan melalui medsos, sambil mengejek menyebutkan bahwa UI itu Universitas Instan, tolong bapak,ibu, saudara-saudara yang budiman, itu keliru, UI adalah singkatan dari UNIVERSITAS INDONESIA, BUKAN UNIVERSITAS INSTAN. Sampun. (Dradjad, 26/10/2024).

Guru Besar Ekonomi Emiritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.

Editorial Team