Pembahasan terkait diskriminasi etnis minoritas oleh pemerintahan Myanmar tidak bisa lepas dari sejarah kemerdekaannya pada tahun 1947. Jenderal Aung San merupakan tokoh di balik Panglong Treaty, perjanjian antara Myanmar dengan Inggris, yang menjadi deklarasi kemerdekaan Myanmar.
Kim Jolliffe, pengamat kemanusiaan Myanmar, menjelaskan bahwa Perjanjian Panglong menjadi kesepakatan antar-etnis untuk mendirikan negara Myanmar (Saat itu masih Burma) sebagaimana yang diinginkan Jenderal Aung San.
Akan tetapi, cita-cita Jenderal Aung San untuk mendirikan negara sekuler melalui Perjanjian Panglong tidak pernah terwujud karena ia lebih dahulu meninggal. Pasca ditinggalkan olehnya, perjanjian tersebut tidak lagi mengikutsertakan etnis minoritas. Perjanjian tersebut hanya melibatkan etnis mayoritas yang notabenenya adalah Buddha.
Diskriminasi semakin menjadi-jadi setelah Perdana Menteri U Nu mengeluarkan kebijakan yang menjadikan Buddha sebagai satu-satunya agama resmi di Myanmar. Padahal Myanmar merupakan negara multietnis, mengingat posisi geografisnya yang bersisian dengan wilayah Timur dan Selatan serta Tenggara Asia.
Diskriminasi tak lagi terbendung setelah sentralisasi kebijakan yang merugikan daerah-daerah dengan etnis minoritas. Di antara etnis yang terdiskriminasi oleh kebijakan pemerintah adalah Etnis Kachin, Karen, Mon, Naga, Chin, dan Rohingnya. Bentuk diskriminasinya pun berbeda-beda. Mulai dari pemindahan paksa, kerja paksa, hingga pencabutan hak politik.
Diskriminasi terhadap Etnis Rohingnya menjadi sorotan hangat dunia. Aung San seolah tutup mata melihat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di tengah rezim pemerintahannya.
Ketegangan antara penganut Islam dengan Buddha distimulus oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Buddha oleh etnis Rohingnya. Kasus tersebut menjadi kasus agama di Rakhine dan menuntut tatmadaw (Militer Myanmar) untuk melakukan intervensi. Alih-alih menyelesaikan kasus, kehadiran tatmadaw justru memperkeruh suasana.