Jakarta, IDN Times – Mulai 7 September 2020, Malaysia menutup pintu masuk bagi warga Indonesia. Sebuah kado pahit bagi peringatan genap enam bulan pandemik COVID-19 di Tanah Air, yang jatuh pada 2 September 2020. Ini didasarkan kepada pengumuman kasus positif COVID-19 pertama dan kedua, pada 2 Maret 2020.
Selain Warga Negara Indonesia (WNI), negeri jiran itu juga melarang warga Filipina dan India untuk bertandang ke sana. Langkah ini diambil, karena Malaysia ingin mencegah masuknya kasus COVID-19 dari warga asing, yang biasa disebut kasus impor.
Pandemik ini hal yang baru bagi semuanya. Datang mendadak pertengahan Desember 2019 di Kota Wuhan, Tiongkok. Per hari ini, Rabu (2/9/2020), ada 17.660.523 kasus terkonfirmasi di 216 negara, dengan 680.894 meninggal dunia dan 16,7 juta orang sembuh.
Indonesia mencatat 180.646 kasus terinfeksi, 7.616 meninggal dunia, dan 129.971 sembuh. Data ini saya kutip dari laman Covid19.go.id, sumber informasi resmi dari Pemerintah Indonesia.
IDN Times menggelar lebih dari 100 sesi wawancara virtual dan webinar sejak pertengahan Maret 2020. Ratusan narasumber dari berbagai kalangan sepakat, tidak ada satupun di dunia ini yang menguasai seluk-beluk COVID-19 yang sebelumnya disebut sebagai virus corona. Argumentasi ini pula yang kerapkali disampaikan para narasumber, termasuk kalangan pemerintah dalam sesi-sesi webinar yang kami selenggarakan.
Klaim itu tidak salah. Tetapi kita juga bisa melihat mana negara yang pemerintahannya cepat bereaksi, mana yang terlambat. Mana kepala negara yang dipuji, mana yang dikritisi. Ibarat perlombaan lari, kalau start-nya terlambat, tentu akan selalu ketinggalan, apalagi jika kemampuan si pelari tidak prima. Ini yang terjadi dengan Indonesia. Pandemik membuka mata betapa rapuhnya infrastruktur kesehatan kita.
Kita masih ingat betul sikap pemerintah saat awal pandemik. Selain upaya evakuasi WNI dari Wuhan dan kapal pesiar, praktis tidak terlihat persiapan memadai untuk menyambut serangan virus yang sangat mungkin masuk dari 135 perbatasan negeri ini.
Kita menyaksikan sikap penyangkalan, komunikasi publik yang ambyar dan tidak transparan, lemah dalam menyusun skala prioritas antara mengutamakan penanganan krisis kesehatan dan harapan semu sektor ekonomi, serta ego sektor dan debat pusat-daerah dalam mengambil sikap apakah akan karantina wilayah atau tidak.
Tidak ada yang siap menghadapi pandemik, itu betul. Yang membedakan adalah sikap tanggap dan kemauan untuk menyingkirkan ego sektoral, meminggirkan kepentingan dan gengsi politik, serta mendengarkan pendapat ahli yang kredibel dan independen.
Jadi, selama enam bulan pandemik melanda Ibu Pertiwi, apa yang bisa kita catat?