[OPINI] Di Indonesia, Orang Mungkin Boleh Menjadi Nazi

Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, saya berjalan-jalan di daerah sekitar gerbang kampus. Entah apa tujuan saya waktu itu, mungkin sekadar mengisi waktu kosong. Kala jalan-jalan tersebut, saya melihat seorang remaja berjalan kaki penuh enteng dengan kaos oblong bergambar potret Adolf Hitler lengkap dengan panji Swastika berlatar putih dan merah.
Itu adalah pemandangan surreal, demi Tuhan. Seorang pemuda Asia ceking berkulit sawo matang mengenakan simbol dan potret pemimpin sebuah paham yang menjunjung tinggi supremasi kesempurnaan ras kulit putih dan menganggap rendah ras-ras lain.
Atau saya ketinggalan berita bahwa Nazi telah masuk di Indonesia, mendirikan cabang dan dimodif sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kultur kebencian lokal?
Ada kebimbangan hakiki sebagai mahasiswa sekaligus agent of change apakah pemuda tersebut harus dilaporkan ke polisi atau tentara. Tapi setelah dipikir ulang, niat tersebut saya urungkan karena dua alasan. Pertama, negara kita hanya melarang komunisme-Marxisme-Leninisme beranak pinak dalam bentuk ideologi dan partai politik, tidak dengan fasisme-Nazisme. Kedua, banyak orang sulit membedakan Adolf Hitler dan Charlie Chaplin.
Jika kamu gemar baca buku bertema sejarah atau hal-hal kuno, maka sudah disepakati secara bulat bahwa komunisme dan Nazisme itu sama buruknya.
Dua-duanya punya sejarah kelam dalam membasmi penduduk, sama-sama menunjukkan kezaliman yang nyata. Nazi dengan kamar gas dan kamp-kamp konsentrasi menangkap lalu membabat habis lebih dari 11 juta orang yang terdiri dari etnis Yahudi, kaum difabel, simpatisan komunis, gay, kaum gypsy Rom, penganut agama tertentu dan para tawanan perang.
Komunisme di bawah Lenin dan Stalin malah lebih parah. Menggunakan Cheka dan OGPU, dua polisi rahasia dengan taktik dan metode brutal, mereka membunuh lebih dari 60 juta orang dari medio tahun 1922 hingga 1952.
Saya pernah membaca sebuah artikel di mana penulisnya penyanjung "pencapaian" Hitler dan pasukannya dalam membantai ras Yahudi. Hal itu patut disesalkan sebab mereka ras Yahudi juga manusia seperti kita. Mereka bernafas, berkeluarga, bekerja dan makan seperti manusia pada umumnya. Mereka juga manusia. Di mana rasa kemanusiaan?
Ingat baik-baik. Misi utama Nazi adalah mengembalikan supremasi ras Arya atau kulit putih sebagai golongan teratas dan berhak memegang kendali di masyarakat. Ngeri! Sebuah pemerintahan otoriter yang membuat segala kebijakan berdasarkan segregasi warna kulit. Bayangkan seperti apa nasib kita yang bukan ras Arya jika seandainya pemerintahan Nazi-Jerman langgeng. Tidak memungkinkan akan sama mengenaskan.
Di sisi lain, Internet memiliki riwayat artikel-artikel mengenai Nazi di Indonesia yang menurut sejarawan Anhar Gonggong, menggelikan. Mulai dari harta karun Nazi yang konon terkubur di suatu tempat di Gunung Pangrango, Adolf Hitler yang diyakini meninggal di Surabaya usai lari dari keruntuhan Reich-nya, bahkan desas-desus bahwa Nazi ikut berjasa dalam penyusunan teks Proklamasi yaitu dengan meminjamkan mesin tik. Ini membuktikan imajinasi kita tidak kalah dengan para penulis novel bertema alternate history.
Kembali ke topik, sebagian masyarakat kita memang kadung benci dunia akhirat sama komunisme. Lebih lanjut, sebagian dari sebagian itu (Dengan bodohnya) menyamakannya dengan liberalisme. Tapi menurut saya, mengajarkan bahaya Nazisme juga diperlukan. Di sini butuh kesepakatan bahwa Nazisme atau nasionalisme berlebihan adalah bibit sekaligus potensi biang kerok perpecahan bangsa. Itu timbul dari narasi kaum ultra-nasionalis yang menyalahkan etnis tertentu atas segala masalah, seperti kesenjangan sosial.
Untuk kalimat terakhir, kita sudah biasa melihatnya di hari-hari belakangan ini. Apa mereka yang mengangkat narasi itu termasuk dalam golongan fasis-Nazi? Itu berpulang pada analisa dan pengamatan pembaca sekalian.
Nazi dengan mengangkat isu bahwa ketimpangan sosial terjadi akibat ulah etnis tertentu membawa Jerman pada masa-masa di mana hak asasi manusia tidak diperlukan. Penjarahan, pembunuhan, pembantaian dan bentuk perbuatan kriminal lain yang sasarannya adalah etnis Yahudi malah mendapat dukungan penuh dari negara.
Politik berdasarkan pemahaman bahwa rasnya lebih unggul juga membawa Italia di masa Benito Mussolini menginvasi Afrika. Alasannya bahwa orang-orang di benua itu adalah "Orang-orang yang belum mengenal peradaban" sehingga Mussolini merasa memiliki tanggung jawab untuk membuat mereka "Beradab". Caranya? Menginvasi, membunuh penduduk asli kemudian memaksa mereka belajar budaya Italia yang penerapannya tidak cocok di wilayah Afrika.
Kita tidak perlu memuji pencapaian sebuah ideologi fasisme yang memandang rendah rasa lain hanya karena sentimen kebencian yang mereka bawa ternyata "cocok" dengan nilai-nilai yang dimiliki. Kemanusiaan adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap kebencian jika dibiarkan tumbuh akan menjadi peluru atau parang yang siap bersarang di tubuh kita, di tubuh anak cucu kita, di tubuh orang-orang tidak berdosa.
Apa pemerintah dan aparat perlu menerbitkan UU yang spesifik melarang Nazi dan menertibkan simbol-simbolnya yang beredar bebas di masyarakat? Saya pesimis itu terjadi. Masyarakat hanya mengenal komunisme karena sejarah mencatat negara pernah “Berurusan” dengan mereka. Komunis memang sudah mati, tapi jasadnya jadi mainan segelintir pihak di luar sana. Sementara fakta trend berkembangnya paham fasisme di beberapa belahan dunia saat ini malah tidak dihiraukan secara sadar.
Tapi ada satu hal yang saya dapat. Saat berita tentang keberadaan Soldatenkaffee (Sebuah kafe di Bandung yang memajang atribut Nazi) mengemuka, kecaman lebih banyak datang dari para warganet, bukan dari anggota ormas.
Kesimpulannya?
Jangan heran atau terkejut jika nanti mendengar kabar pendirian Partai Nazi Indonesia. Karena negara kita tercinta sejauh ini belum secara tegas melarangnya.