Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi hoax (pexels.com/Markus Winkler)
ilustrasi hoax (pexels.com/Markus Winkler)

Intinya sih...

  • Fenomena hoax menyebar di media sosial dan percakapan sehari-hari dengan cepat, meninggalkan kebingungan dan kerugian.

  • Hoax muncul di saat krisis seperti pandemi atau musim politik, dimanfaatkan karena masyarakat cenderung percaya pada kabar yang memicu emosi.

  • Hoax lebih cepat menyebar dibandingkan fakta karena judul yang memicu emosi lebih menarik perhatian, algoritma media sosial juga memperkuat konten yang banyak direspons.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Fenomena hoax bukan lagi hal asing di Indonesia maupun dunia. Apa yang disebut hoax adalah informasi bohong atau manipulasi fakta yang dikemas seolah-olah benar. Kehadirannya mengisi media sosial, grup percakapan, hingga percakapan sehari-hari. Dalam hitungan menit, kabar palsu bisa menyebar ke ribuan orang, meninggalkan kebingungan bahkan kerugian nyata.

Pertanyaannya, siapa yang berada di balik hoax? Sayangnya, jawabannya sering kabur. Kadang berasal dari oknum tak bertanggung jawab yang ingin meraih keuntungan, bisa berupa uang, pengaruh politik, hingga sekadar kepuasan pribadi. Namun, yang pasti, kita sebagai pengguna media sosial juga sering tanpa sadar menjadi penyebar. Saat menekan tombol “bagikan” tanpa membaca tuntas, kita menjadi bagian dari rantai panjang penyebaran kebohongan.

Fenomena ini semakin kuat karena di mana pun ada akses internet, hoax bisa tumbuh subur. Dari kota besar dengan jaringan cepat hingga pelosok desa dengan kuota terbatas, berita palsu menemukan jalannya. Platform media sosial, terutama yang berbasis percakapan instan dan algoritma viral, menjadi tempat favorit hoaks berkembang. Ironisnya, ruang digital yang seharusnya jadi sarana belajar dan komunikasi justru kadang berubah menjadi ladang penyebaran informasi menyesatkan.

Jika ditanya kapan hoax paling banyak muncul, jawabannya adalah di saat krisis. Contohnya saat pandemi, ketika orang panik mencari obat dan informasi, hoax tentang ramuan ajaib hingga teori konspirasi bermunculan di mana-mana. Begitu juga saat musim politik, berita palsu tumbuh lebih cepat daripada janji kampanye itu sendiri. Momentum inilah yang dimanfaatkan, karena saat masyarakat cemas atau emosional, mereka lebih mudah percaya pada kabar yang belum tentu benar.

Lalu, mengapa hoax bisa lebih cepat menyebar dibandingkan fakta? Alasannya sederhana: emosi. Judul yang memicu rasa marah, takut, atau penasaran jauh lebih menarik perhatian dibandingkan berita fakta yang penuh data dan penjelasan panjang. Apalagi algoritma media sosial memperkuat konten yang paling banyak direspons. Hoax pun seperti bola salju, semakin banyak dibicarakan, semakin sulit dihentikan.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita harus menyikapi semua ini? Menurut saya, jawabannya kembali ke literasi digital dan kesadaran pribadi. Kita harus melatih diri untuk berhenti sejenak sebelum membagikan kabar, mengecek sumber, membandingkan dengan media resmi, dan mempertanyakan logika isi berita tersebut. Dengan begitu, kita bisa memperlambat laju hoaks dan memberi kesempatan fakta untuk muncul di permukaan.

Fenomena hoax memberi pelajaran penting tentang cara kita menghadapi banjir informasi. Bukan hanya pemerintah atau media yang bertugas melawannya, tetapi juga kita semua sebagai pengguna. Jika masyarakat bisa lebih kritis, maka hoax tidak akan mudah tumbuh besar.

Pada akhirnya, cepat bukan berarti benar, dan lambat bukan berarti salah. Hoax memang bisa berlari lebih cepat, tetapi fakta tidak pernah mati. Tugas kita adalah menjaga agar kebenaran tetap berdiri, meski jalannya pelan. Karena hanya kebenaranlah yang mampu menyelamatkan kita dari kekacauan yang ditimbulkan oleh kebohongan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team