Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Kuota Impor, SPBU Swasta, dan Konsistensi Kebijakan

WhatsApp Image 2025-09-17 at 11.09.55 PM.jpeg
Kemementerian ESDM
Intinya sih...
  • Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang penghapusan mekanisme kuota impor bertujuan menghapus distorsi dan memastikan kelancaran perdagangan.
  • Keseimbangan kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan kepentingan nasional harus dijaga dalam kebijakan impor BBM.
  • Pemerintah perlu meningkatkan transparansi data pasokan, mengembangkan mekanisme joint procurement, memperkuat komunikasi publik, dan memantau perilaku BU swasta.
  • Ditulis oleh: Trubus Rahardiansah, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu mengenai penghapusan mekanisme kuota impor pada komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak merupakan arah kebijakan yang jelas: menghapus distorsi dan memastikan kelancaran perdagangan. Pesan ini penting untuk memastikan rakyat mendapatkan akses terhadap kebutuhan pokok tanpa hambatan administratif yang tidak perlu. Namun, arahan Presiden ini tidak bisa dibaca secara parsial atau dipakai sebagai dalih untuk memberi keleluasaan tak terbatas kepada segelintir pemain pasar yang justru dapat mengancam ketahanan energi nasional.

Kasus yang saat ini mengemuka adalah desakan beberapa badan usaha swasta (BU swasta) pemilik SPBU agar pemerintah kembali membuka kuota impor tambahan. Mereka beralasan stok BBM mereka telah habis, padahal kuota impor tahun ini sudah dinaikkan 10 persen dibandingkan 2024 dan realisasi impor sudah mencapai 110 persen. Artinya, mereka telah diberikan ruang ekstra dari pagu awal. Fakta bahwa stok bisa habis sebelum akhir tahun seharusnya menjadi pelajaran penting bagi industri untuk melakukan perencanaan logistik yang lebih baik, bukan sekadar mendesak pemerintah membuka keran impor lebih lebar.

Keseimbangan Kepentingan

Dari sudut pandang kebijakan publik, pemerintah wajib menyeimbangkan tiga kepentingan utama:

Pertama, kepentingan konsumen untuk mendapatkan pasokan BBM yang cukup dan harga yang stabil. Kedua, kepentingan pelaku usaha agar terdapat level playing field antara Pertamina sebagai BUMN dan BU swasta yang memang sedang mengalami pertumbuhan pangsa pasar. Ketiga, kepentingan nasional yang lebih besar: memastikan pengelolaan energi tidak lepas kendali dan tidak terlalu bergantung pada impor.

Arahan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) agar BU swasta membeli BBM dari Pertamina atau, bila perlu, melakukan impor melalui Pertamina, sejalan dengan kerangka kebijakan tersebut. Kebijakan ini bukan bentuk diskriminasi atau bahkan upaya monopoli, melainkan upaya konsolidasi pasokan agar volume, kualitas, dan pembiayaan tetap berada dalam kendali nasional. Pendekatan ini juga menghindari fragmentasi impor yang bisa menimbulkan inefisiensi dan potensi disparitas harga di lapangan.

Narasi Publik dan Kontrol Pasar

WhatsApp Image 2025-09-17 at 11.14.58 PM.jpeg
Trubus Rahardiansah, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti

Perlu dicatat, market share BU swasta saat ini sudah mencapai sekitar 11 persen dan terus tumbuh karena sebagian konsumen Pertamina beralih ke jaringan mereka. Dengan porsi pasar ini saja, mereka sudah mampu membangun narasi dan memengaruhi percakapan publik di media sosial. Bila diberikan tambahan kuota impor tanpa mekanisme kontrol, porsi pasar ini bisa meluas lebih cepat dan justru mengurangi kemampuan negara untuk menjaga cadangan strategis nasional.

Inilah yang menjadi kekhawatiran sebagian pengambil kebijakan: sektor energi yang merupakan urat nadi perekonomian jangan sampai dikendalikan oleh kekuatan pasar tanpa arah yang jelas. Kebijakan energi harus berorientasi jangka panjang, bukan reaktif terhadap desakan pasar atau opini sesaat. Sebaliknya, pemerintah tetap konsisten terhadap arahan Presiden: menghapus kuota yang diskriminatif, tetapi memastikan kebijakan impor tetap terkoordinasi dalam satu kerangka tata kelola energi nasional.

Sebagai pengamat kebijakan publik, ada beberapa langkah yang patut dipertimbangkan pemerintah untuk memperkuat kebijakan ini. Pertama, meningkatkan transparansi data pasokan, impor, dan kebutuhan BBM nasional. Publik perlu tahu bahwa stok nasional aman dan tidak terjadi kelangkaan buatan. Kedua, mengembangkan mekanisme joint procurement yang memungkinkan BU swasta ikut melakukan impor, tetapi dengan koordinasi bersama Pertamina untuk efisiensi logistik dan pengendalian harga.

Ketiga, memperkuat komunikasi publik agar kebijakan ini tidak dipersepsikan sebagai proteksi terhadap BUMN semata, melainkan sebagai langkah menjaga ketahanan energi dan menghindari risiko pasokan di masa depan. Keempat, terus memantau pangsa pasar dan perilaku BU swasta agar pertumbuhan mereka tetap berada dalam koridor persaingan yang sehat, tanpa mengorbankan peran strategis negara.

Pemerintah tidak sedang memusuhi sektor swasta. Justru, kebijakan ini adalah upaya menata pasar agar lebih sehat, transparan, dan efisien. Dalam jangka panjang, keterlibatan swasta penting untuk meningkatkan layanan dan mendorong inovasi. Namun, di sektor strategis seperti energi, keterlibatan swasta harus tetap dalam kerangka tata kelola nasional yang ketat.

Dengan demikian, kebijakan mendorong BU swasta membeli dari Pertamina bukan bertentangan dengan arahan Presiden untuk menghapus kuota impor. Sebaliknya, ini adalah implementasi nyata dari prinsip free flow of goods yang terkendali, demi menjamin kepastian pasokan, stabilitas harga, dan kedaulatan energi Indonesia. (WEB)

Oleh:

Trubus Rahardiansah, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Cynthia Kirana Dewi
EditorCynthia Kirana Dewi
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Kuota Impor, SPBU Swasta, dan Konsistensi Kebijakan

18 Sep 2025, 00:01 WIBOpinion
Bendera Merah Putih.png

Rasa Itu...

11 Agu 2025, 15:01 WIBOpinion