Terpilihnya Zohran Mamdani sebagai Wali Kota New York memberi kabar yang menenangkan di tengah gelombang politik dunia yang kian mengkhawatirkan. Ia bukan sekadar politisi muda progresif, melainkan simbol bahwa politik yang berkeadilan masih mungkin tumbuh di tengah sistem yang dikuasai uang dan kekuasaan.
Kemenangan Zohran Mamdani ini, pada dasarnya, sangat berarti dan menenangkan—bukan semata karena ia seorang Muslim, meskipun media-media arus utama banyak menyoroti latar belakang agamanya. Hal yang utama adalah: Kingpin dalam dunia nyata akhirnya terkalahkan.
Siapa itu Kingpin? Pertanyaan ini patut disampaikan bagi yang belum mengenalnya. Kingpin, atau Wilson Fisk, adalah tokoh villain dalam semesta Marvel, musuh bebuyutan para pahlawan seperti Daredevil, The Punisher, dan Spiderman. Ia dikenal sebagai penguasa kriminal New York yang menutupi kejahatannya dengan kedok sebagai dermawan dan pengusaha sukses.
Dalam serial Daredevil: Born Again, digambarkan bahwa Kingpin bahkan memenangkan pemilihan Wali Kota New York, lalu menggunakan kekuasaannya untuk melindungi jaringan kriminalnya dan menghancurkan siapa pun yang berani menentang.
Pertanyaannya: Siapa Kingpin dalam dunia nyata?
Jawaban yang paling mendekati adalah Donald Trump, Presiden Amerika Serikat sekaligus miliarder real estat yang sering kali menunjukkan perilaku dan pandangan mirip Kingpin.
Kesamaannya mencolok. Pertama, latar belakang pengusaha kaya yang terbiasa memanipulasi kekuasaan demi keuntungan pribadi. Kedua, lingkaran orang-orang di sekitarnya, yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa para pendukung utama Trump adalah kelompok rasis dan ultranasionalis, terutama para penganut ideologi white supremacy (supremasi kulit putih). Dalam kampanye dan masa pemerintahannya, mereka dengan lantang menolak imigran, minoritas kulit hitam, Muslim, dan Latin.
Beberapa individu yang berpengaruh di sekitar Trump bahkan terkenal karena pandangan mereka yang ekstrem dan rasis. Contohnya:
Steve Bannon, yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat strategis Trump, dianggap sebagai arsitek dari politik sayap kanan dan pendukung nasionalisme kulit putih.
Stephen Miller, penasihat kebijakan imigrasi Trump, yang terkenal sebagai penggagas kebijakan pembatasan Muslim dan pemisahan anak-anak imigran di perbatasan.
Roger Stone dan Paul Manafort, dua politisi bayangan yang terlibat dalam praktik politik tidak bersih dan kampanye penyebaran informasi yang menyesatkan.
Di luar struktur resmi, terdapat juga kelompok-kelompok seperti Proud Boys, Oath Keepers, dan berbagai milisi sayap kanan yang secara terbuka mendukung Trump dan ide-ide supremasi rasial.
Semua individu dan kelompok ini membangun sebuah jaringan kekuasaan gelap yang mirip dengan dunia bawah seorang Kingpin—menggabungkan uang, kekuatan, dan kebencian rasial sebagai instrumen politik.
Dengan demikian, kemenangan Zohran Mamdani saat ini bukan hanya kemenangan seorang politisi muda yang progresif, tetapi juga simbol dari kekalahan Kingpin—baik yang nyata maupun yang imajiner. Kemenangan ini menjadi pengingat bahwa di tengah gelombang kebencian, masih ada tempat bagi harapan, untuk politik yang lebih manusiawi, dan bagi suara yang menolak untuk tunduk pada tirani keserakahan dan kebencian.
Persoalannya kemudian adalah, apakah sikap Wali Kota New York terpilih ini dapat menandingi arah politik Trump yang sayap kanan dan probisnis? Untuk itu, kita perlu melihat lebih dekat: siapakah Zohran Mamdani?
Nama lengkapnya adalah Zohran Kwame Mamdani. Ia lahir di Kampala, Uganda, tahun 1991. Ia adalah anak dari Mahmood Mamdani, cendekiawan asal Uganda berdarah India yang dikenal luas karena pemikiran kritisnya tentang kolonialisme. Ibunya, Mira Nair, adalah sutradara film terkenal asal India yang sering mengusung isu migrasi dan kemanusiaan.
Keluarga Zohran bermigrasi ke Amerika Serikat saat ia masih kecil. Ia kemudian dibesarkan di New York. Kondisi sosial serta latar belakang keluarganya inilah yang membentuk sikap politik Zohran menjadi egaliter dan antirasis.
Sebelum terpilih sebagai Wali Kota New York, Zohran populer sebagai anggota New York State Assembly dari Distrik 36, yang mencakup kawasan Queens dan Astoria. Ia berasal dari faksi progresif Partai Demokrat dan aktif dalam kelompok Democratic Socialists of America (DSA).
Mamdani juga aktif dalam berbagai isu kerakyatan seperti perumahan terjangkau, hak-hak buruh, keadilan iklim, serta solidaritas politik dan kemanusiaan terhadap Palestina. Ia menolak politik uang dan dominasi korporasi besar. Prinsip politik utamanya ialah bahwa kebijakan publik harus berpihak pada kelas pekerja dan kelompok minoritas.
Profil dan latar belakang mentereng Zohran Mamdani ini menjadi cerminan kebangkitan politik moral yang prokemanusiaan dan berkeadilan di Amerika Serikat, di tengah krisis etika dan kekuasaan di sana.
Pertanyaannya kemudian, apakah seorang Mamdani mampu melawan arus politik dan ekonomi Amerika Serikat yang kini cenderung probisnis dan mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan?
Dalam sejarah, New York pernah dipimpin oleh Michael Bloomberg, yang menjabat sebagai Wali Kota pada 2002–2013. Ironisnya, di balik citra Bloomberg yang teknokratis, efisien, dan rasional, ia mendukung invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Setelah invasi itu berujung pada kekacauan politik dan ekonomi, tak ada sedikit pun sikap penyesalan atau koreksi dari Bloomberg atas dukungan politiknya tersebut.
Untuk masa kini, potensi pengulangan sejarah—dalam kualitas dan bentuk berbeda—bisa saja menjadi kenyataan. Misalnya, dalam bentuk invasi atau agresi militer Amerika Serikat ke negara lain dengan dalih demokrasi dan kemanusiaan, padahal sesungguhnya untuk mengeruk sumber daya alam negara yang diinvasi.
Menarik kemudian untuk melihat bagaimana sikap politik Mamdani jika invasi Amerika Serikat ke Venezuela, dengan kedok pemberantasan narkoba, benar-benar terjadi. Jika sikap Mamdani sama dengan Bloomberg—mendukung invasi dengan berbagai alasan—maka harapan besar rakyat New York dan dunia yang prokemanusiaan serta berkeadilan hanya akan menjadi pepesan kosong.
Namun jika sebaliknya, sejauh manakah penolakan Mamdani dapat memberi dampak terhadap kondisi politik Amerika Serikat dan dunia?
