Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Apakah Pernikahan Masih Relevan untuk Generasi Sekarang?

ilustrasi pernikahan (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi pernikahan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Pernikahan dulu dianggap sebagai tanda kedewasaan dan pencapaian hidup bagi banyak orang. Namun kini tak sedikit orang yang mulai mempertanyakan maknanya. Di tengah perubahan cara pandang terhadap karier, kebebasan, dan kebahagiaan, konsep pernikahan mengalami pergeseran yang cukup besar. Banyak orang muda menilai komitmen tak harus dibungkus dengan ikatan hukum, sementara sebagian lain masih melihat pernikahan sebagai simbol cinta dan stabilitas hidup.

Fenomena ini menimbulkan perdebatan panjang tentang apa arti pernikahan di zaman modern. Mungkin bagi sebagian orang, menikah tak lagi menjadi tujuan akhir, melainkan salah satu pilihan dalam perjalanan hidup. Berikut beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa relevansi pernikahan di generasi sekarang semakin kompleks dan beragam.

1. Nilai pernikahan berubah seiring cara orang memandang kebahagiaan

ilustrasi pernikahan (pexels.com/afiful huda)
ilustrasi pernikahan (pexels.com/afiful huda)

Dulu kebahagiaan sering dikaitkan dengan keberhasilan membangun rumah tangga. Kini, banyak orang lebih fokus pada kepuasan pribadi, keseimbangan hidup, dan pencarian jati diri. Mereka tidak ingin menikah hanya karena tekanan sosial atau usia, melainkan karena benar-benar siap secara mental dan emosional. Perubahan ini menunjukkan bahwa makna pernikahan tidak lagi sesederhana dua orang bersatu, melainkan bagaimana dua individu bisa tumbuh tanpa kehilangan diri masing-masing.

Kebahagiaan tidak lagi diukur dari status hubungan, melainkan dari kualitas hidup yang dijalani. Banyak orang merasa bahagia meski belum menikah karena mereka mampu mencintai diri sendiri dan membangun relasi sehat di luar ikatan formal. Hal ini membuat pernikahan bukan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, melainkan salah satu dari banyak cara untuk mencapai kehidupan yang bermakna.

2. Tekanan sosial terhadap pernikahan kini mulai berkurang

ilustrasi pernikahan dini (pexels.com/李 兴嘉)
ilustrasi pernikahan dini (pexels.com/李 兴嘉)

Di masa lalu, seseorang yang belum menikah di usia tertentu sering dianggap “terlambat” atau “kurang laku.” Namun, norma itu perlahan memudar seiring berkembangnya pemikiran bahwa setiap orang memiliki waktu dan prioritas berbeda. Media sosial juga berperan besar dalam membentuk pandangan baru tentang hidup, banyak orang kini lebih memilih menunda menikah demi pendidikan, karier, atau perjalanan pribadi.

Generasi muda melihat bahwa terburu-buru menikah sering kali bukan solusi untuk kesepian atau pencapaian hidup. Tekanan sosial yang dulu begitu kuat kini mulai dilawan dengan narasi baru hidup tidak harus sama dengan orang lain. Melalui kebebasan memilih, orang bisa menentukan kapan dan bagaimana mereka ingin membangun hubungan jangka panjang tanpa merasa tertinggal.

3. Prioritas hidup modern mengubah cara orang membangun hubungan

ilustrasi hubungan jarak jauh (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)
ilustrasi hubungan jarak jauh (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Dunia kerja yang semakin kompetitif membuat banyak orang menempatkan karier di posisi utama. Pekerjaan yang menuntut waktu panjang sering kali menggeser fokus dari urusan pribadi, termasuk pernikahan. Namun hal ini bukan berarti mereka menolak hubungan serius, melainkan mencoba menyeimbangkan antara ambisi dan komitmen. Dalam konteks ini, pernikahan dianggap perlu adaptif terhadap gaya hidup modern yang lebih fleksibel.

Bagi sebagian orang, bentuk hubungan jangka panjang kini bisa bermacam-macam ada yang memilih tinggal bersama tanpa menikah (ada yang melakukan tapi dianggap tidak sesuai dengan budaya orang Indonesia), ada pula yang menjalin hubungan jarak jauh karena tuntutan pekerjaan. Semua ini menggambarkan bahwa generasi sekarang lebih realistis dalam memandang cinta. Mereka tak lagi terjebak pada gambaran ideal, melainkan menyesuaikan pernikahan dengan realitas hidup yang berubah cepat.

4. Ketakutan akan kegagalan pernikahan membuat banyak orang ragu melangkah

ilustrasi bercerai (vecteezy.com/sirijitjong858329)
ilustrasi bercerai (vecteezy.com/sirijitjong858329)

Tingginya angka perceraian di banyak negara, termasuk Indonesia, menjadi faktor yang memengaruhi persepsi terhadap pernikahan. Banyak orang tumbuh menyaksikan konflik rumah tangga orang tua atau orang di sekitar mereka, sehingga muncul ketakutan akan pengulangan pola yang sama. Rasa takut itu membuat sebagian memilih untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan sama sekali.

Namun, ketakutan ini juga mendorong kesadaran baru tentang pentingnya kesiapan emosional sebelum menikah. Orang mulai memahami bahwa cinta saja tidak cukup, dibutuhkan komunikasi, kompromi, dan kedewasaan untuk menjaga hubungan tetap sehat. Dengan kesadaran ini, generasi muda tidak menolak pernikahan, melainkan menuntut versi yang lebih jujur, setara, dan realistis.

5. Makna komitmen kini tidak selalu harus disahkan lewat pernikahan

ilustrasi komitmen (pexels.com/Ahmad Hudzaifah)
ilustrasi komitmen (pexels.com/Ahmad Hudzaifah)

Banyak pasangan masa kini yang merasa bisa saling berkomitmen tanpa harus melalui proses legal formal. Mereka lebih percaya bahwa kejujuran, rasa hormat, dan kebersamaan sehari-hari jauh lebih penting daripada tanda tangan di atas kertas. Hal ini menandakan pergeseran besar dalam cara orang memaknai hubungan dan tanggung jawab terhadap pasangan.

Namun, pilihan ini bukan berarti menolak nilai pernikahan, melainkan mengartikannya secara lebih personal. Setiap pasangan punya cara sendiri dalam merawat hubungan, dan tidak semua membutuhkan validasi sosial untuk membuktikan keseriusan mereka. Di era yang serba terbuka ini, komitmen hadir dalam banyak bentuk, dan semuanya sah selama didasari rasa saling menghargai. Namun sayangnya, hal semacam ini masih terlalu tabu untuk diterapkan di Indonesia.

Pernikahan mungkin masih relevan, tapi kini lebih bersifat pribadi dan tidak lagi universal. Setiap orang memiliki definisi kebahagiaan dan komitmen yang berbeda, sesuai perjalanan hidup masing-masing. Mungkin yang perlu dipertanyakan bukan apakah pernikahan masih penting, melainkan apakah kamu benar-benar memahami arti pernikahan yang kamu inginkan?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Apakah Pernikahan Masih Relevan untuk Generasi Sekarang?

25 Okt 2025, 20:06 WIBOpinion
potret umat peziarah yang berziarah ke Gua Lourdes, Prancis (commons.wikimedia.org/Fabio Alessandro Locati)

Keajaiban Baru di Lourdes

24 Sep 2025, 10:34 WIBOpinion