Posisi saya sejak awal sudah jelas. Demonstrasi itu sah-sah saja. Meski secara pribadi saya merasa ada kalanya kita menjadi sangat reaksioner dan berkulit tipis atas satu persoalan tertentu dan cenderung mengikuti egoisme sesaat, tapi saya menilai FPI dan siapapun berhak untuk melakukan unjuk rasa berkenaan dengan isu yang mereka anggap perlu lebih disuarakan. Namun, kita harus bersikap adil dan tidak menggunakan alasan kebebasan berpendapat hanya saat itu sejalan dengan kepentingan kita maupun golongan-golongan tertentu.
Hal yang membuat saya resah adalah bagaimana beberapa pihak merayakan demonstrasi 4 November sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Kenapa demikian? Ini bukan perkara tuntutan mereka semata. Ini berhubungan dengan BAGAIMANA mereka menuntut. Dalam kolom opini saya sebelumnya, saya sempat sebutkan bagaimana Rizieq Shihab secara verbal mengeluarkan ancaman pembunuhan terhadap salah satu warga negara Indonesia, Ahok. Saya juga paparkan tentang poster-provokatif yang ia unggah di situs pribadinya.
Jika yang demikian dilindungi oleh negara, mengapa tidak memberi perlakuan yang sama terhadap diskusi-diskusi yang dilakukan di masyarakat? Dalam satu tahun ini saja sudah ada beberapa kasus yang mencerminkan adanya standar ganda dalam kebebasan berpendapat di dalam negeri. Misalnya:
- Kamis, 2 Februari 2016, aparat pemerintah kecamatan Banguntapan, Yogyakarta, menutup Pondok Pesantren Al-Fatah yang dikhususkan untuk waria. Camat Banguntapan menyebut pesantren itu tidak memiliki izin dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ia pun menyebut disana pernah ditemukan botol miras, meski tuduhan ini tidak pernah terbukti. Penutupan pesantren sebelumnya didahului oleh pertemuan antara pengelola pesantren, perwakilan warga, dan pimpinan Front Jihad Islam (FJI).
- Sabtu, 2 April 2016, aparat kepolisian bersama sejumlah ormas yang mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 yang berlokasi di ruang komunitas seni Survive Garage, Bugisan, Bantul, Yogyakarta. Acara tersebut berisi diskusi tentang perempuan seperti kekerasan seksual, penayangan film, dan hiburan musik. Massa yang mendobrak pintu ruangan dan menembakkan senjata menuding mereka adalah komunis, bahkan sempat mengancam akan melakukan tindak kekerasan.
- Mei 2016, aparat Polres Mojokerto, Jawa Timur, menangkap lima personel sebuah band lokal karena membawakan lagu Genjer-Genjer pada suatu pentas musik. Lagu tersebut dianggap identik dengan PKI. Seorang pemilik toko di Jakarta juga ditangkap karena menjual pakaian bergambar palu arit.
- Sabtu, 20 Agustus 2016, Kodam III Siliwangi membubarkan Komunitas Perpustakaan Jalanan di Taman Cikapayang, Dago, Bandung. Walikota Bandung Ridwan Kamil kemudian menyebut itu adalah hasil kesalahpahaman karena anggota Kodam III Siliwangi mengira anak-anak muda yang menggelar banyak buku-buku untuk dibaca gratis adalah anggota geng motor.
Kalau sudah begini, tentu saja kita sangat wajar mempertanyakan ukuran-ukuran apa yang berlaku di negara ini dalam menentukan aktivitas mana yang dilindungi sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan mana yang harus memperoleh larangan. Untuk beberapa orang, mereka tidak melihat adanya standar ganda. Namun, bagi sebagian orang lain yang berpikir kritis, ini membuat kami sakit kepala.