[OPINI] Kebebasan Demokrasi Digital, Baik atau Buruk?

Bebas bukan berarti tanpa batas

Akhir-akhir ini semakin marak akun-akun yang menyatakan dirinya akun politik netral, baik itu di Instagram, Twitter, maupun Facebook. Pada kenyataannya, isi dari akun tersebut memojokkan salah satu tokoh politik dan mendongkrak image tokoh yang lain. Memang pada awalnya akun-akun seperti itu muncul sebagai bentuk dari kampanye dan itu sah-sah saja selama tidak menjatuhkan salah satu tokoh. Tetapi, kini tanpa harus menunggu kampanye pemilihan umum akun-akun tersebut pun bertebaran. Bahkan tak sedikit yang isinya juga mengandung isu-isu hoax.

Demokrasi pun berkembang

Salah satu sebabnya adalah karena kini untuk mempraktikan berdemokrasi tidak melulu dengan ikut demonstrasi turun ke jalan, tapi bisa dilakukan di mana saja. Melalui apa? Ya, melalui media sosial. Media sosial yang sekarang sangat mudah diakses melalui berbagai perangkat digital ini dapat menjadi batu loncatan tapi dapat juga menjadi bumerang. Mengapa? Karena perangkat digital untuk mengakses media sosial layaknya tubuh manusia yang mampu bergerak dan digerakkan melalui pikiran, yakni otak. Otak manusia juga yang menjadi penggerak utama dari perangkat digital itu.

Perkembangan demokrasi melalui perangkat digital memang sudah dapat dipastikan terjadi di negara-negara berkembang, mengingat negara-negara berkembang umumnya selalu bercermin pada negara-negara maju. Tapi sayangnya, perkembangan demokrasi di negara berkembang seringkali tidak diiringi perkembangan pola berpikir. Pola berpikir menjadi penting karena akan mampu menentukan melalui sudut pandang yang seperti apakah mereka melihat suatu peristiwa. Sudah banyak generasi sekarang ini, sang generasi millennials, yang berpikir instan dan melihat beragam peristiwa dari satu sisi. Dengan cara yang sama konservatifnya pula mereka terpancing untuk ikut-ikutan menggalang massa.

Jadi, demokrasi digital itu positif atau negatif?

Realita yang demikian justru malah menimbulkan satu pertanyaan besar, pertanyaan yang mungkin pernah teman-teman pertanyakan juga. Pertanyaan tentang apakah suatu hal itu positif atau negatif sebenarnya pertanyaan yang subjektif. Artinya, tidak ada batasan yang pasti dan tolok ukur yang pasti tentang positif dan negatif itu. Apalagi ini soal media sosial, di mana orang saling bertegur sapa dalam dunia yang maya.

Tentang apakah itu positif atau negatif semuanya bergantung pada bagaimana pengguna perangkat tersebut dalam menyaring informasi. Menjadi pembaca yang cerdas sangat penting dalam era millennials seperti sekarang ini. Cerdas dalam artian, kita mampu menyaring setiap informasi yang diterima, tidak mudah terpancing, dan jika membaca suatu isu jangan lupa untuk membaca sampai tuntas dan mencari data pembanding dari situs lain. Untuk hal yang satu ini sepertinya sekarang penting untuk dilakukan ya, karena mengingat semakin maraknya berita hoax yang berkeliaran dalam beranda media sosial kita.

Jadi, mau seperti apa pun bentuk demokrasinya mulai dari dunia maya sampai dunia fana, semua dengan tujuan yang baik. Tergantung pada bagaimana orang yang mengaksesnya, apakah orang tersebut mampu mempertahankan niat baik tersebut atau tidak. Positif dan negatifnya berasal dari si pengguna, jika generasi kita tidak cerdas menyaringnya, akan seperti apa pola pikir generasi mendatang?

Rani Enggar Photo Writer Rani Enggar

A beginner | @rannics

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya