Jakarta adalah hot spot - sebuah titik panas di mana pertarungan politik bukan lagi hanya jadi perhatian warganya, tapi juga warga Indonesia lainnya. Apalagi karena statusnya sebagai ibu kota negara yang menjadi melting pot atau tempat bertemunya manusia dari berbagai suku, ras, dan agama.
Maka, iklim politik di sana pun tak hanya mempengaruhi yang ber-KTP Jakarta. Tragisnya, sang gubernur yang baru dilantik justru bermain-main dengan dikotomi antara "kita" vs. "mereka".
Ia dengan jelas menyebut bahwa "Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat" di mana "penjajahan di depan mata itu terjadi di Jakarta selama ratusan tahun" dan "kolonialisme itu dirasakan sehari-hari".
Kemudian, keluarlah pernyataannya yang paling membuat geger: "Karena itu bila kita merdeka, janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta. Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri."
Melihat kondisi politik saat ini, pidato Anies tersebut tak bisa sekadar dibaca sebagai pengingat akan masa penjajahan Belanda atau Jepang di masa lalu. Pernyataannya itu dengan cermat menargetkan orang-orang tertentu untuk melegitimasi kekuasaannya.
Tidak bisa dibaca demikian karena ia dengan spesifik menilai warga Jakarta adalah yang paling menderita akibat penjajahan. Tidak bisa dibaca demikian karena Anies tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui bahwa lawannya, Ahok, dicap membela konglomerat-konglomerat keturunan Tionghoa.
Anies juga tidak cukup bodoh untuk tak memahami sejarah dikotomi pribumi dan non-pribumi. Ia juga tak cukup bodoh untuk tak mengerti bagaimana dikotomi itu digunakan sepanjang sejarah untuk membedakan "kita" yang paling berhak atas Indonesia, dan "mereka" yang hanya menumpang dan mengambil keuntungan.
Ini semakin ditegaskan oleh Anies ketika ia mengutip pepatah Madura. "Itik se atellor, ayam se ngerremmi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami. Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan, kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme, kita harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini," katanya.
Setelah itu, menurut saya, apa yang diucapkan Anies tak lagi penting. Beberapa orang menyebut ia tak berhak berbicara tentang pribumi sebab ia keturunan Arab. Beberapa lainnya mengklaim pejabat pemerintah lain pernah menyinggung pribumi dan semua baik-baik saja.
Namun, keduanya tak bisa dijadikan dasar untuk mengecam atau mendukung pernyataan Anies. Mengapa? Sebab sudah saatnya kita tak lagi memperdebatkan perkara siapa pribumi dan non-pribumi. Sudah cukup kita menormalisasi pernyataan ceroboh para pejabat atau politisi.
Bukan karena urusan itu sudah selesai saat ada Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, tapi karena tujuan dari dikotomi itu adalah untuk mengotak-otakkan manusia Indonesia berdasarkan suku, agama dan ras kita demi perebutan kekuasaan.