Pembajakan adalah isu yang susah dibendung dan selalu menjadi persoalan di industri kreatif seluruh dunia. Mulai dari pembajakan perangkat lunak sampai pembajakan film dan musik, semuanya susah dibendung.
Berdasarkan survei pengguna perangkat lunak bajakan tahun 2018, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Venezuela (Adhitya Daniel, 2019). Venezuela saat itu sedang dilanda krisis ekonomi, tapi Indonesia?
Sebagai negara berkembang, seharusnya tingkat pembajakan di Indonesia tidak terlalu tinggi. Tapi sayangnya dari pengamatan penulis, tak sedikit pelaku pembajakan yang sebenarnya berasal dari golongan menengah ke atas padahal kemampuan mereka untuk membeli produk aslinya seharusnya tidak perlu dipertanyakan. Mengenaskan, bukan?
Fenomena ini tak cuma terjadi di perangkat lunak, namun juga pada industri kreatif lain. Pembajakan yang paling nyata bisa penulis amati adalah pembajakan komik, mengingat banyaknya situs-situs online yang memfasilitasi rakyat Indonesia untuk membaca melalui situs alih-alih membeli yang aslinya.
Hal ini tentu tak cuma mencederai perusahaan penerbit, tapi juga negara Indonesia. Tentu tak sedikit nilai PPN yang hilang akibat para penikmat bajakan memilih untuk tidak membeli buku aslinya dan hanya membaca dari situs bajakan saja. Sudah berkali-kali pihak Jepang mencoba menindak para pembajak komik di sana, tapi para pelaku pembajakan tetap saja ada dan tak berhenti melakukan tindakan tersebut.
Usaha mereka mulai membuahkan hasil ketika Shueisha akhirnya memutuskan untuk meluncurkan aplikasi Manga Plus, tapi bagaimana bisa?