Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi penulis (unsplash.com/christinhumephoto)

Setiap tahun, bulan Ramadan selalu memberi kesan yang beragam bagiku. Beberapa momen masih terpatri jelas di kepala, tetapi sebagian besar lainnya sudah samar-samar menghilang atau bahkan tidak berbekas lagi. Tak sedikit pula momen-momen yang berulang alias menjadi rutinitas dari satu Ramadan ke Ramadan lainnya. Salah satunya saat bekerja sebagai food writer di IDN Times.

Bagiku, menjalankan puasa Ramadan sebagai food writer adalah sebuah tantangan. Saat pagi hari, seringkali masih aman, karena energi dari menu sahur masih "utuh", badan masih fit, otak masih bisa fokus, dan senyum masih merekah lebar. Iman juga masih terjaga dengan baik saat melihat berbagai gambar makanan di layar laptop sebagai bahan penulisan artikel.

Namun, ketika sudah memasuki jam (yang seharusnya) makan siang, jangan ditanya lagi! Gendang-gendang di perut mulai mengalun dengan nada sumbang. Cacing-cacing di perut barangkali juga ikut menari dengan riang atau mungkin cranky minta diberi nutrisi. Gambar-gambar makanan dan minuman yang terpampang jelas di depan mata berubah menjadi godaan yang luar biasa.

Pikiranku mulai melanglang buana. Fokus bekerja jadi ambyar dan mulut berkomat-kamit dengan penuh rencana dan pengandaian.

"Kayaknya enak, nih, kalau buka puasa nanti minum es buah," ucapku saat kebetulan sedang menulis artikel tentang es buah.

atau

"Nanti buka puasa beli pisang goreng sepertinya oke, deh!" anganku saat membuat kuis tentang takjil Ramadan yang cocok disantap.

Jemari pun mulai gencar menjelajahi gambar-gambar makanan lezat dan minuman yang menyegarkan, terutama di media sosial. Wajah para food influencer yang merekomendasikan makanan dan minuman bermunculan di beranda. Makin seru lagi saat melihat meme-meme lucu tentang Ramadan atau fenomena orang war (perang) takjil. 

Menjelang sore hari dan saat asam lambung yang mulai naik, "penyiksaan" pun semakin merajalela. Artikel makanan dan minuman yang harus segera diselesaikan semakin membuat iman semakin diuji. Gambar-gambarnya membuat air liur harus ditelan berkali-kali. Tak terhitung sudah berapa kali aku menarik nafas yang panjang. Inhale dan exhale, ketika melihat gambar-gambar makanan dan minuman yang aku pilih untuk artikelku sendiri.

Begitu waktu buka puasa tiba, semua angan yang aku rencanakan di atas hanya berakhir di kepala atau biasa disebut "lapar mata". Minum air putih beberapa teguk dan takjil apa pun sudah bikin perut kenyang. Di kantor pun telah menyediakan katering buka puasa. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Alih-alih menjadi siksaan, semakin lama menjalani, aku menganggap hal ini sebagai "seni" menjadi penulis food travel  saat bulan Ramadan. Apalagi, pengalaman ini hanya dijalani selama satu bulan sekali dalam setahun. Semangat buat diriku dan para penulis food travel lainnya!

Editorial Team