Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi awan hitam (Freepik/creativeart)

Menjelang Lebaran tahun ini, tiba-tiba saya teringat Mas Pur. Ia sahabat dekat saya, meski pertemanan kami tidak berlangsung lama. Saya memanggilnya 'Mas' karena ia lebih tua. Saat itu, Mas Pur berusia 50 tahun, sementara saya 24.

Mas Pur bukan ustaz, apalagi kiai. Tapi guyonannya sering kali lebih menginspirasi dibandingkan khutbah Jumat. Suatu malam saat kami sedang nongkrong sepulang tarawih, misalnya, dia pernah melempar satu pertanyaan yang membuat saya kecele.

“Tuhan hanya satu. Letaknya di mana?” katanya sambil mencomot lontong sisa buka puasa magrib tadi.

“Di langit,” jawabku spontan. “Nabi Muhammad naik ke langit ketujuh saat Isra Mikraj, itu berarti Tuhan ada di langit!”

Mas Pur hanya senyum-senyum mendengarnya. Mulutnya terus mengunyah lontong sebelum menjawab, “Salah!”

“Tuhan itu,” katanya melanjutkan, “terdiri dari huruf T-U-H-A-N. H-nya di mana? Ya di tengah, di antara huruf T-U dan A-N. Jadi, Tuhan itu H-nya satu, letaknya di tengah. Paham, kan?” jelasnya sambil tersenyum lebar.

“Sakarepmu, Mas...” gerutuku.

“Makanya,” kata Mas Pur masih dengan sisa-sisa tawanya, “kalau beragama jangan terlalu serius.”

Saat itu saya memang sedang serius-seriusnya mengikuti majelis zikir. Majelis ini cukup istimewa—kalau tidak bisa disebut nyeleneh. Sebab, majelis ini lahir dari hasil judi, tepatnya judi togel.

Togel adalah kependekan dari Toto Gelap. Cara memasangnya gampang, cukup menebak angka-angka yang akan keluar esok hari. Kalau tebakan angkanya sama dengan yang dirilis bandar, maka kamu menang. 

Saat itu, sebenarnya judi togel sudah dilarang pemerintah. Tapi eksistensinya tak pernah benar-benar lenyap lantaran peminatnya banyak, termasuk seorang teman saya. Suatu malam sepulang dari memancing di sungai, ia mengaku mendapat bisikan empat angka.

Saat itu juga, ia langsung memasang angka tersebut ke bandar togel. Keesokan harinya, keempat angka itu tembus! Saya lupa berapa uang yang ia dapatkan dari hasil menang togel tersebut. Yang pasti, cukup banyak.

Anehnya, teman saya justru ketakutan mendapatkan duit sebanyak itu. Sebab, duit hasil togel adalah uang haram. "Gue takut kalo duit ini gue habisin sendiri, pembisik semalam akan meminta jatahnya," katanya.

Saya tidak tahu siapa pembisik yang dimaksud. Tapi, setelah berkonsultasi dengan beberapa teman lain, akhirnya kami memutuskan menggunakan uang tersebut untuk sowan ke salah satu ajengan di Sukabumi.

Saat itu kami, sekitar delapan orang, menyewa angkot dari Jakarta. Biaya sewa angkot, bensin, serta makan dan minum selama perjalanan, semua menggunakan uang hasil togel. Alhamdulillah, perjalanan berjalan lancar sampai kami tiba di Sukabumi. Karma uang haram bisa membuat celaka yang ditakutkankan teman saya tak terjadi.

Ajengan yang kami temui di Sukabumi ternyata masih muda, usianya sekitar 40-an tahun. Wajahnya bersih, sikapnya santun, serta tutur katanya kalem. Ia, konon, ahli zikir. Beberapa santri menyebutnya menguasai ilmu hikmah. Darinya kemudian kami mendapatkan ijazah, semacam restu untuk mengamalkan bacaan dan doa-doa tertentu.

Abi, begitu kami memanggil ajengan tersebut, terkejut saat mengetahui modal kami ke Sukabumi berasal dari hasil togel. Namun, alih-alih marah, ia justru tertawa. “Segala sesuatu ada jalannya. Mungkin jalan kalian ke sini ya melalui togel. Tapi gak apa-apa, asalkan niatnya lillahi ta'ala," begitu responsnya yang saya ingat.

Abi kemudian menceritakan kisah seorang pencuri yang mengendap-endap ke rumah seorang sufi. Namun, sebelum sempat beraksi, ia kepergok. Sang sufi, alih-alih berteriak atau menghajar si pencuri, justru memberikan barang berharga kepada si pencuri. Padahal hanya itu barang berharga yang dimiliki dan disimpannya.

"Kenapa kamu sebaik ini," kata si pencuri setengah tertegun. Sepanjang kariernya sebagai pencuri, ia tidak pernah bertemu orang seaneh ini.

Sang sufi tersenyum lalu menjawab, "Saya malu sama Allah kalau sampai kamu meninggalkan rumah ini tanpa membawa barang berharga."

Saat itu juga, si pencuri konon jatuh berlutut. Ia menangis kejer lalu bertobat. Niat awalnya mencuri namun yang didapatnya jalan kembali kepada-Nya. "Awal yang buruk belum tentu berakhir buruk," kata Abi menutup ceritanya.  

Sepulang dari Sukabumi, kami kemudian sering berkumpul untuk mendawamkan bacaan yang diberikan Abi. Biasanya setiap malam Jumat hingga Sabtu dini hari. Kalau Ramadan, kami melakukannya setiap malam. Waktu pun terus berlalu. Member Majelis Togel kian bertambah.

Tapi tak banyak yang tahu kalau majelis ini bermula dari togel, termasuk Mas Pur. Ia baru bergabung dengan majelis beberapa bulan sepulang kami dari Sukabumi.

Mas Pur adalah sopir Kopaja. Ia sering pulang malam dengan mata merah dan mulut bau anggur. Ia juga galak kepada anak-anaknya. Saya tahu ini dari cerita salah satu anaknya yang sering wiridan bareng kami.

Hingga suatu malam, Mas Pur tiba-tiba mampir ke tempat kami biasa wiridan, sebuah rumah kecil dua tingkat yang lantai teratasnya tidak memiliki atap.

“Saya ini dari muda hidup di jalanan, mulai dari kernet hingga sekarang sopir. Kalau di jalanan, kelucuan saya hilang. Sebab banyak hal bikin saya emosian. Darah tinggi saya suka naik, jadi bawaannya marah-marah melulu,” katanya memulai percakapan.

“Selain itu,” Mas Pur melanjutkan, “saya juga nggak bisa berhenti minum. Soalnya, kalau di pool ada saja tawarannya. Saya sudah lama ingin berhenti. Terus lihat kalian duduk wiridan begini kok saya ngiri. Boleh saya ikutan?”

Sejak itu, Mas Pur resmi menjadi anggota Majelis Togel. Kehadirannya membawa suasana baru di majelis. Guyonan dan candanya membuat malam-malam kami terasa lebih jenaka. Beberapa pekan setelahnya, ia kami ajak sowan ke rumah Abi untuk mendapatkan ijazah. Tapi anehnya, Mas Pur hampir selalu tertidur saat wiridan.

“Wiridan itu kan mengingat Allah, mengingat Allah pasti bikin hati tenang. Nah, karena saking tenangnya itulah saya tertidur. Jadi, kalau kalian nggak tertidur saat wirid, itu berarti wiridan kalian belum sampai ke Allah,” katanya.

Mas Pur memang jarang serius. Tapi saya tahu, di balik kejenakaannya, ia mungkin yang paling serius beragama dibandingkan kami. Sebab, setelah bergabung dengan majelis, ia berhenti menjadi sopir. Matanya tak pernah lagi merah dan mulutnya tak pernah lagi berbau anggur. 

Mas Pur sempat membuat lekar, meja kecil untuk tatakan Al-Qur'an yang terbuat dari kayu. Ia mengukir lekar tersebut dengan kaligrafi. Hasilnya cukup indah. Lekar-lekar tersebut kemudian ia jual.

Menurutnya, uang hasil penjualan lekar tidak sebanyak ketika ia masih menarik Kopaja. “Tapi hasil yang lebih sedikit ini bisa membuat saya hidup lebih tenang. Anak-anak dan istri sekarang juga lebih dekat,” katanya.

Sayangnya, kebersamaan saya dengan Mas Pur tidak berlangsung lama. Sebab, ia kemudian menderita penyakit serius. Saya tahu ini dari anaknya. Mas Pur sendiri, sampai akhir hayatnya, tak pernah mengeluhkan penyakitnya.

“Sebelum meninggal, Bapak cuma pesan kalau rumah kami jangan dijual,” begitu kata anaknya, menceritakan detik-detik kepergian Mas Pur.

“Lho, memangnya kenapa?” tanya saya keheranan.

“Soalnya, itu kan rumah orang. Kami cuma ngontrak...”

Agaknya, anak Mas Pur ini mewarisi kelucuan ayahnya. Bahkan saya sulit menebak apakah ia sedang serius atau bercanda. Jatuhnya buah biasanya memang tidak jauh dari pohonnya, kecuali kalau pohon itu tumbuh di tepi jurang. 

Kini, setelah hampir dua dekade kepergiannya, Mas Pur masih bisa membuat saya tersenyum. Majelis Togel pun kini tinggal cerita, karena membernya telah banyak berpindah rumah.

Meski begitu, kebersamaan bersama Mas Pur yang singkat, juga member Majelis Togel lainnya, membuat saya belajar bahwa orang suci bukanlah mereka yang terlahir dan ditakdirkan suci, melainkan mereka yang sempat menghitam sebelum memutih dan mereka yang terus membasuh diri. 

“Seperti awan hitam yang kembali putih setelah hujan,” begitu kira-kira tulis Putu Wijaya di salah satu bukunya. Selamat Idul Fitri. Semoga setelah Ramadan ini kita menjadi awan yang kembali memutih setelah--mungkin--sempat menghitam.

Editorial Team