ilustrasi perempuan (pexels.com/Doci)
Salah satu masalah mendasar yang masih bertahan hingga kini adalah bagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata perempuan. Dalam versi cetak yang beredar luas, kata ini dijelaskan dengan merujuk pada fungsi biologis dan peran domestik, bahkan disandingkan dengan istilah peyoratif seperti jalang atau lacur. Sedangkan wanita didefinisikan sebagai perempuan dewasa, seolah lebih ‘berkelas’ dan pantas untuk konteks formal.
Kondisi ini membuat banyak pihak, termasuk seniman dan aktivis, mengampanyekan revisi definisi kata perempuan dalam kamus resmi. Tujuannya bukan sekadar kosmetik bahasa, tetapi menyangkut bagaimana generasi berikutnya memahami dirinya. Sebab jika kamus sebagai rujukan utama saja masih mereproduksi bias dan stigma, maka pemulihan makna menjadi langkah penting untuk menciptakan kesetaraan yang lebih adil dalam bahasa dan praktik kehidupan sehari-hari.
Pemilihan kata perempuan bukan soal tren linguistik, melainkan refleksi atas sejarah, struktur sosial, serta perjuangan menuju kesetaraan. Dengan memahami asal-usul, makna, dan konteks penggunaannya mengapa disebut perempuan dan bukan wanita, kita tidak sekadar memilih kata yang tepat, tetapi juga turut menentukan posisi dan penghargaan terhadap individu yang selama ini terpinggirkan. Karena itu, menyebut perempuan adalah bentuk kesadaran atas peran, nilai, dan keberdayaan yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa ini.
Referensi:
"Perempuan atau Wanita? Perbandingan Berbasis Korpus tentang Leksikon Berbias Gender" Yuliawati, Susi. Diakses pada Agustus 2025
"Antara 'Perempuan' dan 'Wanita' dalam Terjemahan Al-Qur'an Kementerian Agama RI" IQT IAIN Madura. Diakses pada Agustus 2025
"Perempuan dan Wanita" Revita, Ike. Diakses pada Agustus 2025
"Budaya Wanita di Indonesia: Suatu Penelusuran ke Arah Rekonstruksi" Handayani, Sri Ana. Diakses pada Agustus 2025
"Gerakan Perempuan dari Masa ke Masa" Jurnal Perempuan. Diakses pada Agustus 2025