Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Generasi Swipe: Ketika Kebenaran Dicari Lewat TikTok

Ilustrasi TikTok (unsplash.com/Solen Feyissa)
Ilustrasi TikTok (unsplash.com/Solen Feyissa)
Intinya sih...
  • Generasi muda mencari kebenaran di TikTok, 55% Gen Z gunakan sebagai sumber utama informasi.
  • TikTok berubah menjadi ruang diskusi politik, sejarah, hingga kesehatan mental, tapi juga menyisakan hoaks dan narasi manipulatif.
  • Tantangan terbesar adalah membangun budaya skeptisisme sehat dan kolaborasi antara guru, orang tua, media, dan platform digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

“Aku tahu tentang G30S dari TikTok. Di sekolah dijelasin, tapi lebih gampang paham dari video 1 menit aja,” kata Zaki (17), siswa SMA di Jakarta.

Tapi ketika ditanya apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa itu, jawabannya kabur. “Pokoknya ada pengkhianatan, terus PKI gitu. Ya kayak gitu deh…”

Zaki bukan satu-satunya. Di era digital yang semakin cepat, generasi muda tidak lagi mencari kebenaran di buku teks atau koran. Mereka mencari di TikTok.

Menurut laporan We Are Social 2024, lebih dari 55% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok sebagai salah satu sumber utama informasi — mengalahkan televisi dan media online. Aplikasi yang awalnya dipenuhi tarian dan lip sync kini berubah menjadi ruang diskusi politik, sejarah, hingga kesehatan mental.

Namun, di balik kecepatan dan kemasan menariknya, TikTok menyisakan pertanyaan mendasar: seberapa akurat informasi yang dikonsumsi generasi muda?

Konten edukatif memang banyak. Tapi berseliweran pula narasi manipulatif, hoaks, dan teori konspirasi. Beberapa konten bahkan sengaja dimodifikasi agar “clickbait” dan emosional—mengejar jumlah view, bukan kebenaran.

Dr. Mira Lestari, peneliti media digital di UGM, mengatakan bahwa algoritma TikTok bekerja bukan berdasarkan kebenaran, tapi pada apa yang membuat kita terus menonton. “Konten yang kontroversial dan emosional lebih cepat naik. Di sinilah hoaks subur,” ujarnya.

Kominfo dan komunitas-komunitas seperti Mafindo masih terus melakukan edukasi soal literasi digital, tapi masih terkendala jangkauan. Apalagi algoritma platform saat ini seperti TikTok tidak bisa dikendalikan penuh oleh pemerintah.

Sementara itu, para kreator edukatif yang menyajikan informasi faktual sering kalah bersaing dengan akun provokatif. “Kita ini lawan utamanya bukan konten jahat, tapi konten dangkal yang lebih viral,” kata Bayu Nugroho, kreator konten sejarah yang aktif di TikTok.

Tantangan terbesar di era TikTok bukan sekadar membedakan hoaks dan fakta. Tapi membangun budaya skeptisisme sehat, di mana anak muda terbiasa bertanya: “Ini benar, atau hanya kelihatan meyakinkan?”

Perlu ada kolaborasi lebih luas: diantara guru, orang tua, media, dan platform digital. Sebenarnya TikTok bukan musuh, tapi alat. Tapi alat ini harus dipegang dengan kesadaran.

Di dunia yang serba cepat ini, di mana fakta dibungkus efek transisi dan backsound viral, kebenaran tidak lagi dicari—melainkan di-scroll.

Pertanyaannya, apakah kita masih tahu cara berhenti dan berpikir?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us