Keliling Tetangga saat Lebaran, Tradisi yang Kini Tak Lagi Sama

Jika disuruh mengenang momen lawas tentang Lebaran, buat saya selalu tentang keliling rumah tetangga. Saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di medio hingga akhir 90-an, Lebaran itu berarti bertamu dan kedatangan tamu.
Namun, seiring beranjak dewasa bahkan kini mulai menua, tradisi itu memudar buat saya. Kalaupun masih dilakukan, rasanya tak pernah lagi sama. Kenapa, ya?
1. Mendatangi tetangga yang usianya lebih tua dari ayah dan ibu
Saya tinggal di sebuah kompleks yang beragam usianya. Semasa itu, ayah dan ibu saya tergolong junior jika dibandingkan tetangga-tetangga lainnya. Karenanya, setiap Lebaran, kami selalu keliling mendatangi satu per satu rumah mereka.
Bukan hanya bersalaman lalu pergi. Kami bisa duduk hingga sejam untuk bercengkrama, padahal, sehari-hari selalu bertemu. Dari urusan pekerjaan sampai sejarah kemerdekaan, biasa diceritakan pakde, bude, dan opung-opung di kompleks kami setiap Lebaran.
Rasanya selalu menyenangkan mendengarkan orangtua kami bercakap sambil menikmati putri salju, nastar, cokelat, dan kue-kue Lebaran lainnya. Angpau memang tak selalu saya dapatkan, tapi bisa mengantongi permen saja, saya senang bukan kepalang.
2. Menerima tamu juga seru!
Meski termasuk junior, bukan berarti keluarga saya gak pernah kedatangan tamu. Jika pagi waktunya kami berkeliling ke rumah orang yang lebih tua, maka sore, malam, hingga Lebaran hari kedua waktunya menerima tamu dari tetangga yang nonmuslim hingga rekan-rekan junior ayah dan ibu saya.
Menerima tamu tentu saja tak kalah menyenangkan. Saking senangnya, jelang Lebaran saya selalu bersemangat membersihkan rumah, bahkan sampai menata ulang interiornya. Kami juga bersemangat bikin kue Lebaran, mempersiapkan minuman, dan membeli pengharum ruangan. Setiap ada tamu, saya semangat sekali memanggilkan ayah dan ibu untuk menemani mereka.
3. Tradisi itu tak lagi terasa sama
Entah sejak kapan, tapi kini tradisi itu tak lagi terasa sama buat saya. Saat menjelang lulus kuliah, saya keluar dari kompleks itu dan tinggal di tempat baru yang punya tradisi Lebaran berbeda. Di sini tak pernah saling bertamu dan menjamu.
Bersalaman dan bermaaf-maafan dilakukan dalam satu waktu, setelah salat Idul Fitri. Sepulang dari masjid, semua orang tak langsung masuk rumah, melainkan berdiri berjajar untuk saling bersalaman. Setelahnya, suasana lengang. Sibuk sendiri-sendiri.
Saat ada tamu jauh, rasanya pun tak seperti dulu. Duduk dan berbincang lama kini terasa melelahkan. Basa-basi cari obrolan rasanya membosankan. Bahkan terkadang, ada tamu malah pura-pura tidur. Apa ini yang namanya dewasa? Atau memang kekariban itu kini tak pernah nyata?