Sederhananya, semua petani akan bahagia jika bisa terus panen tanpa memanam. Tidak perlu menggarap tanah, tidak perlu merawat tanaman, tapi bisa terus-menerus panen.
Meski begitu, akan menjadi pelik saat petani tersebut tidak memiliki wadah untuk mengumpulkan panenan. Juga menjadi semakin rumit ketika petani tidak mengetahui bagaimana harus menyimpan, dan dengan alat apa menyimpannya agar tahan lama.
Barangkali seperti itulah saat kita melihat matahari dan merasakan sinar panasnya. Sebagai negara yang dilewati garis khatulistiwa, Indonesia memiliki keberlimpahan sinar surya.
Sinar surya itu bisa dipanen secara gratis tanpa harus menanam dan bisa digunakan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan. Sumber energi sinar surya tidak menghasilkan emisi karbon yang merusak alam.
Masalahnya adalah peralatan seperti apa yang diperlukan untuk menampung panenan dan bagaimana menyimpan hasil panen tersebut.
Teknologi untuk memanen dan menyimpan sinar surya agar menjadi energi setrum, telah berkembang sejak puluhan tahun lalu. Ada tiga komponen utama teknologi, yakni panel fotovoltaik (PV) untuk memanen sinar surya dan mengubah panas jadi listrik, inverter untuk mengubah arus listrik DC ke AC dan baterai untuk menyimpan setrum.
Dulu, harga teknologi itu mahal. Menurut International Energy Agency (IEA) (2020), pada 1975, harganya 105,7 dolar AS per Watt. Harga itu terus turun sampai 0,2 dolar AS per Watt pada 2020.