[OPINI] Kemiskinan Struktural dan Sesat Pikir yang Mengelilinginya

Orang-orang selama ini sudah nyaman dengan konsep bahwa perbedaan strata sosial itu ditentukan dari seberapa kerasnya seseorang berjuang. Orang malas akan miskin, dan orang rajin akan kaya. Memang hal ini tidak sepenuhnya salah, hanya saja dunia tidak bisa dipandang dari hanya dari dua kacamata ini, hitam dan putih.
Ada banyak variabel dan hal-hal yang mempengaruhi segala sesuatu. Hidup itu sendiri kompleks dan tidak mudah dipahami, begitu juga manusia, lalu kenapa kita bisa begitu mudah menjustifikasi?
Tidak cukup rajin
Coba tengok penjual nasi uduk dan lontong sayur di depan jalan sana, cobalah sesekali sapa pemulung yang rutin memilah botol plastik di tempat sampah depan rumah, atau simak baik-baik raut wajah si bapak yang mengangkut sampahmu setiap kali datangnya.
Sesekali amati atau boleh juga berbincang dengan manusia-manusia silver yang mangkal di lampu merah, atau tidak perlu jauh-jauh, beberapa dari kita mungkin hanya perlu menyapa sanak saudara yang boleh jadi tidak memiliki apapun untuk di makan di rumahnya.
Cobalah sesekali kita melepas nyaman—sekaligus adiktif—nya scrolling on social media yang dipenuhi konten-konten flexing uang dan kebahagiaan, dan dengan seksinya selalu menggoda untuk memamerkan segala yang kita punya, bahkan yang tidak sebenar-benarnya kita punya.
Lalu pikirkan ini sekali saja, apakah orang-orang yang disebut ‘miskin’ benar-benar pantas untuk diberi predikat malas atau bodoh, setelah siang malam mereka setiap harinya dihabiskan untuk bekerja? Bahkan jika kita sendiri termasuk di dalamnya, apakah kita benar-benar berpikir bahwa kesulitan yang kita alami karena kita tidak cukup rajin?