Tidak peduli betapa kerasnya kita bekerja, jika kita belum kaya untuk bisa flexing di sosial media, maka tanpa disadari kita telah melabeli diri sebagai orang yang belum ‘cukup’.
Entah itu belum cukup rajin, belum cukup pintar, atau belum cukup keras dalam bekerja dan berusaha. Hingga sampai di satu titik, kita tumbang, fenomena ini biasa disebut dengan istilah burnout.
Karena sudah menjadi semacam prinsip umum, label tersebut juga tidak hanya berlaku pada diri sendiri, setiap orang menjadi terbiasa melabeli satu sama lain berdasarkan pencapaian dan status sosialnya.
Membuat seolah-olah orang yang berada di status sosial tertentu, pantas untuk dihujani berbagai label kebiasaan dan perilaku buruk, seperti malas itu tadi.
Hal itu sedikit banyak berpengaruh buruk karena sebagai manusia biasa, diri kita ini punya limit, punya batas baik secara mental maupun fisik. Maka dengan lestarinya anggapan seperti itu, banyak sekali contoh nasib yang terabaikan bahkan terhakimi karena kemiskinannya.
Dimana orang-orang begitu rajin dalam bekerja, dengan waktu dan energi yang bahkan tercurahkan secara tidak wajar, namun tetap saja berada dalam situasi kemiskinan, kelaparan, bahkan ada yang berujung kematian.
Terdengar seperti warisan kolonial ya? Tapi memang masih banyak yang seperti itu, belum lagi kestabilan emosi yang terganggu hingga berdampak pada KDRT dan perilaku-perilaku tidak terkontrol lainnya.