Pada ajang AFF Award 2017 –yang memberikan apresiasi kepada pemain, pelatih, dan insan sepak bola Asia lainnya– di Bali September lalu, diumumkan juga bahwa Indonesia dan Thailand akan mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034.
Hal ini tentu saja menjadi kabar bagus bagi pecinta sepak bola tanah air yang akan mendapatkan suguhan olahraga kelas dunia dari dekat. Di sisi lain, PSSI sebagai induk organisasi diharapkan mampu menjawab tantangan ini dengan baik karena untuk mewujudkan mimpi sebagai tuan rumah harus dilakukan banyak perbaikan.
Perbaikan itu meliputi infrastruktur fisik berupa pendukung sepakbola seperti modernisasi stadion, fasilitas akademi dan pusat pelatihan bagi pemain, serta fasilitas lainya yang mendukung terselenggaranya kegiatan sepak bola baik secara keolahragaan maupun dari segi industri.
Sementara di sisi perbaikan infrastruktur manusia harus disiapkan road map pembinaan pemain yang berjenjang dari level usia U-10, U-15, U-18, dan U-22. Pembinaan berjenjang tersebut harus dilakukan agar kita mempunyai pemain yang siap berlaga di piala dunia yang tentu levelnya lebih berat daripada ASEAN. Pembinaan ini bukan hanya menjadi tugas PSSI namun juga menjadi tugas klub mempersiapkan akademi muda sepak bola di berbagai level usia.
Klub sebernarnya yang harus ditekan PSSI untuk membuat akademi muda karena klub sendirilah yang lebih membutuhkan. Pembinaan akademi muda sudah dilakukan negara yang maju sepak bolanya sejak lama dan hasilnya regenerasi pemain yang berkualitas sama dengan para seniornya terus terjadi. Alhasil, klub sendiri yang akan untung hasil dari pembinaan, baik peningkatan kualitas permainan maupun di sisi finansial klub.
Walaupun selama ini pembinaan sudah dilakukan oleh SSB (sekolah sepak bola) dan PPLP, usaha itu belum cukup rapi dan terstandar karena dilakukan secara sporadis dan sendiri-sendiri. Tidak ada satu role model gaya main sepak bola seperti tiki-taka atau kick n’rush yang diterapkan ke SSB, PPLP, atau klub. Akibatnya ketika pemain dari klub dibutuhkan oleh tim nasional, pelatih harus melakukan training center (TC) yang panjang dan pelatihan dasar bermain sepak bola karena ketidakseragaman dalam pembinaan sepak bola.
Lihat saja apa yang dilakukan Jerman, Spanyol, Prancis, Jepang, Korea Selatan dan bahkan Thailand dalam melaksanakan pembinaan pemain muda, mereka menerapkan satu gaya main yang harus diterapkan para pelatih akademi muda di seluruh negerinya.
Alhasil, ketika dikumpulkan, pemain hasil binaan menjadi padu di timnas. Maka sudah tidak perlu lagi TC panjang, latihan dasar-dasar permainan; tinggal berbicara taktik dan strategi seperti apa yang akan digunakan ketika bertanding.
Karena saat pembinaan, pemain sudah dilatih terus-menerus sehingga saat bermain dia sudah tahu rekan lain akan bergerak ke mana, harus bagaimana ketika kehilangan bola, dan seterusnya.
Penulis juga mengapresiasi apa yang sudah dilakukan PSSI dengan membuat kurikulum “Indonesian Way” yaitu gaya main yang disesuaikan dengan kelebihan para pemain Nusantara yang cepat serta pandai meliuk-liuk melewati lawan.
Luis Milla sebagi pelatih nasional diharap meninggalkan legacy berupa gaya main ala Spanyol yang disesuaikan dengan kondisi pemain di sini. Bekerja sama dengan Indra Sjafrie dan Fachry Hussaini menggodok, menyempurnakan, memperkuat, dan menyebarkan ke seluruh negeri gaya main “Indonesian Way”.
Daripada membeli marquee player dengan harga selangit, lebih baik klub menginvestasikan uang yang banyak itu untuk membangun akademi muda dengan kurikulum “Indonesian Way” dengan fasilitas latihan yang mumpuni.
Dengan dorongan PSSI dan pemerintah dalam mendukung terpilihnya negara ini menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, pembinaan pemain dan fasilitas pendukung harus dilakukan jika ingin berprestasi lebih di tingkat internasional. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah setidaknya penampilan Timnas Garuda tidak terlalu mengecewakan.
Modernisasi dan perbaikan stadion adalah kebutuhan mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dulu, yang menjadi hambatan ketika Indonesia mencalonkan diri sebagai tuan rumah di Piala Dunia 2022 adalah ketiadaan stadion berstandar internasional. Pelatih PSM Makassar asal Belanda, Robert Rene Albert pernah melontarkan kritik keras kepada PSSI dan klub yang tidak punya pemikiran dan keinginan memperbaiki stadion dan fasilitas pendukungnya.
Gelora Bung Karno sedang berbenah untuk menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Perbaikan GBK ditargetkan akan memenuhi stadion berstandar internasional mulai dari seat penonton sampai rumput berkualitas nomor satu.
Hal itu tentu membantu dalam usaha menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, namun perbaikan stadion juga harus diikuti oleh stadion sepakbola di daerah lainya.
Kalau dilihat, jumlah stadion berstandar internasional di tanah air jumlahnya hanya satu yaitu hanya Gelora Bung Karno, Jakarta. Sisanya hanya meraih grade B dan C. Bahkan tidak layak ketika AFC melakukan inspeksi tahun 2011 lalu.
Sebenarnya kita mempunyai stadion di daerah yang layak jadi venue bertanding berstandar internasional seperti Gelora Bung Tomo (Surabaya), GBLA (Bandung), Patriot dan Wibawa Mukti (Bekasi), PON Riau (Riau), Jakabaring (Palembang), PON Kaltim (Samarinda), namun karena pemeliharaan fisik stadion yang buruk maka hal itu menurunkan tingkat kelayakan dalam penilaian yang masuk kategori stadion standar internasional.