Artikel wawancara media massa tentang pemikiran Wiradi (twitter.com/SeknasKPA)
Dalam buku berjudul Seluk Beluk Masalah Agraria, beliau menunjukkan bahwa ketimpangan menjadi salah satu problem yang mengakar di Indonesia.
Ketimpangan itu terlihat dalam penjabaran data, di mana terkait distribusi penguasaan lahan bersandar pada sebuah survey di Jawa dan Sulawesi pada tahun 70-80a tentang usaha tani, ditemukan bahwa ketimpangan penguasaan lahan begitu tajam.
Di sana dicatatkan hampir semua desa yang disurvey terdapat 30 persen atau lebih rumah tangga tani yang tidak punya lahan, ada sekitar 20 persen rumah tangga tani hanya memiliki separuh atau lebih dari total luas tanah yang ada (Wiradi, 2009: 16-17). Masalah-masalah yang ada merupakan gambaran betapa carut-marutnya kondisi agraria di republik ini hingga kini.
“Semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria, khususnya empat bentuk kesenjangan yang telah diulas di atas (kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang saling bertentangan).” (Wiradi, 2009:56).
Menurut Gunawan Wiradi masalah-masalah ketimpangan di sini diakibatkan oleh, timpangnya penguasaan sumber-sumber agraria, ketidakserasian peruntukan sumber-sumber agraria, tidak sinkronnya persepsi dan konsepsi mengenai agraria dan tidak sinkronnya produk hukum yang ada.
Kondisi ini dapat kita lihat pada konteks sekarang, di mana banyaknya konflik agraria kebanyakan diakibatkan oleh kebijakan yang ngawur, seperti penataan ruang, proyek strategis nasional hingga Undang-undang yang neolib seperti UU Cipta Kerja.
Situasi sekarang semakin menunjukkan bagaimana relasi kuasa, dalam hal ini aspek sosial dan politik menjadi faktor dominan dalam mengakselerasi ketimpangan yang ada.
Dari situlah saya memahami bahwa “reforma agraria” itu sangat kompleks, tidak sekedar kebijakan ini ada, tidak sekedar bagi-bagi sertifikat, tapi memang harus benar-benar dilihat bagaimana struktur politik dan sosialnya, relasi kuasanya hingga aspek historisnya.
Semua memiliki keterkaitan yang erat, menjadi satu kesatuan utuh bahwa reforma agraria adalah bagian dari perjuangan panjang, tidak sekedar ada aturan seperti perpres selesai, atau bujuk rayu TORA yang manipulatif.
Tetapi reforma agraria adalah sebuah jalan yang panjang dan berliku, tidak sekedar mengemis kebijakan, tetapi juga memiliki imajinasi politis untuk mengambil alih kekuasaan agar reforma agraria, secara minimalis berbasis UUPA dapat dijalankan.
“Reforma agraria kadang disalahpahami sebagai suatu intervensi yang dilakukan sekali jadi, dan bisa langsung terwujud setelah dilaksanakan. Pada kenyataannya, reforma itu hanya mengkoreksi atau memperlambat proses historik diferensiasi pada satu titik waktu. Kekuatan-kekuatan polarisasi yang hadir lewat konsentrasi tanah atau kontrol pasar tetap sangat berpengaruh, juga setelah dilakukannya reforma. Bahkan bisa saja kekuatankekuatan itu memperkuat diri karena tidak adanya pengawalan kontinyu setelah reforma.” (Wiradi & White 2009: 61).