“Satu satu aku sayang ibu
Dua dua juga sayang ayah
Tiga tiga sayang adik kakak
Satu dua tiga sayang semuanya”
Kamu pasti sudah tidak asing dengan lagu anak-anak di atas. Meskipun terdengar sederhana, lagu ini diam-diam menyimpan pesan yang sangat kuat: sejak kecil, kita diajari untuk menyayangi orang lain. Orang tua mengajari kita menyayangi keluarga, guru di sekolah mengajarkan kita untuk menyayangi teman, dan lingkungan sosial memperkuat nilai kepedulian terhadap sesama.
Namun, ironisnya, hampir tidak ada yang mengajari kita untuk menyayangi diri sendiri. Akibatnya, banyak individu tumbuh menjadi keras pada diri sendiri. Dalam budaya yang menekankan kesopanan dan pengorbanan, belajar menyayangi diri sendiri kerap dianggap sebagai kemewahan—layaknya kursus table manner yang hanya bisa diakses segelintir orang elit. Tidak semua orang diberi ruang untuk mengenali, merawat, dan menerima dirinya sendiri.
Dampaknya terlihat jelas. Banyak orang di sekitar saya rapuh menghadapi penolakan. Ketika gagal meraih sesuatu, mereka langsung menghardik diri sendiri dan spontan melabeli dirinya “bodoh”. Beberapa remaja bahkan merasa tidak berharga hanya karena tidak diajak masuk ke dalam lingkaran pertemanan tertentu. Selain itu, banyak orang dewasa mengalami quarter-life crisis, yaitu kondisi ketika individu berusia 20–30 tahun rentan merasa cemas, tidak cukup, dan gagal akibat standar sosial tentang kesuksesan
Dari sini terlihat bahwa kebutuhan akan kasih sayang tidak hanya berlaku bagi orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri. Pada titik inilah self-love menjadi krusial.
Namun, apa itu self-love? Self-love adalah kemampuan seseorang untuk menghargai, menghormati, memahami, dan mencintai diri sendiri (Apriolita & Jupri, 2024). Sikap ini membantu individu mengenali potensi, menerima keterbatasan, dan bertumbuh tanpa terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Self-love dapat diibaratkan sebagai fondasi sebuah bangunan: jika fondasinya rapuh, elemen-elemen lain seperti self-esteem, self-compassion, dan bahkan self-loathing ikut terdampak.
Self-esteem mencerminkan harga diri individu.
Self-compassion berarti sikap welas asih terhadap diri sendiri.
Self-loathing adalah kecenderungan membenci diri sendiri.
Ketika “tangki” self-love terisi cukup, self-esteem cenderung stabil. Individu tetap merasa berharga meski gagal atau ditolak. Mereka mampu menerima ketidaksempurnaan dan tidak menghakimi emosi negatif yang muncul. Sebaliknya, jika self-love rendah, individu cenderung terjebak dalam self-loathing, yang tercermin dalam dialog batin seperti: “aku tidak pernah cukup untuk siapa pun” atau “aku memang tidak layak dicintai”.
Setelah saya amati dan elaborasi, lingkungan sangat memengaruhi pembentukan self-love. Keluarga dan sekolah memiliki peran penting. Orang tua dapat menanamkan nilai penghargaan terhadap diri sendiri sejak dini, sehingga anak yang berada dalam keluarga yang kurang harmonis dan jarang mengapresiasi cenderung rentan memiliki self-love yang rendah. Sementara itu, sekolah berperan sebagai ruang aman untuk menumbuhkan rasa berharga. Namun, sayangnya, pada realitanya sekolah sering menjadi arena kontrol sosial tak tertulis. Geng sekolah, hierarki sosial, diskriminasi, dan perundungan pasif bisa perlahan mengikis self-love, terutama bagi mereka yang berada di lapisan sosial terbawah.
Oleh karena itu, mengajarkan self-love sejak kecil bukanlah sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Individu yang terbiasa menyayangi diri sendiri akan lebih mampu menghadapi kegagalan, membuat keputusan bijaksana, dan menjalani hidup dengan lebih ringan dan bahagia. Kita pun dapat bersikap lembut kepada diri sendiri sebagaimana kita bersikap lembut kepada orang lain. Tidak perlu selalu kuat, benar, atau sempurna, cukup menjadi manusia biasa yang belajar, sesekali salah, terus tumbuh, dan pantang menyerah mencoba lagi.
Perlakukan dirimu dengan kasih sayang, karena kamu layak dicintai. Orang yang kerap kita benci, yang paling ingin kita minta maaf, dan yang paling kita sayangi … bisa jadi adalah diri kita sendiri. Maka, berilah dirimu ruang untuk memaafkan, merangkul, dan mencintai dengan tulus.
Referensi:
Apriolita, C., & Jupri, A. R. (2024). Representasi self-love dalam album Semoga Sembuh karya Idgitaf. KIBASP: Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 8(1).
Rahmi, F., & Zarkasi, I. R. (2025). Analisis fenomena quarter-life crisis pada usia muda: Studi pada pengguna aktif Instagram. JAISS: Journal of Applied Islamic Social Sciences, 6(1).
