Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Harga Cabai sampai Banjir Berakar dari Politik, Kok Bisa?

suasana banjir
ilustrasi banjir (pexels.com/Long Bà Mùi)
Intinya sih...
  • Politik memengaruhi kehidupan sehari-hari, termasuk harga pangan dan kondisi keluarga
  • Kebijakan kerja menentukan kualitas hidup, gaji, dan waktu istirahat
  • Harga cabai naik turun dipengaruhi oleh kebijakan politik yang tidak rapi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Politik sering dianggap sesuatu yang jauh dari kehidupan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah. Politik tak ayal hanya dimaknai sebatas ribut tiap pemilu atau sekadar urusan elite yang nongol di TV membicarakan hal yang dianggap kurang relate dan terlalu rumit bagi mereka. Padahal keputusan politik menentukan hal-hal paling dasar dalam hidup kita, lho. Mulai dari harga pangan, lingkungan tempat kita tinggal, sampai kondisi keluarga kita pun ditentukan oleh politik.

Banyak orang menolak mengaitkan masalah sehari-hari dengan keputusan politik, padahal akar persoalannya sangat dekat. Sikap acuh dan denial dengan selalu berkata “jangan semua disangkutpautkan dengan politik” atau "apa-apa politik, dikit-dikit politik" justru membuat kita buta terhadap hal yang sebenarnya mempengaruhi hidup sejak bangun tidur. Berikut pembahasan selengkapnya.

1. Aturan negara ikut menentukan bagaimana kita menjalani hari

KRL Jakarta Kota - Bogor
KRL Commuter Line (pexels.com/Didin Rachmawan N)

Kamu bisa bangun pagi dengan listrik menyala karena tarifnya sudah diputuskan lewat berbagai rapat yang tidak kamu hadiri. Ongkos transportasi, waktu tempuh, sampai kualitas jalan ditentukan lewat prioritas anggaran yang kadang tidak jelas arahnya. Kalau infrastrukturnya tidak beres, kamu yang harus menanggung akibatnya. Itu sebabnya banyak orang merasa harinya sudah melelahkan bahkan sebelum mulai tiba di tempat kerja.

Situasi di dalam rumah juga terbentuk dari keputusan-keputusan ini. Seorang ibu bisa terlalu lelah bukan karena ia kurang terampil merawat keluarga, tetapi karena pekerjaan rumah dan kebutuhan ekonomi menumpuk tanpa adanya dukungan sistem yang memadai. Ayah atau pasangan mungkin jarang di rumah karena harus kerja lembur agar pendapatan cukup untuk hidup sehari-hari. Ketika semua ini berlangsung bertahun-tahun, kualitas hidup tidak menurun karena karakter orangnya, tapi karena lingkungannya tidak menopang. Lalu, di situlah politik hadir bahkan ketika kamu belum keluar rumah.

2. Kebijakan kerja mengatur seberapa layak hidup bisa dicapai

lima lembar uang seratus ribu rupiah
ilustrasi gaji UMR (pexels.com/Defrino Maasy)

Aturan soal upah, jam kerja, dan perlindungan karyawan menentukan apakah seseorang punya ruang untuk bernafas. Jika gaji mentok di angka yang pas untuk bertahan hidup bahkan untuk satu orang, waktu untuk istirahat otomatis terpangkas. Ibu kesulitan memberi perhatian penuh ke anak jika seluruh energi habis untuk memenuhi kebutuhan pokok. Anak pun tumbuh di rumah yang tidak ideal karena semua orang sedang berjuang menutup biaya hidup.

Rasa harus bekerja dua kali lipat padahal hasilnya sama saja bukan tanda seseorang boros atau tidak pandai mengatur keuangan. Itu tanda bahwa struktur ekonomi di suatu negara tidak memberi kesempatan masyarakat untuk berkembang. Ketika kebijakan negara lebih condong mengamankan kepentingan yang jauh dari kehidupan warga, keluarga kecil jadi pihak pertama yang merasakan dampaknya. Ini adalah hal sepele tapi efek carut marutnya terasa namun masih saja sering dianggap bukan politik, padahal seluruhnya berawal dari kebijakan yang ngawur.

3. Harga cabai bisa naik turun karena alurnya dikendalikan keputusan tertentu

tumpukan cabai merah
ilustrasi cabai (pexels.com/Arina Krasnikova)

Naiknya harga cabai tidak bisa dijelaskan hanya dengan cuaca. Jalur distribusi sering terhambat karena infrastruktur buruk, kebijakan impor berubah-ubah, atau keputusan yang membuat petani tidak mendapat perlindungan. Akhirnya harga melonjak dan pembeli dianggap mengeluh karena mahalnya cabai. Padahal persoalannya bukan pada pedagang atau pembeli, melainkan sistem yang tidak rapi dari awal.

Fakta bahwa jalan rusak atau keterbatasan logistik bisa langsung memengaruhi harga di pasar menunjukkan betapa panjangnya pengaruh kebijakan politik ini. Barang yang kamu beli hari ini sudah melalui banyak keputusan politik bahkan jauh sebelum sampai di keranjang belanjaanmu. Bukan kerjang belanja di supermarket bahkan kantong plastik yang kamu pakai untuk membelinya di pasar tradisional. Bila satu tahap saja tidak teratur, rantainya ikut terguncang. Inilah contoh jelas bahwa kehidupan rumah tangga tidak pernah sepenuhnya terpisah dari cawe-cawe keputusan negara.

4. Banjir terjadi karena keputusan manusia, bukan semata-mata alam

penampakan banjir dari pantauan udara
ilustrasi banjir (pexels.com/Pok Rie)

There’s no such a natural disaster terasa relevan ketika melihat banjir berulang di berbagai daerah di Indonesia. Curah hujan memang tinggi, tetapi banjir terjadi karena kawasan yang dulu bisa menyerap air kini berubah menjadi beton atau perkebunan sawit yang makin luas. Izin tambang, penggundulan hutan, dan tata ruang yang mengabaikan risiko lingkungan semuanya merupakan keputusan politik yang dibuat secara sadar oleh para pemangku kebijakan. Menyalahkan alam hanya membuat akar masalahnya tidak tersentuh.

Air akan tetap mencari jalannya, dan jika ruang resapan hilang, banjir jadi hal yang tidak bisa dihindari. Banyak wilayah yang sebenarnya aman berubah menjadi rawan setelah proyek besar menghapus ruang hijau. Pengawasan lingkungan pun melemah ketika regulasinya longgar. Akhirnya warga yang harus mengungsi atau kehilangan harta benda, sementara penyebabnya jarang disorot secara blak-blakan. Ini bukan sekadar bencana tapi ini konsekuensi politik.

5. Kegiatan menyenangkan pun bisa terbentur oleh aturan

kerumunan orang saat konser
ilustrasi konser (pexels.com/Wendy Wei)

Harga tiket konser yang terasa tidak masuk akal sering kali dipengaruhi regulasi yang berbelit. Jika biaya perizinan dan penggunaan ruang publik tinggi, harga tiket otomatis melejit. Muda-mudi akhirnya menganggap hiburan sebagai sesuatu yang hanya bisa dinikmati sesekali. Padahal jika aturan dibuat lebih realistis, akses untuk menikmati acara di ruang publik akan jauh lebih merata.

Ruang terbuka yang aman dan gratis juga bergantung pada prioritas anggaran. Jika pembangunan hanya fokus pada proyek besar yang tidak dekat dengan kebutuhan warga, ruang rekreasi sederhana seperti ruang terbuka hijau atau taman pun bisa hilang. Akibatnya, hiburan sehari-hari semakin mahal dan melelahkan. Contoh kecil ini menunjukkan bahwa politik tidak hanya mengatur hal-hal penting, tetapi juga cara kita menikmati waktu senggang.

Banjir, harga pangan, sampai kondisi keluarga bukanlah hal-hal random yang terjadi di hidup kita sebab semuanya berkaitan dengan keputusan politik. Menyadari hal ini membuat kita lebih jernih melihat siapa yang sebenarnya mengambil keputusan yang memengaruhi hidup kita. Setelah memahami semua ini, masih masuk akal kah kalau seseorang bilang “kenapa sih semua-muanya harus politik”?

Referensi:

"There’s No Such Thing as a Natural Disaster" Items. Diakses pada Desember 2025

"5 Reasons Why Disasters are Not Natural" UNU EHS. Diakses pada Desember 2025

"Why are disasters not natural?" UNDRR. Diakses pada Desember 2025

"Is there such a thing as 'natural' disasters?" Charles Darwin University Australia. Diakses pada Desember 2025

"Paul Krugman: Everything Is Political" JSTOR Daily. Diakses pada Desember 2025

"Like it or not, everything is political." The Black Project. Diakses pada Desember 2025

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Refleksi Sosial: Mengapa Self-Love Jarang Diajarkan Sejak Dini?

20 Des 2025, 21:58 WIBOpinion