Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Makan Bergizi Gratis: Demi Rakyat atau Demi Agenda Politik?

Dapur MBG Kelapa Lima Kota Kupang. (IDN Times/Putra Bali Mula)
Dapur MBG Kelapa Lima Kota Kupang. (IDN Times/Putra Bali Mula)
Intinya sih...
  • Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan untuk perbaikan kualitas gizi, pemerataan akses makanan sehat, dan menekan angka stunting.
  • Kasus keracunan massal di beberapa daerah mengindikasikan kelemahan pengawasan keamanan pangan dan koordinasi antar-instansi yang belum solid.
  • Transparansi pengadaan, efektivitas aliran anggaran, serta kemungkinan adanya agenda politik menjadi sorotan publik terhadap program ini.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Peluncuran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk pelajar pada tahun 2025 menjadi salah satu kebijakan sosial terbesar yang diambil pemerintah dalam satu dekade terakhir. Di atas kertas, program ini menjanjikan perbaikan kualitas gizi, pemerataan akses makanan sehat, serta upaya nyata menekan angka stunting. Namun dalam beberapa bulan pelaksanaannya, muncul laporan kasus keracunan massal di sejumlah daerah yang langsung memicu kekhawatiran publik. Pertanyaan pun bergulir, apakah program ini benar-benar dirancang untuk kesejahteraan masyarakat, atau dijalankan terlalu cepat demi memenuhi agenda politik?

Kasus keracunan yang terjadi di beberapa wilayah, seperti Jawa Barat dan Sulawesi, mengindikasikan adanya kelemahan serius dalam pengawasan keamanan pangan. Banyak penyedia makanan berasal dari usaha katering kecil, dapur komunitas, atau vendor lokal yang belum memiliki standar higiene memadai. Survei Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 bahkan menunjukkan bahwa sekitar 40 persen fasilitas katering sekolah belum sepenuhnya memenuhi standar sanitasi dasar. Ketika program sebesar MBG bergantung pada penyedia dengan fasilitas yang minim, risiko kontaminasi makanan menjadi sangat tinggi. Kelemahan ini semakin diperburuk oleh koordinasi antar-instansi yang belum solid. Program ini melibatkan banyak kementerian dan pemerintah daerah, sehingga fragmentasi birokrasi membuat pengawasan menjadi longgar di lapangan.

Tidak hanya soal keamanan pangan, transparansi pengadaan dan efektivitas aliran anggaran juga turut menjadi sorotan publik. Sejumlah laporan media mempertanyakan apakah vendor telah dipilih berdasarkan kualitas atau semata-mata efisiensi biaya. Ketika anggaran besar dikelola dengan mekanisme yang tidak transparan, publik berisiko menerima makanan berkualitas rendah. Di sinilah kritik terhadap kemungkinan adanya agenda politik muncul. Program makanan gratis sering kali menjadi kebijakan populer karena manfaatnya terlihat cepat dan langsung menyasar kelompok besar, terutama anak sekolah. Namun, jika proses kebijakan lebih menekankan pencitraan politik dibanding perencanaan matang, maka implementasinya kerap berjalan terburu-buru, seperti yang tampak terjadi pada MBG.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa program makanan sekolah sebenarnya sangat mungkin berhasil jika tata kelolanya kuat. Jepang, misalnya, telah menjalankan School Lunch Program sejak 1954 dengan standar yang ketat dan pengawasan oleh ahli gizi di setiap sekolah. Sementara India, melalui Mid-Day Meal Scheme, pernah mengalami kasus keracunan serupa sebelum melakukan reformasi menyeluruh terhadap pengawasan bahan baku, pelatihan dapur, dan audit berkala. Empiris ini menunjukkan bahwa keberhasilan program bukan hanya soal anggaran, tetapi soal kemampuan negara memastikan keamanan pangan dari hulu ke hilir. Dalam teori keamanan pangan WHO, kualitas makanan tidak boleh hanya diperiksa di akhir, tetapi harus dijaga sejak pemilihan bahan, penyimpanan, distribusi, hingga penyajian. MBG belum sepenuhnya menerapkan prinsip keamanan pangan yang menyeluruh ini.

Dari perspektif kebijakan publik, teori agenda setting yang diperkenalkan oleh Cobb dan Elder dapat membantu memahami dinamika ini. Teori tersebut menjelaskan bagaimana isu tertentu dapat dipilih dan ditonjolkan oleh aktor politik untuk membentuk opini publik. MBG tampaknya ditempatkan sebagai isu utama yang menguntungkan pemerintah dalam persepsi publik, sehingga pelaksanaannya terkesan dikebut. Teori implementasi kebijakan dari Pressman dan Wildavsky juga relevan, karena semakin banyak aktor yang terlibat, semakin besar pula risiko kegagalan implementasi. Program MBG, dengan rantai koordinasi yang panjang, menjadi contoh nyata kompleksitas ini.

Namun, kritik terhadap program ini tidak seharusnya berujung pada penolakan total. Program Makanan Bergizi Gratis pada dasarnya merupakan kebijakan pro-rakyat yang berpotensi memberikan manfaat besar bagi generasi muda Indonesia jika dikelola dengan benar. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan pembenahan serius. Standarisasi keamanan pangan harus dilakukan secara nasional dengan mewajibkan sertifikasi bagi seluruh penyedia makanan dan audit rutin oleh lembaga terkait. Sekolah-sekolah perlu melibatkan tenaga ahli gizi yang dapat mengawasi penyusunan menu sekaligus memastikan kebersihan dapur. Selain itu, transparansi anggaran dan publikasi daftar vendor yang memenuhi standar wajib dilakukan agar masyarakat dapat mengawasi secara langsung. Pendekatan bertahap melalui pilot project di beberapa provinsi juga akan jauh lebih aman dibanding implementasi serentak berskala nasional.

Pada akhirnya, keberhasilan program MBG tidak bergantung pada besarnya anggaran atau luasnya cakupan, tetapi pada kualitas tata kelola yang menyertainya. Kasus keracunan yang terjadi harus menjadi peringatan keras bahwa program besar tidak dapat berjalan hanya dengan niat baik. Jika pemerintah mampu memperbaiki standar keamanan, memperkuat pengawasan, dan menjaga transparansi, maka program ini dapat menjadi investasi jangka panjang bagi kesehatan anak-anak Indonesia. Sebaliknya, jika tetap dijalankan tanpa pembenahan, kebijakan ini berisiko menjadi simbol kegagalan birokrasi dan memperburuk kepercayaan publik. Program yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional justru bisa berubah menjadi bumerang. Pemerintah harus memilih antara memperbaiki, atau kehilangan momentum kepercayaan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Makna Cerpen "Robohnya Surau Kami" di Tengah Banjir Sumatera

04 Des 2025, 09:10 WIBOpinion