Untuk menguliti hal ini lebih dalam, kita perlu memahami bahwa stereotip gender hanya sebuah anggapan yang terbatuk di masyarakat. Dilansir laman Stanford University: Gendered Innovations, stereotip gender diartikan sebagai gagasan normatif tentang bagaimana feminitas dan maskulinitas seharusnya bertindak atau berprilaku.
Stereotip ini mencerminkan bias antara laki-laki dan perempuan, di mana keduanya dianggap memiliki batasan yang boleh dan tidak boleh ditunjukkan atau dilakukan. Penyebabnya banyak, mulai dari norma sosial, budaya, tradisi, hingga ekspektasi masyarakat. Stereotip gender kemungkinan besar diwariskan dari generasi ke generasi.
Contoh nyata dari stereotip gender terjadi pada hobi yang telah dilabeli. Laki-laki dan perempuan memiliki minatnya masing-masing yang dianggap lebih cocok untuk mereka. Orang pada akhirnya merasa tidak nyaman menekuni hobi tertentu karena takut dihakimi. Sayangnya, sumber yang sama mengatakan bahwa stereotip gender acapkali bertahan kuat meski realitas yang sebenarnya telah berubah.
Di lain sisi, Firgi tidak segan menunjukkan sisi dirinya yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai sisi feminin, termasuk pula soal ketertarikannya pada hobi memasak. Ia secara tidak langsung menentang stereotip gender yang membatasi hobi seseorang berdasarkan label tertentu. Setiap orang berhak menikmati hobi tanpa perlu dilabeli feminin atau maskulin.
"Lakuin aja, lagian konyol sekali kalau menanam bunga dianggap tidak maskulin, banyak petani bunga yang notabene mereka laki-laki. Di dunia yang sudah banyak berubah ini, ke-maskulin-an itu nggak hanya bisa ditunjukkan dengan kegiatan yang erat dengan kegiatannya laki-laki, lagian gak ada salahnya juga, gak ada salahnya menanam bunga, malahan itu bisa jadi sumbangsih kita ke ekosistem di sekitar," pesan Firgi untuk laki-laki lain yang mungkin juga punya minat pada hobi yang dianggap tidak maskulin.
Feminisme pada dasarnya tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi turut mengupas stereotip maskulinitas yang sama sempitnya. Laki-laki harus dibebaskan dari beban maskulinitas yang kaku. Firgi hanyalah satu contoh dari banyaknya laki-laki dengan minat yang dianggap tidak jantan.
Apa yang terlanjur mengakar di masyarakat memang sulit dikaburkan. Maskulinitas lebih sering diidentikkan dengan kekuatan fisik dan ketidakpedulian terhadap hal-hal yang lembut atau estetis. Akan tetapi, konsep itu mulai berubah. Laki-laki dengan berani menyuarakan maskulinitas modern yang semakin inklusif terhadap beragam ekspresi diri.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Psychology yang terbit pada 2019 menunjukkan bahwa norma-norma gender dapat berubah melalui pengaruh sosial dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat moden. Meskipun memiliki akar evolusi yang kuat, peran gender sejatinya tidaklah tetap, melainkan dapat berubah secara dinamis.
Dalam wawancara yang dilakukan melalui pesan teks WhatsApp, dengan gamblang Firgi pun mengatakan, "Semua hobi sebetulnya milik semua orang. Lagian, apa pun yang dilakukan dengan senang seharusnya itu sudah cukup buat bukti kalau hobi itu gak perlu dikotak-kotakkan mau dilakukan oleh siapa, laki-laki atau perempuan, bebas."
Narasi yang Firgi buat terbukti mendapat sambutan hangat di media sosial. Ia mengaku banyak yang terinspirasi dari caranya mengekspresikan hobi hingga akhirnya kerap dipanggil "mas-mas bunga matahari". Firgi percaya, apa pun yang dilakukan dengan sepenuh hati akan menemukan jalannya sendiri.
Meski demikian, ada saja satu atau dua orang dengan reaksi berbeda. Mereka melabeli "pick me" (mencari perhatian dan validasi) kepada Firgi dan bahkan menilainya tidak bisa berkelahi layaknya laki-laki jantan. Untungnya, ia tidak ambil pusing dan memilih mengabaikan komentar semacam itu.
"Saya gak suka berantem. Padahal kalau mau, mah, tangan saya ini bisa bikin orang masuk ke rumah sakit. Pastikan kalau nantang saya berantem, harus punya BPJS dulu," tegas Firgi.
Media sosial dengan kemampuan magisnya telah mengubah persepsi. Diharapkan banyak laki-laki lainnya yang berani menunjukkan minat mereka pada hal-hal yang dianggap feminin. Media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menggeser persepsi ini menjadi ruang diskusi yang lebih terbuka dan inklusif.
Memang betul bahwa hobi tertentu lebih identik dengan jenis kelamin tertentu, seperti menanam bunga yang lebih identik atau lebih sering dikaitkan dengan perempuan. Namun, itu hanya berdasarkan stereotip yang berkembang di masyarakat, bukan berarti laki-laki menjadi tidak maskulin apabila menyukai hal yang sama. Suatu hobi sangat boleh dan bebas disukai siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.