ilustrasi mall (pexels.com/Tuur Tisseghem)
Tidak semua keputusan untuk tidak membeli muncul karena keterbatasan finansial. Banyak konsumen saat ini justru lebih sadar akan hak mereka untuk memilih dan menolak. Di tengah gempuran iklan, influencer, dan strategi pemasaran yang semakin agresif, kemampuan untuk berkata “tidak” terhadap dorongan belanja adalah bentuk keberdayaan. Seseorang yang datang ke mall dan pulang tanpa belanja apa pun bisa jadi lebih berdaya dibandingkan mereka yang terpaksa membeli karena tekanan tren. Ini adalah bentuk kebebasan atas pilihan pribadi yang tidak seharusnya direndahkan.
Mereka tidak tunduk pada narasi bahwa belanja adalah bagian dari eksistensi sosial. Justru, dengan tidak membeli, mereka sedang menegaskan posisi sebagai konsumen yang selektif dan sadar nilai. Keputusan seperti ini juga mengajarkan bahwa hakikat konsumen bukan hanya soal menghabiskan uang, tetapi juga tentang menentukan standar dan arah pasar. Jika semakin banyak orang yang bersikap kritis seperti rojali, maka industri pun akan terpaksa menyesuaikan diri.
Perubahan ini bisa mendorong terciptanya produk yang lebih bermakna, berkelanjutan, dan sesuai kebutuhan nyata. Jadi, meski tidak membawa pulang barang, mereka tetap memberi dampak pada ekosistem ekonomi. Dalam konteks seperti ini, rojali bukanlah sebuah fenomena pasif, melainkan tindakan aktif yang punya daya pengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap konsumsi dan daya beli. Mereka bukan sekadar pengunjung, tapi bagian dari suara pasar yang tidak bisa diabaikan. Rojali bisa jadi representasi dari konsumen modern yang berani menolak godaan belanja barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan demi keputusan yang lebih masuk akal.
Fenomena rojali di mall tak semata soal tidak punya uang atau malas belanja. Ia bisa menjadi cermin dari dinamika sosial, kesadaran ekonomi, dan pilihan hidup yang semakin beragam. Melihatnya dengan perspektif lebih luas memungkinkan kita memahami bahwa tidak semua orang datang ke mall untuk membeli dan itu tidak apa-apa.