Kesetaraan gender masih sering dipahami secara sempit, terutama ketika laki-laki ikut serta dalam membahasnya. Bukan berarti kontribusi mereka tidak penting, hanya saja topik yang diangkat sering kali terbatas pada persoalan fisik atau peran rumah tangga, seolah-olah inti dari kesetaraan hanya berkutat pada hal-hal itu saja. Ketika perempuan bicara soal hak reproduksi, kekerasan seksual, atau kemandirian ekonomi, tanggapannya sering direspons dengan pertanyaan sinis yang tidak relevan, bahkan terkesan mengalihkan fokus dari isu utama.
Diskursus publik di media sosial memperlihatkan kecenderungan laki-laki untuk mereduksi kesetaraan gender menjadi bahan candaan atau tantangan fisik. Padahal, wacana kesetaraan tidak sekadar soal siapa kuat dan siapa lemah, tapi bagaimana semua orang bisa hidup adil tanpa terkekang peran tradisional yang membatasi pilihan. Untuk memahami kenapa topik yang mereka bahas cenderung stagnan, perlu dilihat lebih jauh dari sisi pendidikan, budaya populer, sampai pengaruh norma sosial yang membentuk cara pandang tersebut. Berikut lima hal yang bisa menjelaskan mengapa pembahasan laki-laki tentang kesetaraan gender sering kali berputar di tempat yang sama.