Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tugas Pertama: Tuliskan Hal-Hal yang Paling Menakutkan yang Harus Kamu Hadapi di Masa Depan

Sumber Gambar: photographyinspired.com
Sumber Gambar: photographyinspired.com

Artikel finalis kompetisi menulis #WorthyStory IDNtimes.com


 

Tugas 1:

"Tulis hal-hal yang paling menakutkan yang harus kamu hadapi di masa depan."

Dikumpulkan minggu depan.

Goresan kapur itu berhenti. Dua puluh lima pasang mata yang melihat tulisan itu menimbulkan berbagai macam reaksi. Saling berbisik, gaduh, dan bingung.

***

Namaku Eko. Kelas tiga SD. Hal yang paling kutakutkan di masa depan?

1. Membayangkannya saja sudah menakutkan.

Kalimat pertamaku di buku PR. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Sudah waktunya mama memasak. Seperti biasanya aku akan mengikuti mama ke dapur dan melihatnya memasak. Mencium bau masakannya yang lezat dan menjadi pencicip pertamanya. Membantunya membawakan makanan ke meja, dan memanggil Teh Resa serta ayah ke meja makan.

Seketika aku berpikir, jika di masa depan itu tidak terjadi lagi... Langkahku untuk menghampiri mama pun tiba-tiba terhenti dan aku malah kembali ke kamar, membuka buku PR. Menulis poin kedua.

2. Tak bisa mengikuti dan melihat mama memasak, mencium bau masakannya yang lezat dan menjadi pencicip pertamanya, membawa makanannya ke meja, dan memanggil Teh Resa serta ayah ke meja makan

Kututup kembali buku PR-ku.

***

Pukul 7 malam. Aku sedang menonton TV dengan ayah. Kali ini kami menonton serial fantasi: “Dunia Hancur”. Terlihat bagaimana matahari tiba-tiba jatuh dan ledakan dimana-mana.

“Ayah, apa itu semua akan terjadi?”

“Ya, suatu hari nanti.”

Tubuhku gemetaran. Kata Bu Ningsih, gemetar adalah ciri dari rasa takut. Aku langsung pergi meninggalkan ruang TV dan membuka buku PR. Menulis poin ketiga.

3. Dunia hancur

Seketika aku jadi ingat pengalaman waktu naik flying fox dulu, aku menangis. Bu Ningsih bilang menangis juga ciri dari rasa takut. Jadi aku menulis poin keempat.

4. Naik flying fox

Saat hendak kembali ke ruang TV, seseorang mengetuk pintu rumahku. Ternyata salah satu tetanggaku meninggal. Ayah langsung pergi tanpa pamit. Aku kesal karena ayah biasanya tidak begitu.

Namun mama menghampiriku, mengelus kepalaku sambil tersenyum. Dia berkata “Ayah buru-buru, sehingga ia tak sempat pamit kepadamu, nanti juga saat pulang dia akan meminta maaf.”

Jika di masa depan...

Aku kembali berlari menuju buku PR itu.

5.Mama tidak bisa mengelus kepalaku lagi

6. Aku tidak bisa melihat mama tersenyum lagi

Dan benar saja, saat pulang ayah langsung meminta maaf kepadaku. Aku bertanya “Kenapa dia bisa meninggal?”

Ayah mendudukkanku di pahanya sambil tersenyum, “Mau dengar cerita ayah?” Bukannya menjawab, aku malah berlari ke kamar, menulis tiga poin sekaligus.

7. Tidak bisa mendengarkan cerita ayah lagi

8. Tidak bisa duduk di pangkuan ayah lagi

9. Aku tidak bisa melihat ayah tersenyum lagi

Aku kembali ke ruang TV. Duduk di pangkuan ayah sambil mengangguk. Dia yang sempat bingung kembali tersenyum.

“Eko tahu ‘kan, kalau setiap orang yang hidup pasti akan meninggal?”

Aku mengangguk.

“Nah, sekarang itu waktunya tetangga kita yang meninggal.”

“Apa meninggal menyakitkan?”

“Hmm... entahlah. Memangnya kenapa? Eko takut?”

Aku kembali berlari ke kamar. Poin kesepuluh.

10. Meninggal

Ayah masuk ke kamarku.

 “Boleh ayah lihat apa yang sedang Eko kerjakan?”

Aku memberikan buku PR-ku. Ayah tersenyum melihatnya.

“Apa Eko tahu, dari semua kalimat ini, apa yang sebenarnya Eko takutkan?”

Aku menggeleng.

“Sebenarnya Eko takut dengan ‘perubahan’. Perubahan ayah, perubahan mama, perubahan dunia ini, perubahan Eko sendiri.”

Aku terperangah.

“Tapi sayangnya, perubahan itu pasti terjadi.”

“Kenapa?”

Ayah membawakan cermin.

“Sekarang, coba lihat Eko di cermin. Apakah dari dulu Eko sebesar ini?”

Aku menggeleng.

“Eko tumbuh, bukan? Dan akan terus tumbuh. Itu juga termasuk perubahan. Saat Eko bertambah besar, ayah, mama dan Teh Resa juga akan bertambah besar. Apa Eko mengerti sesuatu?”

Aku terdiam, lalu mengangguk perlahan.

***

Minggu depan sudah tiba. Anak-anak mengumpulkan tugasnya, termasuk aku. Namun Bu Ningsih tersenyum saat melihat tugasku. Mungkin karena tulisan yang kutambahkan di bawah kesepuluh poin itu:

“Aku takut dengan adanya perubahan.”

 

#WorthyStory

Share
Topics
Editorial Team
Amicita Nurfatiha Zahra
EditorAmicita Nurfatiha Zahra
Follow Us