Indonesia yang Terlalu 'Bising' Bisa Menonton A Quite Place

Zaman sekarang manusia, lidahnya, tuturnya, dan politiknya, bisa lebih mengerikan dari monster itu sendiri

Film horor dikatakan berhasil apabila sukses membuat penonton ketakutan. Reaksi apa lagi yang diminta selain ketakutan, dalam menonton film horor? Jika ada nuansa haru, sedih, itu adalah bonus rasa bagi penikmat film horor. Dalam film A Quite Place, saya menemukan segalanya.

Kesedihan, kasih sayang, patriarki, ketegaran, wanita, kehamilan, darah, perjuangan, mengejutkan, bahkan porsi yang paling sedikit adalah ketakutan. Film A Quite Place adalah kemasan lain dari sebuah film horor yang sejatinya tak begitu jauh dari kehidupan nyata.

Jika monster itu dianggap fiktif, itu salah. Bahkan, zaman sekarang manusia, lidahnya, tuturnya, dan politiknya, bisa lebih mengerikan dari monster itu sendiri.

Selama 90 menit, saya diajak menerka, mengikuti ritme film, dan tak ingin kehilangan satu momen pun. Tak ada suara, hanya isyarat. Hampir seluruh dialognya dilakukan dalam sunyi. Penonton pun larut tanpa suara.

Remaja alay yang biasanya cekikikan dan bermain dengan layar teleponnya saat di bioskop seolah 'ditegur' oleh film tanpa kata-kata ini. Mengunyah saja menjadi perilaku tidak santun ketika sedang menonton film sunyi ini.

A Quiet Place berkisah tentang perjalanan hidup keluarga Abbott di penghujung dunia. Penduduk bumi mulai punah karena diburu oleh sekelompok makhluk asing pemakan manusia. Mencabik manusia tanpa jeda. Makhluk-makhluk tersebut buta, tetapi sangat peka terhadap suara. Suara adalah mangsanya. Kesunyian menjadi kunci utama manusia jika ingin bertahan hidup.

Mampu bertahan hidup dari kepungan monster merupakan bonus untuk keluarga Abbott. Bertahan hidup tanpa suara harus dijalani oleh mereka. Manusia dipaksa untuk tidak bersuara mungkin bisa. Tetapi apakah manusia bisa kehilangan seluruh kemampuan alaminya untuk bersuara, berteriak, memanggil? Kecuali, tuna wicara, manusia memang harus bicara. Bicara seperlunya, bicara pada porsi yang tepat.

Film ini sungguh detail, menurut saya. Bagaimana seorang ibu yang mengandung dan pada waktunya akan melahirkan bisa menyumpal mulutnya untuk tidak berteriak? Lantas, bagaimana dengan bayi yang dilahirkannya, apa otomatis bisa mengerti keadaan dunia saat ia dilahirkan?

Tentu, hal ini sudah diperhitungkan matang oleh sang sutradara. Sehingga momen melahirkan yang “berdarah” bisa mengingatkan kepada kita semua, bahwa ada teriakan wanita yang meregang nyawa ketika satu nyawa terlahirkan. Teriakan itu bisa jadi soal kematian atau perjuangan.

Di antara para pemainnya, saya terkesan sungguh-sungguh dengan akting anak laki-laki kedua dari keluarga Abbott itu. Anak lelaki yang berakting pengecut, pecundang, ketakutan, bisa begitu meyakinkan ketika ia berubah jadi begitu pemberani.

A Quite Place  juga menyajikan bagaimana pentingnya sebuah janji. Seandainya sang anak bisa menepati janji untuk tidak membawa roket mainan yang bersuara bising, mungkin nyawa anak ketiga itu bisa diselamatkan. Janji seorang anak laki-laki yang berjalan tanpa arah menjadi seorang anak laki-laki dewasa dengan sebuah tujuan keberanian.

Di tengah adegan saat seorang ayah berbicara pada anaknya yang tuna rungu, yang menjelaskan betapa laki-laki paruh baya itu mencintai putrinya dan tidak pernah menaruh dendam atas kematian adik laki-lakinya, dan menceritakan dalam isyaratnya bahwa ia adalah seorang ayah yang akan selalu mencintai anak-anaknya, dan sang ayah berteriak sekencang yang ia bisa.

Dan….kemudian monster yang peka suara itu menerkam seluruh tubuh sang ayah. Adegan inilah yang membuat air mata tak tertahankan untuk jatuh. Ayah mencintai anaknya, begitu juga sebaliknya adalah hal wajar dan biasa. Mengapa lantas banyak orang masih menangis melihat itu, menyaksikan adegan itu, masih merasakan ada getaran tak bernama memasuki relung yang disebut nurani.

Film ini tampaknya mewakili kondisi masyarakat Indonesia praperpolitikan 2019 ini. Kadang, hidup tanpa banyak bacot, menjadi pilihan paling aman dan mendamaikan. Monster yang peka terhadap suara-suara keras cenderung kasar, bisa direpresentasikan sebagai isu beragam yang hingar bingar di telinga manusia Indonesia dalam menentukan pilihan.

Suara-suara ini ada meneduhkan, namun paling banyak membisingkan. Monster yang menakutkan akan mencari sumber suara bising dan siap menerkam tanpa ampun. Apakah tahun politik ini, manusia dunia maya dan nyata bisa bicara seperlunya saja?

Keahlian mengolah kesunyian menjadi keingintahuan yang berlebih membuat film ini layak ditonton berkali-kali. Semua pertanyaan kita seolah bisa dijawab di setiap adegan film ini. Tidak ada adegan yang tak memberi arti.

Film ini penting bagi seorang ayah, calon ayah, atau bagi mereka yang merasa menjadi ayah yang gagal. Bagaimana tugas ayah untuk membuat anak laki-lakinya tegar, berani, dan kuat, tidak hanya di dunia maya, melainkan menghadapi dunia nyata yang senyatanya tidak banyak menjanjikan kebahagiaan.

Ini menjadi penting. Sebab anak zaman sekarang telah tumbuh dengan teknologi yang berlimpah, membuatnya lupa bahwa ada persoalan hidup yang tak bisa diselesaikan teknologi canggih sekali pun.

Sekali lagi, saya sangat percaya bahwa kualitas hidup seseorang ditentukan oleh 3 hal. Buku apa yang anda baca, dengan siapa anda bergaul, dan film apa yang anda tonton. Jadilah cerdas.

Ni Nyoman Ayu Suciartini Photo Verified Writer Ni Nyoman Ayu Suciartini

I'm a writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya