ilustrasi orang sawah (unsplash.com/Sakshi Adenwala)
Boneka-boneka di Nagoro tidak hanya diletakkan sembarangan, tetapi diposisikan dalam adegan-adegan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. Tsukimi Ayano menempatkan mereka di lokasi-lokasi yang paling bermakna bagi orang yang mereka wakili. Ini menciptakan diorama raksasa yang membekukan waktu.
Kamu bisa menemukan sebuah ruang kelas yang penuh dengan murid-murid boneka dan seorang guru boneka, selamanya terjebak dalam pelajaran yang tak pernah usai. Di tempat lain, sekelompok boneka terlihat menunggu di halte bus, seolah menanti perjalanan yang tidak akan pernah datang. Ada pula yang sedang memancing di sungai, berkebun, atau sekadar duduk santai di teras rumah.
Seluruh desa pun berubah menjadi sebuah panggung bisu, tempat adegan-adegan kehidupan masa lalu dipentaskan oleh aktor-aktor yang tak bernyawa. Pemandangan ini menciptakan suasana yang sangat melankolis sekaligus menyeramkan. Nagoro bukan lagi desa yang hidup, melainkan sebuah museum kenangan yang abadi.
Nagoro adalah potret nyata dari fenomena depopulasi di pedesaan Jepang, yang dibalut dalam sebuah karya seni yang menyentuh sekaligus membuat bulu kuduk berdiri. Desa ini menjadi monumen bagi komunitas yang hilang dan perlawanan unik seorang wanita terhadap kesepian. Kira-kira, kamu bakal berani gak mengunjungi desa sunyi yang dihuni oleh ratusan pasang mata boneka ini?