Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
kolase dari lukisan yang menggambarkan kemewahan dari Marie Antoinette (commons.wikimedia.org/Élisabeth Louise Vigée Le Brun)
kolase dari lukisan yang menggambarkan kemewahan dari Marie Antoinette (commons.wikimedia.org/Élisabeth Louise Vigée Le Brun)

Revolusi Prancis (1789—1799) bisa dibilang jadi salah satu peristiwa yang mengubah dunia modern. Permasalahan yang terus timbul dari sistem monarki di sana membuat masyarakat Prancis marah dan menuntut perubahan radikal atas sistem yang berlaku saat itu. Namun, seperti yang kita ketahui, Revolusi Prancis berakhir dengan pertumpahan darah dari berbagai golongan dan kekacauan yang menghantui Prancis dan negara-negara Eropa yang saat itu menganut sistem monarki absolut.

Salah satu penyebab marahnya masyarakat Prancis kala itu yang menyulut Revolusi Prancis ialah perilaku ratu mereka, Marie Antoinette. Sebenarnya, perempuan kelahiran 2 November 1755 ini bukan warga Prancis, melainkan putri dari Kekaisaran Austria yang menikah dengan Raja Louis XVI pada 16 Mei 1770 sebagai bentuk pernikahan politik antara Kerajaan Prancis dan Kekaisaran Austria. Sebagai ratu di Kerajaan Prancis kala itu, Marie Antoinette tak hanya kurang berkompeten dalam urusan politik dan stabilitas negara, tetapi juga perilakunya sehari-hari terbilang sangat buruk.

Dirinya juga membuat sejumlah kontroversi yang perlahan-lahan menyulut emosi masyarakat Prancis, khususnya masyarakat golongan bawah. Pada pembahasan kali ini, kita tak akan berfokus pada fase-fase Revolusi Prancis, tetapi lebih pada perbuatan kontroversial apa saja yang dilakukan sang Madame Déficit sehingga menambah luka besar pada masyarakat Prancis yang menginginkan perubahan. Yuk, simak bersama-sama!

1. Bukan orang asli Prancis

lukisan yang menggambarkan sosok Marie Antoinette yang anggun dan cantik (commons.wikimedia.org/Élisabeth Louise Vigée Le Brun)

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Marie Antoinette memang bukan orang Prancis, melainkan Austria. Bagi negara-negara yang menganut sistem pemerintahan monarki absolut pada masa lalu, pernikahan putri kerajaan dengan kerajaan lain sebenarnya merupakan hal yang wajar saja dilakukan. Bahkan, di beberapa kerajaan, pernikahan dengan putri kerajaan lain justru membawa perubahan yang baik bagi kerajaan. Contohnya? Lihat bagaimana seorang Ratu Catherine II (Catherine the Great) yang membawa banyak perubahan positif pada Kekaisaran Russia, padahal dirinya merupakan perempuan kelahiran Kerajaan Prusia.

Lantas, apa yang salah dari Marie Antoinette yang statusnya bukan orang Prancis asli? Jawabannya terletak pada hubungan antara Kerajaan Prancis dan Kekaisaran Austria. Dilansir The New York, Kerajaan Prancis dan Kekaisaran Austria saling bermusuhan sebelum Perang Tujuh Tahun (1756—1763) dimulai. Apalagi, mengingat garis keturunan Marie Antoinette, yang masih satu darah dengan keluarga Habsburg, jelas jadi salah satu alasan mengapa banyak orang—baik di dalam pemerintahan ataupun masyarakat pada umumnya—di Prancis membencinya. Bahkan, ini terjadi jauh sebelum ia menikah dengan Louis XVI.

Pernikahan antara Louis XVI dan Marie Antoinette pun sebenarnya bertujuan untuk mempererat hubungan diplomatik antara Kerajaan Prancis dan Kekaisaran Austria pasca-Perang Tujuh Tahun. Sebab, Raja Louis XV dari Kerajaan Prancis dan Ratu Maria Theresa dari Kekaisaran Austria tak ingin lagi kedua kerajaan saling bermusuhan dan ingin menciptakan perdamaian di kawasan sekitar mereka. Meski kedua penguasa kerajaan itu sepakat untuk berdamai, masyarakat di dua kerajaan itu sudah telanjur saling membenci. Karena itu, kehadiran Marie Antoinette sebagai calon Ratu Kerajaan Prancis tak bisa diterima secara menyeluruh oleh masyarakat Prancis kala itu.

2. Beberapa masalah dalam pernikahan Louis XVI dan Marie Antoinette

Louis XVI dan Marie Antoinette sedang menggendong anak pertama mereka, Marie Therese Charlotte of France. (commons.wikimedia.org/Caro1409~commonswiki)

Tak hanya karena status Marie Antoinette yang bukan orang Prancis yang membuat publik Prancis heran dan kesal. Ada banyak masalah dari pernikahannya dengan Louis XVI—kala itu sudah menjadi raja dari Kerajaan Prancis—yang terekspos ke telinga publik. Ini terjadi baik sebelum, saat, maupun pasca-Revolusi Prancis.

Masalah pertama yang dihadapi keduanya adalah urusan ranjang. How Stuff Works melansir kalau Marie Antoinette kerap menyebut kalau dirinya dan Louis XVI memiliki banyak perbedaan selera. Louis XVI juga disebut-sebut mengalami kondisi medis karena merasa kesakitan saat melakukan aktivitas seks. Akibatnya, selama 7 tahun awal pernikahan keduanya, Louis XVI dan Marie Antoinette sama sekali tak bisa menghasilkan keturunan. Hal ini pun membuat desas-desus negatif menyebar ke masyarakat Prancis.

Salah satu yang paling populer adalah surat kabar yang mengejek "performa ranjang" Raja Louis XVI yang dicap payah sehingga membuat pasangan ini tak bisa menghasilkan keturunan. Hal ini jelas menjadi masalah serius karena beberapa waktu kemudian muncul propaganda yang menyebut kalau pasangan kerajaan tak bisa menghasilkan keturunan, bagaimana cara mereka mengurus kerajaan dengan baik? Beruntung, setelah penantian panjang, akhirnya pasangan Louis XVI dan Marie Antoinette dikaruniai buah hati.

Sepanjang hidup keduanya, pasangan ini memiliki empat anak yang lahir dalam kurun waktu berdekatan. Marie Thérèse Charlotte merupakan anak pertama mereka yang lahir pada 9 Desember 1778. Anak kedua mereka adalah Louis Joseph Xavier François lahir pada 1781. Kemudian, ada Louis XVII yang lahir pada Maret 1785. Terakhir, Sophie Hélène Béatrix lahir pada Juli 1786.

Meski masalah soal keturunan ini bisa diselesaikan, reputasi Marie Antoinette soal kesetiaannya jadi bola panas dalam masyarakat Prancis. Sebab, sang ratu diketahui "berselingkuh" dengan orang lain sebelum memiliki momongan dengan Louis XVI. Namanya Axel von Fersen, seorang tentara asal Swedia. Pada 1774, ia tak sengaja bertemu dengan Marie Antoinette di Paris. Wajah rupawan, kesopanan, dan keseriusannya dalam pekerjaan ternyata mampu memikat hati Marie Antoinette yang saat itu belum resmi menjadi ratu dari Kerajaan Prancis.

Axel von Fersen pun sering mengunjungi tempat privat Marie Antoinette di Versailles, Petit Trianon Palace, setelah Marie menjadi ratu. Hal ini jelas menimbulkan persepsi negatif, baik di kalangan kerajaan maupun masyarakat umum. Tentu tak adil jika hanya menyudutkan Marie dalam masalah ini. Sebab, Louis XVI sendiri juga memiliki beberapa selir dan diduga memiliki selingkuhan. Namun, di luar masalah pribadi mereka masing-masing, sebenarnya Louis XVI dan Marie Antoinette tetap saling mencintai satu sama lain.

3. Menggunakan uang kerajaan untuk bermewah-mewahan

Marie Antoinette dikenal sebagai sosok yang suka membuang uang kerajaan. (commons.wikimedia.org/Jean-Baptiste André Gautier-Dagoty)

Salah satu julukan yang paling melekat pada diri Marie Antoinette adalah Madame Déficit. Julukan ini secara harfiah berarti 'Nyonya Defisit'. Adapun, penyematan julukan ini disebabkan oleh gaya hidup mewah dari Marie Antoinette sendiri yang selalu membeli barang-barang mahal dengan uang kerajaan. Padahal, saat itu, ekonomi masyarakat Prancis sedang berada di posisi terburuk.

Bayangkan saja, sebelum Revolusi Prancis pecah, Marie Antoinette selalu membeli hampir 300 buah gaun mahal tiap tahun, parfum eksklusif, berbagai bentuk karya seni yang mahal, dan menata berbagai model rambut—yang tak jarang sangat nyeleneh—dengan uang kerajaan. Belum lagi, sang ratu juga rutin menggelar berbagai pesta, baik umum ataupun privat. Aksinya itu jelas menghabiskan begitu banyak uang yang sebenarnya sedang Kerajaan Prancis butuhkan karena menghadapi banyak masalah internal maupun eksternal. 

Masalah pemborosan keuangan ini makin pecah saat Marie Antoinette dituding terlibat skandal besar bernama Affair of the Diamond Necklace pada 1785. Britannica melansir kalau Marie Antoinette sebenarnya meyakinkan Louis XVI supaya tak perlu membelikannya sebuah kalung berlian seberat 2.800 karat seharga 1,5 juta francs (sekitar 4,7 juta dolar atau Rp77 miliar jika menggunakan perhitungan saat ini) yang dimiliki oleh Toko Perhiasan Boehmer dan Bassenge di Paris. Namun, seorang perempuan bernama Jeanne de la Motte Valois berusaha memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya sendiri.

Jeanne de la Motte menghubungi seorang anggota pemerintahan Prancis bernama Cardinal de Rohan, yang kala itu sedang tidak disukai oleh kalangan kerajaan, tentang keinginan Ratu Marie Antoinette. Ia menyebut kalau sang ratu sebenarnya sangat menginginkan kalung itu, tetapi tak ingin membuat Louis XVI membelinya. Karena itu, Jeanne de la Motte menyarankan agar Cardinal de Rohan membeli kalung tersebut dan menyerahkannya pada Marie.

Bak udang di balik batu, Jeanne de la Motte ternyata sudah menyiapkan plot. Ia mengirim surat palsu pada toko perhiasan pemilik kalung berlian itu atas nama Marie Antoinette dan kekasihnya bertugas sebagai kurir yang akan mencuri kalung itu saat transaksi sudah dilakukan. Dirinya bahkan menyiapkan seorang perempuan prostitusi untuk disamarkan sebagai Marie Antoinette guna meyakinkan Cardinal de Rohan kalau sang ratu memang menginginkan kalung tersebut. 

Pencurian ini baru disadari saat Cardinal de Rohan tak mampu membayar tenggat awal pembayaran kalung dan pihak toko menghubungi Marie Antoinette untuk menagihnya. Sang ratu jelas tak mengetahui hal ini dan kedua pelaku pencurian yang sempat tertangkap ternyata bisa melarikan diri ke London, Britania Raya. Kasus ini sebenarnya tak menunjukkan keterlibatan Marie Antoinette dalam pencurian kalung berlian. Malahan, sebenarnya sang ratu merupakan korban fitnah.

Sayangnya, di mata masyarakat Prancis yang selalu melihat kemewahan yang ditampilkan sang ratu, Marie Antoinette justru makin dicap terlibat dalam skandal ini. Bahkan, skandal inilah yang membuat sebutan Madame Déficit makin melekat pada diri Marie. Parahnya lagi, Jeanne de la Motte Valois, si pelaku utama dari skandal Affair of the Diamond Necklace, masih sempat menyebarkan propaganda negatif terhadap Marie Antoinette dalam bentuk memoar yang berjudul Mémoires selama pelariannya di London.

4. Mencoba kabur saat krisis di Prancis memuncak

lukisan yang menggambarkan situasi sebelum Marie Antoinette dieksekusi (commons.wikimedia.org/Ephraim33)

Sebenarnya, kala Revolusi Prancis sedang memuncak dan anggota keluarga kerajaan terus didesak oleh masyarakat Prancis, Marie Antoinette tampil sebagai ratu yang lebih tegas dan berani ketimbang Louis XVI sebagai raja. Meski begitu, reputasi yang sudah telanjur buruk membuat masyarakat pro revolusi mendesak pasangan kerajaan ini untuk menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat. Desakan itu ditambah dengan beberapa upaya penyerangan/pembunuhan terhadap keduanya yang memaksa pasangan kerajaan ini untuk mengambil satu keputusan ekstrem, yakni kabur dari Prancis.

Peristiwa itu terjadi pada 20—21 Juni 1791 dengan tujuan pergi ke Montmédy, sebuah daerah di Belanda yang kala itu ada pada kontrol Kekaisaran Austria. Adapun, rencana pelarian ini dibantu oleh Axel von Fersen dan Baron de Breteuil beserta beberapa pasukan loyalis Kerajaan Prancis. Tentunya, pihak dari Kekaisaran Austria dan Swedia juga terlibat dalam membantu pasangan kerajaan ini kabur.

Dilansir Smithsonian Magazine, rencana awal dari pelarian tersebut sebenarnya akan dilakukan dengan dua kereta kuda biasa yang ringan dan cepat. Adapun, pasangan kerajaan akan menyamar sebagai pelayan yang hendak menyeberang ke perbatasan. Akan tetapi, entah apa alasan yang dipikirkannya, Marie Antoinette memaksa untuk menggunakan satu kereta kuda berukuran besar dan lamban dengan segala alat serta bahan makanan yang mewah. Perjalanan itu dimulai pada malam hari dan sebenarnya berjalan cukup lancar pada awalnya.

Sayangnya, pelarian itu harus berakhir dengan kegagalan. Di daerah Varennes yang berjarak sekitar 210 km dari Paris, kereta kuda keluarga kerajaan ini dikenali oleh masyarakat setempat yang sudah bersenjata. Alhasil, kereta itu diberhentikan. Keluarga kerajaan terkonfirmasi ada di dalamnya dan ketegangan sempat terjadi di sana. Sebab, sebagian kecil pasukan loyalis Raja Louis XVI sebenarnya berada dekat dengan lokasi penangkapan. Namun, sang raja tak ingin masalah semakin membesar hingga melibatkan kontak senjata.

Karena itu, Louis XVI lebih memilih menunggu bantuan Jenderal Francois-Claude Bouillé di sana. Namun, bukannya bantuan yang datang, justru anggota pro revolusi yang tiba lebih dulu di Varennes. Akibatnya, keluarga kerajaan itu dibawa kembali menuju Paris. Lantas, masyarakat yang sebelumnya sudah muak malah menjadi murka akibat percobaan melarikan diri dari Louis XVI dan Marie Antoinette.

Bagi raja dan ratu, percobaan melarikan diri pada 20 Juni 1791 itu jadi kesempatan terakhir bagi mereka untuk mempertahankan kekuasaan serta nyawa. Sebab, setelah kejadian itu, Revolusi Prancis justru semakin meledak dengan puncaknya penghapusan sistem monarki absolut di sana. Hidup Louis XVI dan Marie Antoinette pun harus berakhir karena tebasan mata pisau guillotine. Louis XVI dieksekusi terlebih dahulu pada 21 Januari 1793, kemudian disusul Marie Antoinette pada 16 Oktober 1793.

Kalau dilihat secara menyeluruh, Revolusi Prancis jelas tak hanya meledak karena sejumlah kontroversi yang dimiliki Marie Antoinette. Sebelum dirinya dan Louis XVI menjabat, kondisi Kerajaan Prancis memang sedang berada pada posisi terburuknya dalam berbagai sektor. Masalah pangan yang buruk akibat iklim, pemborosan anggaran untuk keperluan pribadi anggota kerajaan atau luar negeri, dan penarikan pajak yang sewenang-wenang terhadap kalangan bawah sudah jadi bom waktu saat Louis XVI serta Marie Antoinette menjabat.

Apa yang dilakukan oleh Marie Antoinette itu ibarat menabur garam ke luka yang sudah menganga. Sekalipun ada kontroversi yang tak melibatkan dirinya secara langsung, gaya hidup bermewah-mewah Marie Antoinette di tengah-tengah krisis tetap membuatnya jadi salah satu antagonis bagi masyarakat yang pro revolusi di Prancis. Kalau menurutmu, apakah Marie Antoinette pantas jadi sasaran amarah masyarakat Prancis kala itu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team