Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Negara yang Pernah Mengekspor Gunung Es sebagai Komoditas

Ilustrasi pekerja memuat balok es di Pelabuhan Charleston, Amerika Serikat, era 1930-an (commons.wikimedia.org)
Intinya sih...
  • Amerika Serikat: Pelopor industri ekspor gunung es pada abad ke-19, mengirimkan ribuan ton es ke berbagai penjuru dunia.
  • Norwegia: Menjadi pemasok utama es internasional dengan pasokan melimpah hingga awal abad ke-20.
  • Greenland: Startup "Arctic Ice" menjadikan es glasial purba sebagai komoditas ekspor bernilai tinggi, meskipun kontroversial di tengah krisis iklim.

Gunung es tak hanya dikenal sebagai keajaiban alam, tapi juga pernah dijadikan komoditas dagang oleh beberapa negara. Di era tertentu, bongkahan es alami ini diangkut dan dijual ke wilayah beriklim panas untuk memenuhi kebutuhan air bersih hingga kepentingan komersial.

Praktik ekspor gunung es memang terdengar tak biasa, tapi benar-benar pernah terjadi. Negara-negara yang melakukannya melihat peluang dari kemurnian dan kelangkaan es tersebut, menjadikannya barang mewah yang bernilai tinggi di pasar internasional. Penasaran negara mana saja yang pernah melakukannya? Yuk, simak!

1. Amerika Serikat

Ilustrasi panen es alami di Massachusetts, Amerika Serikat, pada awal 1850-an (commons.wikimedia.org)

Amerika Serikat pernah menjadi pelopor dalam industri ekspor gunung es pada abad ke-19. Dilansir dari laman Conversable Economist, pada puncaknya, es alami dari Amerika diekspor ke berbagai penjuru dunia, termasuk Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, hingga Australia.

Kota-kota besar seperti New York, Boston, dan Chicago menjadi pusat utama industri es, di mana ribuan ton es dikirim menggunakan kapal untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional di masa sebelum mesin pendingin ditemukan.

Bisnis ekspor es ini tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan air segar di negara-negara tropis, tetapi juga menjadi simbol kemewahan tersendiri. Di masa jayanya, ribuan orang terlibat dalam proses pemotongan, penyimpanan, dan pengangkutan es dari danau-danau alami Amerika Serikat.

Namun, seiring berkembangnya teknologi pembuatan es buatan dan munculnya lemari es, kejayaan ekspor gunung es dari Amerika perlahan memudar hingga akhirnya hanya tinggal sejarah dalam perdagangan dunia.

2. Norwegia

Perdagangan es dari Norwegia, ketika bongkahan es dikirim lewat kapal menuju pasar ekspor (commons.wikimedia.org/Nordahl Rolfsen)

Di tengah gemuruh revolusi industri, kebutuhan akan es alami sebagai pendingin melonjak drastis. Saat dominasi Amerika Serikat dalam pasokan es mulai meredup setelah tahun 1870-an, sebuah negara di utara Eropa muncul sebagai pemain utama yang tak terduga yaitu Norwegia.

Dilansir dari laman London Canal Museum, negara fjord ini memanfaatkan dengan cerdik musim dinginnya yang panjang dan danau-danau luas yang membeku. Para "petani es" di Norwegia bekerja keras memanen bongkahan-bongkahan es murni, menyimpannya di gudang khusus, lalu mengirimkannya melalui kapal ke berbagai belahan Eropa yang lebih hangat.

Dengan pasokan yang melimpah dan kualitas es yang prima, Norwegia segera menjadi pemasok utama bagi pasar es internasional. Jutaan ton es dari Norwegia dikirimkan ke berbagai kota besar di Inggris dan Jerman, memenuhi kebutuhan pendinginan rumahan, industri perikanan, hingga pembuatan bir yang kala itu sedang berkembang pesat.

Bisnis es di Norwegia ini terus berjaya hingga awal abad ke-20, sebelum akhirnya tergeser oleh penemuan lemari es bertenaga listrik yang mengubah wajah industri pendinginan selamanya.

3. Greenland

Ilustrasi gunung es di Greenland (commons.wikimedia.org/Halorache)

Di tengah isu pemanasan global dan mencairnya lapisan es, sebuah ide bisnis unik muncul dari wilayah otonom Denmark, Greenland. Bukan sekadar cerita, kini ada startup yang menjadikan es glasial purba sebagai komoditas ekspor bernilai tinggi.

Dilansir dari laman IFLScience, perusahaan bernama "Arctic Ice" bahkan telah mengirimkan bongkahan es berusia puluhan ribu tahun ini ke Uni Emirat Arab, khususnya Dubai, untuk disajikan di bar dan restoran kelas atas.

Es yang dipanen dari pecahan gunung es yang memang sudah terpisah dari gletser ini diklaim memiliki kemurnian dan kepadatan yang tak tertandingi.

Meskipun terdengar kontroversial di tengah krisis iklim, pihak "Arctic Ice" berargumen bahwa es yang mereka kumpulkan sejatinya akan mencair dan kembali ke laut jika tidak dimanfaatkan. Selain itu, proses pengirimannya juga diklaim efisien karena menggunakan kapal kargo yang tadinya akan kembali kosong setelah mengirimkan pasokan barang ke Greenland.

Fenomena ini tidak hanya menyoroti nilai ekonomi dari sumber daya alam ekstrem, tetapi juga memicu perdebatan sengit tentang etika pemanfaatan es purba dan dampaknya terhadap persepsi keberlanjutan.

4. Swiss (dan Negara-negara Alpine Lainnya)

Ilustrasi bongkahan es di Sungai Thur, Swiss, yang mencerminkan pemanfaatan es sebagai komoditas (commons.wikimedia.org)

Pada abad ke-19, Swiss dan negara-negara Alpen lainnya dikenal memanfaatkan kekayaan es alami pegunungan mereka, bukan hanya sekadar untuk kebutuhan domestik, tapi juga sebagai komoditas perdagangan.

Dilansir dari laman Swiss National Museum, es yang dipanen dari danau-danau serta gletser di kawasan pegunungan Swiss sempat menjadi barang dagangan penting dan bahkan diekspor ke luar negeri, seperti ke kota Paris, berkat posisinya yang strategis di Eropa.

Peristiwa ini bermula dari tingginya kebutuhan akan pendinginan di masa saat kulkas modern belum ditemukan. Es alami dari Swiss sangat diminati karena kualitasnya dan kemampuannya dalam menjaga kesegaran makanan maupun minuman, terutama di kota-kota besar dan industri seperti pembuatan bir.

Tak hanya menambah penghasilan bagi penduduk pegunungan, perdagangan es ini juga menjadi bagian sejarah dalam perjalanan ekonomi negara-negara Alpen sebelum akhirnya tergeser teknologi pendingin buatan.

Beberapa negara sempat memanfaatkan gunung es sebagai komoditas bernilai tinggi. Di balik idenya yang tak biasa, langkah ini menunjukkan bagaimana manusia terus mencari cara baru untuk mengatasi berbagai kebutuhan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us