Ilustrasi katak yang cacat akibat polusi tinggi di suatu tempat (unsplash.com/Pauline 🦋📷)
Katak adalah alarm hidup bagi dunia yang air dan udaranya mulai tercemar. Karena kulitnya sangat permeabel, ia menyerap bahan kimia langsung dari lingkungan sekitar. Itulah sebabnya, di daerah pertanian yang sarat pestisida dan herbisida, banyak ditemukan katak dengan bentuk tubuh abnormal—seperti kaki tambahan atau tidak sempurna.
Menurut Jurnal Monograph in Environmental Health Perspective, deformasi ini erat kaitannya dengan pestisida jenis organofosfat dan senyawa pengganggu hormon (endocrine disruptors). Polutan tersebut memengaruhi tahap metamorfosis katak, terutama pada embrio yang terpapar di air kolam dan sawah.
Penelitian lanjutan di Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa konsentrasi atrazin—bahan aktif dalam pestisida—sebesar 0,1 ppb saja sudah mampu mengubah hormon reproduksi katak jantan menjadi betina. Ini berarti, bentuk tubuh yang cacat adalah cermin tragis dari air yang tak lagi bersih dan baik.
Hewan-hewan ini bukan kutukan, tapi pesan langsung dari bumi yang meminta perhatian. Cacing di sungai mati, lalat di pasar yang jenuh limbah, tikus yang menyimpan racun kota, kupu-kupu yang bertahan di langit berasap, dan katak yang cacat di sawah—semuanya menuturkan satu kisah, yakni alam sedang berteriak dengan suara pelan.
Namun manusia sering kali menutup telinga, menunggu laporan ilmiah untuk percaya bahwa dunia sudah sekarat. Padahal tubuh hewan-hewan ini sudah menulis peringatannya di hadapan kita.
Mereka bukan sekadar makhluk bertahan hidup—mereka adalah simbol perlawanan terakhir alam terhadap peradaban yang terlalu bising.