Di banyak tempat dan periode waktu yang telah disebutkan sebelumnya, kontrol populasi tidak selalu terbatas pada mencegah atau mengakhiri kehamilan sebelum kelahiran. Ada infanticide atau pembunuhan bayi yang baru lahir, yang, tentu saja, berbeda dari aborsi dan kontrasepsi dalam metode, moralitas, dan dampaknya.
Namun hal itu biasa terjadi di masyarakat pra-industri, karena kecil kemungkinannya untuk dikutuk secara moral dan hukum. Infanticide adalah teknik bertahan hidup di saat sebuah keluarga kekurangan makanan. Jika anak itu kemungkinan besar akan mati, mereka akan menganggap pembunuhan bayi sebagai bentuk belas kasihan untuk mereka.
Kelainan bentuk, anak dari hubungan haram, atau tidak terlahir sebagai jenis kelamin yang diinginkan juga menjadi faktor terbesar dalam pengambilan keputusan apakah anak itu akan hidup atau mati.
Menurut New World Encyclopedia, pembunuhan selektif sesuai jenis kelamin adalah hal biasa bagi wanita di Tiongkok, India, Tahiti, dan Afrika Utara, di mana tokoh-tokoh patriarki biasanya membuat keputusan tersebut.
Pengorbanan dan kecaman religius terhadap pembunuhan bayi juga dapat ditemukan di beberapa agama. Perlu diketahui juga kalau hal itu bukan semata-mata praktik primitif, karena filsuf Yunani Kuno dan Romawi seperti Aristoteles juga merekomendasikan pembunuhan bayi untuk mengendalikan populasi.
Walau begitu, teks-teks Kristen dan Yahudi sama-sama mengutuk praktik tersebut, bahkan di hari-hari awal kehamilan seorang wanita. Di sisi lain, seorang budak wanita di masa itu terkadang membunuh bayi mereka yang baru lahir agar anak tersebut tidak dijadikan budak oleh majikan mereka.
Nah, itu tadi 7 fakta sejarah tentang aborsi dan kontrasepsi. Perlu diingatkan kembali jika pembahasan semacam ini memerlukan kebijaksanaan untuk mencernanya dan dianjurkan untuk menggali berbagai referensi lebih dalam lagi agar tidak terjadi miskonsepsi di kemudian hari.