Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Perayaan Agama Terasing di Dunia
Ilustrasi perayaan beberapa agama asing di dunia yang magis sekaligus mistis (flickr.com/Seongwan Hong)

Intinya sih...

  • Nowruz, tahun baru Zoroastrian yang abadi

  • Inti Raymi, festival matahari bangsa Inca

  • Aoi Matsuri, harmoni kepercayaan di Kyoto Shinto

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Agama mayoritas seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha memang mendominasi panggung perayaan global dengan skala meriah. Namun, di balik hingar bingar itu, ada perayaan agama dari komunitas minoritas dan tradisi kuno yang masih bertahan meski kerap dianggap terasing. Mereka merayakan siklus alam, dewa kuno, hingga arwah leluhur dengan simbol mistis yang tak kalah megah.

Uniknya, perayaan-perayaan ini bukan sekadar festival budaya, melainkan ritual sakral yang diwariskan turun-temurun. Ada yang lahir dari kepercayaan Zoroastrian kuno, ada pula yang berasal dari tradisi Inca, Khmer, hingga pagan Nordic. Inilah tujuh di antaranya yang masih hidup dan terus memikat perhatian dunia.

1. Nowruz, tahun baru Zoroastrian yang abadi

Ilustrasi perayaan nowruz dari agama zoroaster (commons.wikimedia.org/White House)

Nowruz adalah perayaan tahun baru dalam tradisi Zoroastrian sekaligus warisan Persia kuno. Jatuh pada ekuinoks musim semi sekitar 21 Maret, ritual ini menandai kemenangan cahaya atas kegelapan. Bahkan UNESCO telah mengakui Nowruz sebagai Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage) sejak 2009 karena melibatkan lebih dari 300 juta orang di dunia. Sedangkan PBB pada 21 Maret 2010 menetapkan sebagai Hari Nowruz Internasional demi mendorong perdamaian global, solidaritas, dan pembaruan.

Simbol utamanya adalah api suci, lambang kesucian dan pembaruan hidup. Keluarga menyiapkan meja Haft-Seen dengan tujuh benda simbolis seperti apel, bawang putih, dan koin. Semua ini mencerminkan kesehatan, rezeki, dan keberuntungan.

Kini, meski agama Zoroastrian hanya dianut segelintir orang di Iran dan India (komunitas Parsi), Nowruz tetap dirayakan luas hingga Asia Tengah dan Kaukasus. Ia menjadi bukti bahwa tradisi minoritas mampu menembus sekat agama mayoritas.

2. Inti Raymi, festival matahari bangsa Inca

Ilustrasi perayaan inti raymi oleh bangsa Inca (flickr.com/jspix1)

Di Cusco, Peru, setiap 24 Juni ribuan orang berkumpul untuk merayakan Inti Raymi, festival matahari yang dipersembahkan untuk Dewa Inti. Menurut catatan National Geographic, perayaan ini berasal dari abad ke-15 dan dulunya menjadi upacara terbesar Kerajaan Inca.

Festival ini bertepatan dengan titik balik matahari musim dingin di belahan bumi selatan. Dulu, ritual termasuk pengorbanan hewan untuk memastikan kesuburan bumi. Kini, ia dipentaskan kembali dengan prosesi teatrikal yang menakjubkan, menampilkan pakaian tradisional dan musik Inca.

Meski agama Inca telah lama runtuh akibat kolonisasi Spanyol, Inti Raymi tetap menjadi simbol kebangkitan identitas pribumi Andes. Perayaan ini menjadi jendela sejarah di mana spiritualitas lama masih bernapas di zaman modern.

3. Aoi Matsuri, harmoni kepercayaan di Kyoto

Ilustrasi perayaan aoi matsuri bagi kepercayaan Shinto di Kyoto (flickr.com/Seongwan Hong)

Shinto, agama asli Jepang, dikenal lewat festival (matsuri) yang penuh warna. Salah satunya Aoi Matsuri di Kyoto, yang sudah berlangsung sejak abad ke-6. Menurut laman pariwisata My Kiyoto Machiya, festival ini digelar setiap 15 Mei dengan prosesi panjang menuju Kuil Kamo.

Peserta mengenakan busana era Heian (794—1185) lengkap dengan hiasan daun hollyhock atau aoi yang dipercaya bisa melindungi dari bencana. Ritualnya berfungsi menjaga harmoni antara manusia, dewa, dan alam.

Meskipun Jepang modern didominasi budaya sekuler, festival ini membuktikan bahwa kepercayaan Shinto masih mengakar kuat. Mistis dan magis Shinto tetap hidup di tengah kota yang supermodern.

4. Yule, kelahiran cahaya pagan Nordic

Ilustrasi perayaan yule yang berasal dari budaya pagan Nordic (flickr.com/brian donovan)

Sebelum Natal populer, bangsa Nordic telah merayakan Yule, sebuah festival titik balik matahari musim dingin (21 Desember). Menurut kanal Britannica, Yule melambangkan kelahiran kembali cahaya setelah malam-malam panjang.

Diuraikan pula—dari kanal tersebut—bahwa tradisi Yule mencakup pembakaran kayu besar, jamuan, dan menghias pohon. Banyak simbol Yule kemudian diadopsi dalam perayaan Natal Kristen, seperti pohon cemara dan lilin.

Kini, Yule dihidupkan kembali oleh komunitas neopagan dan Wicca di Eropa dan Amerika. Ia menjadi bukti bagaimana sebuah perayaan ‘terasing’ justru mewariskan simbol yang diakui universal.

5. Pchum Ben, ritual arwah di Kamboja

Ilustrasi pchum ben sesuai kalender khusus di Kamboja (flickr.com/Thea Prum)

Di Kamboja, umat Buddha Theravada merayakan Pchum Ben, tapi akar utamanya berasal dari kepercayaan leluhur Khmer kuno. Menurut portal berita National Today, perayaan ini berlangsung selama 15 hari pada bulan ke-10 kalender Khmer.

Masyarakat percaya bahwa pintu dunia arwah terbuka, dan leluhur kembali mencari makanan. Oleh karena itu, umat mempersembahkan nasi, kue, dan buah ke wihara. Ritual ini menjadi jembatan antara dunia hidup dan dunia arwah.

Pchum Ben bukan sekadar tradisi religius, tetapi juga ekspresi cinta kasih lintas generasi. Mistisnya terletak pada keyakinan bahwa roh-roh lapar akan gentayangan jika tidak dipuaskan.

6. Pesach Karaite, perayaan Paskah kaum minoritas

Ilustrasi sinagoge karaite yang jadi tempat ibadah kaum yahudi minoritas (commons.wikimedia.org/Josiah ap)

Kaum Karaite, cabang minoritas dalam Yudaisme, merayakan Pesach atau Paskah dengan cara berbeda. Tidak seperti Yahudi Rabinik, mereka hanya berpegang pada Taurat, menolak Talmud. Menurut laman The Karaite Jews of America, praktik mereka lebih sederhana dan langsung pada teks kitab suci.

Pesach Karaite memperingati eksodus dari Mesir dengan doa di rumah, bukan sinagoge. Mereka juga menghindari ragi lebih ketat, bahkan membersihkan rumah dari setiap butir tepung.

Meski komunitas Karaite sangat kecil dan tersebar di Israel, Mesir, hingga Amerika, perayaan ini menunjukkan kekuatan identitas yang tetap hidup meski terasing.

7. Gióng Festival, pahlawan sakral Vietnam

Ilustrasi giong festival di Vietnam yang memperingati Saint Giong mengusir penjajah (flickr.com/khanh vu)

Gióng Festival di Vietnam merayakan Saint Gióng, pahlawan legendaris yang mengusir penjajah. Menurut UNESCO, festival ini masuk daftar Warisan Budaya Takbenda atau Intangible Cultural Heritage, karena mencerminkan sinkretisme antara animisme, pemujaan leluhur, dan tradisi lokal Vietnam.

Festival ini diadakan di kuil-kuil Hanoi setiap bulan keempat kalender lunar. Prosesi melibatkan drama rakyat, tarian perang, dan sesaji untuk Gióng.

Bagi masyarakat Vietnam, Gióng bukan sekadar pahlawan, tapi juga sosok sakral yang melindungi tanah air. Mistisnya terletak pada keyakinan bahwa roh Gióng masih hidup dalam rakyat.

Perayaan-perayaan ini membuktikan bahwa agama minoritas dan tradisi kuno tidak pernah benar-benar hilang. Mereka mungkin terasing, tapi justru di situlah daya tariknya: simbol-simbol mistis dan magis terus hidup, melintasi zaman dan menembus batas modernitas.

Di era globalisasi yang serba cepat, ritual ini mengingatkan kita bahwa manusia selalu membutuhkan makna lebih dalam, bukan sekadar hiburan. Dari api suci Zoroastrian hingga roh lapar Khmer, semuanya adalah bagian dari mozaik spiritual dunia yang kaya dan tak ternilai.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team