Selama menjadi tahanan politik, Soekarno menegaskan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, ditahan, dan lama-lama akan mati sendiri. Namun, dirinya percaya jika jiwa, ide, ideologi, dan semangat dalam dirinya tidak akan pernah dapat dibunuh.
Soekarno dilarang untuk membaca koran, mendengarkan radio, dan menonton televisi. Akibat dari pengasingan itu, Soekarno merasa sangat depresi hingga mulai pikun. Ia juga kerap bicara sendiri dan meracau tak jelas. Itulah yang akhirnya membuat ketegaran dan semangat Sang Proklamator makin hari kian meluruh.
Diasingkan dari dunia luar, keluarga, dan kerabat pun tak membuat hukuman itu terasa cukup bagi si penyambung lidah rakyat ini. Seminggu sekali datang seorang perwira yang ditugaskan untuk menginterograsi Soekarno sepanjang hari. Tak hanya itu, penjagaan pun semakin diperketat, yang membuat ruang gerak Soekarno semakin terbatas. Situasi seperti ini juga membuat kesehatannya pun kian menurun.
Pada malam hari tanggal 16 Juni 1970, Soekarno sempat tak sadarkan diri dan nyaris sekarat. Ia lalu segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto. Di rumah sakit itulah, lagi-lagi Soekarno ditempatkan di sebuah kamar dengan penjagaan berlapis. Hanya beberapa hari Soekarno sanggup bertahan. Tepat pada pagi hari tanggal 21 Juni 1970, si penyambung lidah rakyat itu menghembuskan napas terakhirnya dengan status sebagai tahanan politik Orde Baru.
Orde Baru berhasil membunuh sang Bapak Bangsa secara perlahan. Hari-hari perjalanannya makin hari terasa berat dan menyedihkan. Cerita hidupnya tidak berakhir bahagia. Ia bahkan tidak sempat memberi nama dan meresmikan Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal sebagai Patung Pancoran hasil ide rancangannya yang diserahkan kepada pematung Edhie Sunarso. Pukul 10.00 pagi tepat pada tanggal 21 Juni 1970, iring-iringan mobil jenazah Soekarno dari Wisma Yaso menuju Halim Perdanakusuma melintas di bawah monumen tersebut.
Sejarah memang kejam. Rasa kejam itu bahkan masih tetap terasa sama ketika hanya mendengarkan ceritanya saja. Asvi dalam Supersemar – Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan (hlm. 34-35) menduga kuat, Supersemar yang asli masih ada dan kemungkinan besar di tangan Soeharto. Alasannya secara logika sesuatu yang dianggap penting pasti akan disimpan dan Soeharto adalah orang yang sangat menghargai sesuatu yang penting. Salah satu contoh yang tidak diketahui banyak orang bahwa Soehato pernah menyimpan bendera pusaka merah putih di rumahnya.
"Mungkin juga Supersemar sama dengan bendera pusaka itu," pungkas Asvi seperti dituliskan Tim Historia dalam Supersemar – Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan (2019: 35).