Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang Kontroversial

Menentang Revolusi Putih dan membentuk Republik Islam Iran

Di antara para pemimpin politik dan agama yang paling terkenal pada 1980-an adalah Mantan Pemimpin Agung Iran (Islam Syiah) dan Pemimpin Republik Islam Iran, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini. Ia lahir pada awal tahun 1902 di Khomeyn, Iran, sebagai putra seorang pemimpin agama Islam. Ayahnya dibunuh dalam suatu perselisihan ketika Khomeini masih kecil. Khomeini pun tumbuh dengan mempelajari Islam Syiah.

Pada 1962, Ruhollah Khomeini mempelajari ajaran agama dan hukumnya secara mendalam hingga menjadi Aayatollah (Ayatullah) Agung dalam 12 Imam Syiah. Ini merupakan sekte Syiah yang paling dominan dalam Islam. Ayatollah adalah istilah yang hanya diperuntukkan bagi ulama yang paling terpelajar dan dihormati. Ayatollah dengan ilmu tertinggi dikenal sebagai Ayatollah Agung atau 'pemimpin tertinggi'. Mereka merupakan wakil dari Imam Tersembunyi (pengganti Muhammad) dalam 12 Imam Syiah.

Setelah mengambil alih kekuasaan di Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini adalah salah satu pengkritik terbesar terkait kebijakan luar negeri Amerika. Ia menyebut Amerika Serikat sebagai "Setan Besar" dunia, sebagaimana yang ditulis Times. Khomeini memerintah selama hampir 10 tahun sebagai pemimpin tertinggi Iran hingga kematiannya pada bulan Juni 1989. Seorang tokoh yang terkenal tertutup dan ilusif, inilah fakta Ayatollah Ruhollah Khomeini.

1. Ayatollah Ruhollah Khomeini membangkang kebijakan politik Syah Iran

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang Kontroversialpotret Ayatollah Ruhollah Khomeini saat muda pada 1938 (commons.wikimedia.org/Fabienkhan)

Sepanjang besar hidupnya, Ayatollah Ruhollah Khomeini terkenal sebagai seorang pembangkang, terutama dalam dunia politik. Seperti yang dijelaskan NPR, Presiden AS Dwight D Eisenhower kala itu membantu merencanakan penggulingan pemerintah Iran di bawah kepemimpinan Mohammad Mossadegh pada 1953.

Mossadegh pun menjadi simbol oposisi di Iran terhadap Syah yang korup. Pada awal 1960-an, ketidakpuasan masyarakat Iran terhadap Mohammad Mossadegh ini menyebabkan protes politik yang meluas di kalangan guru besar. Disisi lain, setelah kematian Ayatollah Muhammad Hussein Burujirdi, kelompok agama di Iran juga menjadi terpolitisasi.

Untuk mencoba mempertahankan kekuasaannya dan menenangkan massa di Iran, Syah Mohammad Reza Pahlavi melembagakan Revolusi Putih pada awal 1963. Hal ini dirancang untuk meredakan ketegangan dengan memberikan hak pilih bagi perempuan, meningkatkan kemampuan masyarakat agar melek huruf, dan memberikan kesejahteraan ekonomi bagi kelas pekerja. Namun, Revolusi Putih tidak terlalu populer di Iran, terutama bagi Khomeini saat muda.

Ruhollah Khomeini adalah penerus Ayatollah Muhammad Hussein Burujirdi setelah Burujirdi meninggal pada 1961. Khomeini sendiri berulang kali menentang Revolusi Putih. Usai berpidato mengkritik Syah Mohammad Reza Pahlavi pada peringatan suci Asyura Islam Syiah, Ruhollah Khomeini langsung dipenjara.

Namun, insiden ini justru mendongkrak popularitas Khomeini di kalangan oposisi Syah dan kalangan pemuka agama. Hal ini juga dengan tegas menjadikan Khomeini dan para ulama lainnya sebagai pemimpin oposisi anti Syah di Iran. Mengubah mereka dari pemimpin agama menjadi pemimpin politik.

2. Ayatollah Ruhollah Khomeini diasingkan dari Iran pada 1964

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Khomeini kembali ke Iran setelah 14 tahun pengasingannya, pada 1 Februari 1979. Ia dibantu turun dari pesawat oleh salah satu pilot Air France. (commons.wikimedia.org/Sa.vakilian/Mrostam)

Setelah penerapan Revolusi Putih dan penangkapan Ayatollah Ruhollah Khomeini pada 1963, tahun berikutnya, Majlis (parlemen) Iran menyetujui undang-undang yang sangat kontroversial. Dikenal sebagai Status of Forces Agreement (SOFA), undang-undang ini memberikan kekebalan diplomatik kepada seluruh warga Amerika yang tinggal di Iran dan bekerja untuk pemerintah Amerika Serikat. Undang-undang tersebut tidak hanya terbatas pada pegawai pemerintah, tetapi juga keluarga dan tanggungan mereka.

Intinya, orang Amerika yang tinggal di Iran tidak lagi tunduk pada pengadilan atau hukum di Iran, seperti halnya warga negara Iran sendiri. Di antara mereka yang marah dengan kebijakan ini adalah Ayatollah Ruhollah Khomeini. Ia mengeluarkan salah satu pidato politik paling penting dalam sejarah modern Iran pada 26 Oktober 1964. Khomeini dengan tegas menentang SOFA, dengan alasan bahwa orang Amerika dapat membunuh para pemimpin agama Iran tanpa mendapat hukuman. Khomeini mengecam pemerintah Iran atas sikap pemerintah yang tidak transparan seputar perjanjian dalam kebijakan tersebut.

Ayatollah Ruhollah Khomeini juga mengklaim bahwa perjanjian tersebut mengartikan bahwa orang Iran yang menabrak hewan peliharaan orang Amerika akan terkena konsekuensi hukum yang lebih besar dibandingkan orang Amerika yang membunuh Syah. Kurang dari sebulan kemudian, Khomeini diasingkan ke Turki.

Khomeini pun pergi ke Najaf, Irak, dan tinggal selama 14 tahun hingga pindah ke Paris, Prancis, pada 1978, sebagaimana yang ditulis oleh William L Cleveland dalam buku A History of the Modern Middle East (2016). Khomeini baru kembali ke Iran pada bulan Februari 1979, hampir 15 tahun setelah pengasingan pertamanya.

3. Ayatollah Ruhollah Khomeini adalah penulis yang sangat berpengaruh

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Ruhollah Khomeini dan putranya Ahmad serta cucunya Hasan (kiri) dan Yasser, di Paris saat sedang berkumpul. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Ketika Ayatollah Ruhollah Khomeini tinggal di Irak dari tahun 1964 sampai 1978, ia menjadi penulis yang sangat berpengaruh dalam Islam Syiah. Pada 1970, Khomeini menerbitkan karyanya yang paling terkenal dan menonjol, Islamic Governance. Buku ini menetapkan konsep Wilāyat al-Faqih/Velayat-e faqih, yang berarti 'perwalian ahli hukum Islam' dalam bahasa Persia.

Konsep velayet-e faqih yang diciptakan oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini adalah pembentukan negara di mana para ulama Islam Syiah, seperti ayatollah dan ayatollah agung, akan membentuk dan mengendalikan pemerintahan. Pemerintahannya akan didasarkan pada ideologi Islam Syiah. Interpretasi Syiah terhadap Syariah akan menjadi dasar yurisprudensinya. Seorang pemimpin tertinggi, atau ayatollah agung, akan bertanggung jawab atas pemerintahan dan sistem pemerintahannya hanya bergantung pada sistem Tuhan (Allah). Khomeini adalah pencipta ideologi ini, dan Pemerintahan Islam adalah awal dari pemerintahan Iran pasca Revolusi Iran.

Selain itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini menulis lebih dari 200 karya lain selama hidupnya. Banyak di antaranya yang secara resmi dipublikasikan di internet oleh pemerintah Iran setelah kematiannya.

4. Ayatollah Ruhollah Khomeini memiliki pengaruh besar setelah terjadinya Revolusi Iran

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Ruhollah Khomeini di kediamannya (commons.wikimedia.org/Alitadayon)

Mungkin peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah modern Iran adalah Revolusi Iran yang terjadi pada 1978 sampai 1979. Pada 1970-an, Syah Mohammad Reza Pahlavi kehilangan kekuasaannya di Iran. Hal ini dilandasi atas ketidakpuasan masyarakat akan kepemimpinan syah, karena membaca ajaran agama dan politik Ayatollah Ruhollah Khomeini. Doktrin Khomeini mulai meluas ke masyarakat.

Pada Januari 1978, beredar sebuah artikel dari surat kabar resmi Iran yang memfitnah Ayatollah Ruhollah Khomeini. Akibatnya, terjadi protes di jalan-jalan Iran. Protes ini berakhir dengan aksi kekerasan yang dilakukan militer Syah Mohammad Reza Pahlavi, yang menyebabkan beberapa orang tewas. Namun, protes jalanan terus berlanjut sepanjang tahun.

Ditambah lagi resesi ekonomi yang dipicu oleh pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlavi yang semakin memperburuk keadaan. Polisi yang diutus Syah Mohammad Reza Pahlavi menembak mati ratusan pengunjuk rasa di jalan-jalan. Akibatnya, sebanyak 2 juta orang berdemonstrasi menentangnya pada Desember 1978. Pada 16 Januari 1979, Syah Mohammad Reza Pahlavi turun takhta dan meninggalkan negara itu. Ia pun tak pernah kembali ke Iran lagi.

Sementara itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini tiba di Iran pada bulan Februari dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Oleh sebab itu, Khomeini menjadi pemimpin politik utama di Iran. Khomeini memberhentikan semua pejabat yang ditunjuk oleh Syah Mohammad Reza Pahlavi dan menunjuk perdana menterinya sendiri.

Khomeini juga membentuk Garda Revolusi—angkatan bersenjata internal yang membantunya mengkonsolidasikan kekuasaannya. Pada 1979, Iran telah meratifikasi sebuah konstitusi, yang mengabadikan prinsip velayet-e faqih dan menunjuk Ayatollah Ruhollah Khomeini sebagai pemimpin tertinggi.

5. Majalah Time menobatkan Ayatollah Ruhollah Khomeini sebagai Man of the Year

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Ruhollah Khomeini saat sedang memeluk seorang anak. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Penghargaan tahunan Man of the Year versi majalah Time, merupakan daftar yang berisi beberapa orang paling berpengaruh dan positif dalam sejarah dunia. Daftar itu mencakup nama-nama penting seperti Martin Luther King Jr, Lech Walesa, dan Mohandas "Mahatma" Gandhi. Daftar tersebut juga memiliki beberapa nama tokoh yang sangat kontroversial, seperti Adolf Hitler dan Joseph Stalin. Selain itu, ada nama Ayatollah Ruhollah Khomeini yang masuk daftar Man of the Year pada 1979.

Tahun Revolusi Iran terjadi pada 1979. Itulah sebabnya, nama Ayatollah Ruhollah Khomeini dinobatkan sebagai Man of the Year versi majalah Time. Majalah tersebut menyebutkan dalam artikelnya, bahwa sebagian besar Revolusi Iran terjadi tanpa kekerasan.

Meskipun begitu, majalah Time mempertanyakan ratusan eksekusi yang terjadi selama Revolusi Iran. Pada saat artikel tersebut diterbitkan pada 7 Januari 1980, Krisis Penyanderaan Iran baru saja dimulai. Artikel dalam majalah Time mencatat bahwa adanya keterlibatan dan peran Ayatollah Ruhollah Khomeini dalam perpanjangan krisis tersebut.

Baca Juga: 12 Situs Suci yang Bersejarah bagi Umat Islam, Bukan Hanya Ka'bah

6. Di awal masa pemerintahan Ayatollah Ruhollah Khomeini, ia menghadapi banyak upaya kudeta

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Ruhollah Khomeini yang Agung dan Ayatollah Muhammad Mufteh (kiri) saat membisiki Ayatollah Ruhollah Khomeini di Jannat al-Zahra di Teheran. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Mulai berkuasa di tengah revolusi, posisi Ayatollah Ruhollah Khomeini tidak aman selama beberapa tahun pertama. Faktanya, ia menghadapi banyak upaya kudeta yang gagal dari para pemberontak yang tidak senang dengan pemerintahannya. Pada bulan Juli 1980, hampir 6 bulan setelah Khomeini mengkonsolidasikan pemerintahannya, upaya kudeta dipicu oleh kekuatan anti Khomeini di dalam militer Iran.

Pemerintah Khomeini ternyata mengetahui kudeta tersebut, menangkap, serta mengeksekusi banyak komplotan setelah kudeta tersebut gagal. Hampir tepat 2 tahun kemudian, pada Juni 1982, pemerintahan Khomeini mengumumkan bahwa Khomeini berhasil menggagalkan upaya kudeta lainnya. Menurut Nikki Keddie dalam buku Modern Iran: Roots and Results of Revolution (2003), upaya ini dilakukan oleh Sadegh Ghotbzadeh, tapi gagal total. Pemerintah Khomeini pun mengeksekusi Ghotbzadeh dan menjadikan beberapa musuh Khomeini lainnya sebagai tahanan rumah.

Meskipun tidak pernah membuahkan hasil, ada juga upaya kudeta yang hampir dilakukan oleh putra Syah Mohammad Reza Pahlavi dan pemerintah Israel di bawah menteri pertahanan Ariel Sharon pada 1982. Perwakilan dari putra Syah Mohammad Reza Pahlavi menghubungi Ariel Sharon.

Mereka membuat kesepakatan dan ingin menyelundupkan senjata untuk menyingkirkan Ayatollah Ruhollah Khomeini dari kekuasaan. Adnan Khashoggi, seorang pedagang senjata dari Arab Saudi, membantu dengan menggelontorkan dana sebesar 2 miliar dolar AS atau setara Rp31,8 triliun. Akan tetapi, kudeta tersebut tidak pernah terlaksana setelah pemerintah Israel menolak membantu.

7. Iran banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia atas kebijakan Ayatollah Ruhollah Khomeini

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Ruhollah Khomeini saat diwawancarai Orina Fallaci, seorang reporter dari Italia. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Salah satu alasan mengapa Ayatollah Ruhollah Khomeini dikenal sebagai salah satu pemimpin dunia paling terkenal dalam sejarah modern adalah, catatan buruknya yang berkaitan dengan hak asasi manusia di bawah pemerintahannya. Sebuah organisasi yang dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Iran pada masa pemerintahan Khomeini menemukan bahwa terjadi pelanggaran besar-besaran pada 1980-an, ketika pemerintah menyiksa atau membunuh lebih dari 20.000 warga Iran.

Meskipun semua itu bukan salah Ayatollah Ruhollah Khomeini sendiri, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa Revolusi Iran tahun 1979 menyebabkan 7.000 kematian, tulis laporan The New York Times. Pada 1988 saja, pihak berwenang membunuh 2.800 sampai 5.000 tahanan politik, seperti yang ditunjukkan Human Rights Watch. Khomeini sendirilah yang memberikan perintah eksekusi melalui fatwa (keputusan hukum agama) di masa pemerintahannya. 

Ayatollah Ruhollah Khomeini awalnya berjanji akan menghentikan penyiksaan dan korupsi yang meluas dalam rezim Syah Mohammad Reza Pahlavi jika ia berkuasa. Namun, pemerintahan Khomeini justru dianggap meneruskan penyiksaan yang masih berlanjut di Iran hingga saat ini.

8. Ayatollah Ruhollah Khomeini mendefinisikan ulang apa itu Islam Syiah melalui konsep yang dibuatnya

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialMehdi Bazargan, Perdana Menteri Iran Qajar bertemu dengan Ayatollah Ruhollah Khomeini di kediamannya, Qom pada Maret 1979. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Pada akhir 1979, Republik Islam Iran dibentuk di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Konstitusinya secara eksplisit mengabadikan peran Islam dalam pemerintahan melalui konsep velayet-e faqih atau Wilayat al-Faqih (perwalian ahli hukum Islam). Konsep velayet-e faqih memastikan bahwa Iran akan selalu diperintah sesuai dengan Islam Syiah oleh seorang ahli hukum agama.

Ayatollah Ruhollah Khomeini menerapkan konsep velayet-e faqih pada 1940-an. Ia memperluasnya secara signifikan selama masa pengasingannya di Irak, menurut Saïd Amir Arjomand dalam buku After Khomeini (2009). Velayet-e faqih adalah interpretasi yang sangat revolusioner terhadap Islam Syiah.

Penafsiran tradisional Islam Syiah menyatakan bahwa ulama Syiah, seperti ayatollah, adalah otoritas agama dan bukan otoritas politik. Namun, konsep velayet-e faqih justru sebaliknya, ulama dianggap mempunyai otoritas politik sebagai pemimpin. Ini berbeda dengan ajaran tradisional Syiah selama berabad-abad lamanya dan pertama kali diciptakan oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini. Sayangnya, gagasan velayet-e faqih dianggap radikal karena melemahkan konsep tradisional dalam Islam Syiah.

9. Ayatollah Ruhollah Khomeini mengutus penerusnya tapi kemudian menggantinya

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Agung Hussein Montazeri pada 1989 (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Ayatollah Ruhollah Khomeini menjadi guru besar yang terkenal bagi banyak mahasiswa muda Islam Syiah. Sebagaimana yang dijelaskan PBS, salah satu mahasiswa paling berpengaruh adalah Ayatollah Hussein Montazeri. Montazeri adalah pendukung besar Ayatollah Ruhollah Khomeini sejak Khomeini diasingkan dan ditangkap serta disiksa berkali-kali di Iran oleh polisi Syah Muhammad Reza Pahlavi karena protes politiknya.

Ayatollah Hussein Montazeri menjabat sebagai wakil di pemerintahan Iran pertama di bawah kekuasaan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Montazeri menjabat sebagai ketua Majelis Ahli Konstitusi—salah satu badan tertinggi di pemerintahan Iran. Pada 1985, Montazeri secara resmi diabadikan dalam hukum Iran sebagai penerus Khomeini setelah kematiannya. Namun, Montazeri mengkhianati Khomeini.

Salah satu bawahan Ayatollah Hussein Montazeri dinyatakan bersalah dan dieksekusi karena berkolusi dengan AS dan Israel. Dalam beberapa tahun kemudian, Montazeri mengkritik pemerintahan Khomeini. Jadi, pada 1988, setelah Ayatollah Ruhollah Khomeini memberikan pidato yang mengecamnya, Montazeri secara resmi dicopot dari jabatannya sebagai penerus Khomeini. Sebagai penggantinya, majlis Iran akhirnya menunjuk Ali Khamenei, yang akan menggantikan Khomeini setelah kematiannya pada 1989.

10. Ayatollah Ruhollah Khomeini membuat fatwa yang kontroversial untuk Salman Rushdie

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialSalman Rushdie di Pen America/Free Expression Literature, pada Mei 2014 (commons.wikimedia.org/Ed Lederman/PEN American Center)

Selama masa jabatannya sebagai pemimpin tertinggi Iran, salah satu momen paling kontroversial dari Ayatollah Ruhollah Khomeini adalah fatwanya (keputusan hukum agama) tentang Salman Rushdie. Pada saat itu, Salman Rushdie menerbitkan bukunya yang kontroversial, The Satanic Verses (1988). Menurut banyak pembaca, bukunya sangat menyinggung Islam.

Ayatollah Ruhollah Khomeini akhirnya mengeluarkan fatwanya pada Februari 1989. Fatwanya itu menghasut umat Islam di seluruh dunia untuk membunuh Salman Rushdie dan mengecam penerbitan buku atau perusahaan penerbitan, Viking Penguin. Khomeini juga mendorong para pendukungnya untuk membunuh Salman Rushdie sendiri atau menangkapnya dan membunuhnya lewat orang lain. Salman Rushdie, yang terlahir sebagai seorang Muslim, kecewa dengan keputusan tersebut dan menyangkal bahwa bukunya anti Islam.

Awalnya, beberapa penerjemah buku Salman Rushdie justru dibunuh pada awal 1990-an. Pada 1998, Presiden reformis Iran Mohammad Khatami menyebut bahwa fatwa tersebut tidak berlaku lagi. Namun, Pemimpin Tertinggi Iran saat ini, Ali Khamenei, mengatakan sebaliknya pada 2017. Ia menyatakan bahwa fatwa tersebut masih aktif.

Salman Rushdie mulai muncul di depan umum setelah deklarasi Mohammad Khatami pada 1998. Namun, pada Agustus 2022, ia ditikam oleh seorang pendukung Iran. Hal ini terjadi hanya beberapa hari setelah adanya postingan online dari pemerintah Iran, yang mengejek Salman Rushdie dan menerbitkan ulang teks fatwa tersebut.

11. Ayatollah Ruhollah Khomeini membenci sikap Presiden AS Jimmy Carter

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialSyah Mohammad Reza Pahlavi dan Presiden AS Jimmy Carter, pada 15 November 1977 (commons.wikimedia.org/Marion S. Trikosko)

Krisis Penyanderaan Iran pada 1979 sampai 1980 adalah salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah politik Amerika. Krisis ini dipicu oleh dua peristiwa yang saling terkait: Revolusi Iran dan masuknya Syah Mohammad Reza Pahlavi ke AS,  setelah ia didiagnosis mengidap kanker.

Di bawah tekanan yang sangat besar, Presiden AS Jimmy Carter mengizinkan Syah Mohammad Reza Pahlavi masuk ke AS agar dia bisa menjalani pengobatan untuk kankernya. Tindakan presiden AS ini pun membuat marah Ayatollah Ruhollah Khomeini dan sebagian besar masyarakat Iran. Pada bulan November 1979, sekelompok mahasiswa Iran yang memberontak menyerang dan menduduki kedutaan Amerika di Teheran, karena diterimanya Syah Mohammad Reza Pahlavi di Amerika.

Ayatollah Ruhollah Khomeini memberikan dukungannya kepada para mahasiswa tersebut. Khomeini kemudian menggunakan krisis tersebut untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan melemahkan pemerintah liberal Iran. Disisi lain, para mahasiswa menggeledah kedutaan Amerika di Teheran dan menemukan banyak dokumen yang memberatkan. Dokumen ini kemudian dirilis oleh pendukung Khomeini dalam upaya mendiskreditkan lawan politiknya.

Para mahasiswa Iran menyandera lebih dari 60 warga Amerika selama 444 hari hingga 21 Januari 1981, sebagaimana yang ditulis History. Jimmy Carter sendiri membentuk misi penyelamatan untuk membebaskan para sandera pada 1980, yang dikenal sebagai Operasi Cakar Elang. Namun, misi penyelamatan ini berakhir dengan bencana karena delapan orang Amerika tewas sebelum misi dapat dimulai. Para sandera baru dibebaskan setelah Ronald Reagan dilantik menjadi presiden AS.

12. Masa pemerintahan Ayatollah Ruhollah Khomeini dihabiskan dengan peperangan

Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang KontroversialAyatollah Ruhollah Khomeini di atap kediamannya, di Qom (commons.wikimedia.org/Unknown photographer)

Ayatollah Ruhollah Khomeini mendirikan Republik Islam Iran di tengah revolusi berdarah dan penuh gejolak. Situasi di Iran pun tidak menjadi lebih damai sejak saat itu. Turun takhtanya Syah Mohammad Reza Pahlavi dan kenaikan Ayatollah Ruhollah Khomeini ke tampuk kekuasaan, membawa Iran ke dalam konflik dengan tetangganya di barat, Irak. Perang pun pecah pada September 1980, ketika Saddam Hussein melancarkan serangan dan menyerbu perbatasan Iran.

Saddam Hussein ingin perang ini terjadi secara singkat, tapi justru berubah menjadi konflik yang memakan waktu hampir satu dekade lamanya. Konflik ini penuh dengan gesekan, pertumpahan darah, dan kematian. Alih-alih rakyat Iran akan memberontak melawan Ayatollah Ruhollah Khomeini dan pemerintahan barunya, seperti yang dimaksudkan Saddam Hussein, rakyat Iran justru mendukung Khomeini dalam perang melawan Irak. Di samping itu, AS mendukung Irak secara finansial dan militer selama sebagian besar perang tersebut, tetapi Pemerintahan Ronald Reagan juga menjual senjata ke Iran selama perang, lapor Politico.

Perang akhirnya berakhir pada 1988, ketika Saddam Hussein menggunakan gas beracun terhadap orang-orang Kurdi di Irak utara, yang menewaskan 5.000 orang. Sebelumnya, Khomeini berjanji tidak akan pernah mencapai kesepakatan dengan Hussein, namun ia mengalah setelah hampir satu dekade berperang. Ayatollah Ruhollah Khomeini meninggal pada Juni 1989, setelah delapan dari 10 tahun masa jabatannya dihabiskan dengan peperangan.

Pemerintahan Ayatollah Agung Ruhollah Khomeini memanglah sangat kontroversial. Namun, kebijakannya itu dibuat untuk membentengi Iran dari campur tangan Amerika Serikat atau negara Barat. Semata-mata karena Khomeini sangat menjunjung tinggi ajaran Islam.

Baca Juga: Tradisi Lebaran Ketupat, Begini Sejarah dan Maknanya

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya