Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionis

Berontak dari perbudakan dan menjadi reformis kulit hitam

Ada seorang laki-laki yang paling disorot pada abad ke-19. Ia menghabiskan 20 tahun pertama hidupnya sebagai budak. Namun, dia sangat mendambakan kebebasan. Setelah melarikan diri dari perbudakan pada 1838, Frederick Douglass menjadi salah satu abolisionis paling terkenal di Amerika Serikat. Dia menggerakkan massa untuk mengakhiri perbudakan lewat pidato-pidatonya yang begitu berapi-api dan lugas. Orang-orang kulit putih pun sampai dibuat heran, apakah dia benar-benar seorang budak.

Untuk membungkam orang-orang kulit putih dan menyebarkan pesannya lebih jauh, Frederick Douglass menerbitkan tiga autobiografinya: Narrative of the Life of Frederick Douglass (1845), My Bondage and My Freedom (1855) dan Life and Times of Frederick Douglass (1892). Ia juga mendirikan surat kabarnya sendiri, The North Star. Surat kabar ini Douglass terbitkan untuk mengajak orang kulit hitam menulis dan menerbitkan kisah mereka sendiri, ketimbang mengandalkan surat kabar milik orang kulit putih, seperti The Liberator karya William Lloyd Garrison.

Berikut ini adalah kisah Frederick Douglass, orang yang menolak salah satu institusi paling kejam dalam sejarah Amerika. Ia juga berjuang untuk menyelamatkan orang lain dari cengkeraman suatu sistem perbudakan. 

Baca Juga: 8 Orang Kulit Hitam Terkaya di Dunia Versi Forbes 2024

1. Frederick Douglass diasuh kakek-neneknya, sedangkan ibunya adalah seorang budak

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi Frederick Douglass saat diasuh bersama neneknya dalam buku Life and times of Frederick Douglass (commons.wikimedia.org/Frederick Douglass)

Douglass lahir di desa Tuckahoe. Dalam buku yang dia tulis, My Bondage and My Freedom, desa tempat kelahirannya ini terpencil dan tidak menjanjikan. Desa Tuckahoe ini berada di Talbot County, Maryland, yang juga sering dilanda kelaparan.

Douglass sendiri tidak tahu tanggal lahirnya. Dia hanya bisa menebak. Tanggal lahirnya itu antara bulan Februari 1817 atau 1818. Dia pun merayakan ulang tahunnya pada Hari Valentine, 14 Februari. Pasalnya, saat itu banyak pemilik budak yang tidak mau mencatat latar belakang keluarga para budak. Di sisi lain, para budak tidak bisa membaca, menulis, atau menghitung bulan dan membuat mereka tidak tahu caranya mencatat tanggal lahir atau catatan penting lainnya.

Frederick Douglass juga tidak tahu siapa ayahnya. Beredar kabar bahwa ayahnya berkulit putih. Nama ayahnya kemungkinan adalah Kapten Anthony, pemilik budak yang memperbudak ibu Douglass.

Selama tujuh tahun pertama hidupnya, Douglass dibesarkan oleh kakek-neneknya dari pihak ibu, yang bernama Betsey dan Isaac Bailey. Meskipun Isaac adalah orang yang bebas, tapi Betsey adalah seorang perempuan yang diperbudak sekaligus sangat dihormati di wilayah tersebut. Betsey dipandang karena keterampilannya dalam merawat keluarga, memancing, berkebun, serta merawat anak-anak terlantar yang orangtuanya telah diusir.

Ibu Douglass yang bernama Harriet adalah salah satunya. Harriet "disewa" dan dikirim oleh Kapten Anthony untuk bekerja di perkebunan lain yang berjarak 20 kilometer jauhnya. Jika ada kesempatan, Harriet akan berjalan kaki untuk mengunjungi Frederick Douglass, tetapi Harriet harus tiba di ladang tepat waktu agar pemilik budaknya tidak marah.

Douglass sendiri hanya beberapa kali melihat ibunya dalam hidupnya. Namun, Douglass sangat ingat penampilan ibunya. Hal ini dituangkannya dalam buku Life and Times of Frederick Douglass (1881). Douglass menulis bahwa ibunya itu tinggi, berkulit gelap, dan satu hal yang penting, bermartabat.

2. Frederick Douglass menyaksikan kebrutalan perbudakan di usia yang masih sangat kecil

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi Frederick Douglass kecil saat menyaksikan seorang budak dicambuk dalam buku Life and times of Frederick Douglass (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images/Frederick Douglass)

Frederick Douglass sangat kagum dengan neneknya, Betsey, yang melindunginya dari perbudakan ketika ia masih kecil. "Saya mengetahui banyak hal lain sebelum saya menyadarinya," tulis Frederick Douglass di buku My Bondage and My Freedom (1855). Mereka tinggal di rumah kayu dan jauh dari perkebunan utama.

Akan tetapi, saat Douglass berusia 7 tahun, Betsey terpaksa membawa cucunya itu untuk bergabung dengan budak lain yang bekerja di perkebunan. Ini menjadi kali pertama dimana Douglass mengetahui bagaimana rasanya diperbudak. Bersama anak-anak lainnya, dia tinggal bersama seorang budak perempuan bernama Bibi Katy.

Sayangnya, Bibi Katy ini miskin dan sering memukuli anak-anaknya. Douglass sendiri pernah berebut makanan dengan anjing milik Bibi Katy. Orang-orang yang diperbudak hanya dikasih sedikit pakaian untuk menutupi tubuh mereka. Anak-anak bahkan tidak diberi selimut untuk tidur.

Selain ketidakadilan ini, di perkebunan itulah Douglass pertama kali menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh pemilik budak dan para pengawas. Douglass pernah melihat Kapten Anthony sedang mencambuki Esther, bibi Douglass, karena Anthony marah saat mengetahui Esther memiliki hubungan dengan seorang budak bernama Edward.

Douglass juga mendengar kabar bahwa seorang pengawas bernama Gore, menembak wajah seorang budak bernama Denby, karena bersikeras tidak mau dicambuk. Seperti yang dikatakannya, ini hanyalah dua contoh kekerasan yang masih dilegalkan dalam perbudakan.

3. Frederick Douglass bertekad untuk belajar membaca dan menulis

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi Frederick Douglass kecil diajari membaca oleh Sophia Auld dalam buku Life and times of Frederick Douglass (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images/Frederick Douglass)

Di usia sekitar sembilan tahun, Frederick Douglass tinggal di Baltimore bersama Hugh dan Sophia Auld, serta putra kecil mereka yang bernama Tommy. Hugh adalah saudara laki-laki Thomas Auld, dan juga saudara ipar Kapten Anthony. Di awal-awal, Douglass diperlakukan dengan baik. Sophia sendiri tidak pernah memiliki budak. Itu mengapa, Sophia menganggap Douglass sebagai seorang anak dan bukan sebagai barang dagangan. Hal ini jauh berbeda dengan Anthony.

Di rumah ini, Douglass diperlakukan dengan cukup baik. Dia diberikan cukup makanan dan tempat tidur yang nyaman. Sophia juga mengajari Douglass membaca. Karena hal ini, suaminya sampai marah-marah kepadanya. Kata suaminya, mengajari seorang budak membaca bisa membuatnya menjadi pemberontak dan mengerti akan kebebasan.

Douglass yang mendengar hal ini akhirnya mengerti bahwa belajar itu sangatlah penting. Sophia sendiri tak kehabisan akal. Walaupun suaminya melarangnya mengajari Douglass, tapi Sophia meminta anak laki-laki kulit putih yang berteman dengan Douglass untuk mengajari Douglass membaca dan menulis. Setelah Tommy mulai bersekolah, Douglass pun meminjam buku pelajaran Tommy dan menyalin tulisan-tulisannya.

Karena bisa membaca, Douglass lebih mudah mengakses buku dan surat kabar yang mengkritik ketidakmanusiawian perbudakan. Dia pun menyetujui hal itu, yang memang sudah dia ketahui sejak masih kecil. Ketika Douglass dikirim kembali ke Talbot County, dia mengajarkan membaca dan menulis ke budak-budak lain.

4. Frederick Douglass sempat menentang ajaran gereja

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionispotret Frederick Douglass saat masih muda (commons.wikimedia.org/J.C. Buttre)

Saat tinggal di Baltimore dan membaca berita tentang banyaknya perbudakan, Frederick Douglass kepikiran dan akhirnya depresi. Dia mengira bahwa hidupnya tidak akan pernah bebas. Sementara itu ada Charles Lawson, seorang laki-laki kulit hitam yang tinggal di dekatnya, dan mengajarinya tentang agama Kristen. Disisi lain, Douglass membantu Lawson meningkatkan kemampuan membacanya.

“Dia adalah ayah spiritual saya dan saya sangat mencintainya. Dia mengobarkan kecintaan saya pada pengetahuan dengan meyakinkan saya bahwa saya akan menjadi orang yang berguna di dunia,” tulis Douglass dalam buku Life and Times of Frederick Douglass (1881).

Sayangnya, Hugh Auld melarangnya bertemu Lawson. Hal itu semakin memotivasi Douglass untuk melarikan diri. Di samping itu, Douglass juga benci kemunafikan yang dia saksikan. Orang-orang yang mengaku menyembah Tuhan, tapi malah memperbudak manusia lain.

Frederick Douglass juga kesal dengan budaya rasis yang dia lihat di gereja-gereja di Utara. Dua orang laki-laki jahat yang ia temui, Thomas Auld dan Edward Covey, dikenal oleh orang-orang kulit putih sebagai pengunjung gereja yang taat dan saleh. Anehnya, banyak orang Kristen menggunakan Alkitab untuk membenarkan perbudakan dan mengajarkan kepada orang-orang yang mereka perbudak bahwa inilah (perbudakan) yang diinginkan Tuhan. Siapapun yang menoleransi perbudakan, mereka akan mendapat pahala di surga.

Frederick Douglass sendiri berpendapat bahwa Tuhan itu baik. Oleh karena itu, dia tidak setuju dengan perbudakan. Imannya pun sempat goyah di momen-momen tergelap dalam hidupnya. Namun, pada akhirnya, Douglass masih meyakini bahwa Tuhan itu Maha Adil.

5. Frederick Douglass mendapatkan kekerasan fisik dan berhasil melawan balik

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi para budak yang melawan orang-orang kulit putihdalam buku Life and times of Frederick Douglass (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images/Frederick Douglass)

Pada 1833, saat Frederick Douglass berusia sekitar 15 atau 16 tahun, dia dikirim ke selatan dari Baltimore ke St. Michael's di Talbot County untuk tinggal bersama Thomas Auld. Ia memiliki hak atas Douglass setelah Kapten Anthony dan putrinya, pemegang sah hak asuh Douglass, meninggal dunia.

Di sisi lain, Thomas Auld sudah mengetahui apa yang terjadi di pertanian. Auld pun membiarkan para budak kelaparan dan memukuli budak-budak di pertaniannya. Auld mengancam akan membunuh Frederick Douglass karena mengajarkan para budak membaca di sekolah Mingguan.

Di momen ini, Douglass melakukan pemberontakan melawan perbudakan dan dia membenci kekerasan yang dilakukan Auld. Namun, Auld mengirimnya untuk tinggal bersama Edward Covey selama setahun. Covey pun memaksa Douglass bekerja sampai kelelahan, dengan sedikit tidur atau kurang makan, dan memukulinya dengan kejam.

"Tuan Covey berhasil menghancurkan saya secara fisik, jiwa, dan kecerdasan. Saya merana, kecenderungan untuk membaca hilang. Malam gelap perbudakan menyelimuti saya, dan lihatlah seorang pria berubah karena orang yang kasar!" tulis Frederick Douglass.

Saat Covey memukulinya habis-habisan, Douglass memutuskan untuk melawan. Covey yang mencoba untuk mengalahkannya lagi, tetapi dibalas oleh Douglass. Lalu setelah beberapa jam, Covey akhirnya menyerah. Covey tidak pernah mengusik apalagi melakukan kekerasan kepada Douglass lagi. Ini pun menjadi momen penting bagi Douglass.

“Setelah melawan Covey, saya merasakan hal yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Itu adalah kebangkitan dari kubur perbudakan yang gelap dan penuh noda, menuju surga kebebasan komparatif,” tulisnya dalam Life and Times of Frederick Douglass (1881).

6. Frederick Douglass berencana melarikan diri bersama budak lainnya

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionispotret Frederick Douglass, Menteri Residen Amerika Serikat di Haiti, dan penulis autobiografi terkenal "A Narrative of the Life of Frederick Douglass, an American Slave" (commons.wikimedia.org/Met Museum)

Menurut Frederick Douglass, banyak budak yang sudah tidak sanggup dengan penderitaan yang mereka alami. Akan tetapi, satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan hanyalah pasrah dengan kondisi mereka. Tak ada sedikit pun yang terlintas untuk melarikan diri. Berbeda dengan Douglass, sejak kecil, dia memahami bahwa perbudakan itu salah dan ingin sekali bebas.

Bukan masalah diperlakukan tidak adil atau penuh dengan kekerasan, intinya, Douglass sangat membenci perbudakan itu sendiri. Dia membenci prinsip bahwa seseorang bisa mengontrol manusia lainnya adalah salah. Terlepas dari seberapa murah hatinya pemilik budak.

Saat Douglass tinggal bersama Covey, Douglass sudah putus asa duluan untuk mencoba melarikan diri. Namun, ketika dia dikirim untuk tinggal bersama William Freeland yang cukup baik hati pada tahun 1835, Douglass mampu pulih secara fisik dan mental untuk melancarkan upaya pelarian pertamanya.

Pada 1836, ketika Douglass berusia 18 atau 19 tahun, Douglass dan lima laki-laki lainnya berencana melarikan diri dengan mendayung kano sejauh 112 kilometer dari St. Michael's di tenggara Maryland ke utara Baltimore di barat laut. Perjalanan air ini menjadi perjalanan yang sangat berbahaya. Namun, Douglass dan rekan-rekannya tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya.

Salah satu rekannya mengkhianati kelompok tersebut karena membocorkan rencana itu. Akibatnya, lima orang lainnya ditangkap dan dipenjarakan. Thomas Auld mengancam akan mengirim Douglass ke Ujung Selatan, tempat paling sulit untuk melarikan diri. Namun karena alasan tertentu, Auld akhirnya mengirim Douglass kembali ke saudaranya, Hugh Auld, di Baltimore.

Baca Juga: 5 Tokoh Aktivis Kulit Hitam Abad Ke-20 yang Mengubah Pandangan Dunia

7. Frederick Douglass dan pelariannya

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi Frederick Douglass meyakinkan petugas kapal dalam pelariannya dalam buku Life and times of Frederick Douglass (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images/Frederick Douglass)

Dalam dua autobiografi pertamanya, Frederick Douglass tidak menceritakan bagaimana dia bisa lolos dari perbudakan. Douglass khawatir orang-orang yang diperbudak lainnya akan lebih mungkin ditangkap jika dia memberitahu caranya. Namun, dalam buku Life and Times of Frederick Douglass  yang diterbitkan setelah perbudakan berakhir secara hukum, Douglass akhirnya membocorkan rencananya yang cerdas dan berani.

Saat berada di Baltimore, Douglass belajar mendempul dan membuat kapal kedap air, karena berteman dengan beberapa pelaut kulit hitam. Dia berhasil menghemat uang dari pekerjaannya sebagai budak. Dia juga mendapat bantuan uang dari tunangan barunya, Anna Murray, seorang perempuan kulit hitam yang bebas.

Pada 1838, salah satu teman Frederick Douglass meminjamkannya dokumen seorang pelaut. Dalam dokumen itu tertulis bahwa dia adalah seorang pelaut bebas dan bisa untuk bepergian. Sebagaimana yang dijelaskan Majalah Smithsonian, Anna Murray menjahit pakaian pelaut untuk Douglass.

Lalu, Frederick Douglass naik kereta ke Philadelphia. Douglass bahkan harus naik beberapa kereta dan perahu untuk mencapai Utara. Dia juga harus meyakinkan banyak petugas bahwa dia adalah orang bebas, bukan seorang budak. Setelah mencapai Philadelphia, Douglass melanjutkan perjalanan ke New York dan tiba pada 3 September 1838.

"Saya telah menyeret rantai berat yang tidak dapat dipatahkan oleh kekuatan saya sendiri. Rantai saya putus, dan kemenangan membawa kegembiraan yang tak terkatakan," tulis Douglass dalam Life and Times of Frederick Douglass.

8. Kebebasan bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan Frederick Douglass

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi Frederick Douglass di sebuah kapal dalam buku Life and times of Frederick Douglass (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images/Frederick Douglass)

Meskipun Frederick Douglass sangat gembira bisa bebas, tapi beberapa minggu pertamanya di New York sangatlah sulit. Di kota ini, Douglass sering diancam akan diculik oleh para penangkap budak dan diseret kembali ke Thomas Auld atau dijual kepada orang lain. Seorang kenalan yang ditemui Douglass, yang juga sedang dalam pelarian, memperingatkannya untuk tidak pergi ke dermaga atau tempat kos-kosan, karena di sanalah ada orang-orang yang akan mencarinya.

Untungnya, suatu malam Douglass bertemu dengan seorang pelaut yang membawanya ke rumah abolisionis terkenal di New York, David Ruggles. Ruggles membantu Douglass membuat rencana untuk pindah ke New Bedford, Massachusetts. Di tempat itu, Douglass mungkin bisa mendapatkan pekerjaan untuk mendempul kapal penangkap ikan paus. Selain itu, orang-orang di sana, baik berkulit hitam atau putih, akan melindunginya dari penangkap budak. Ruggles juga menikahkan Douglass dengan Anna Murray.

Frederick Douglass akhirnya menghabiskan 3 tahun pertamanya di New Bedford sebagai pekerja kasar. Sementara itu, Anna Murray bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun begitu, mereka adalah orang yang bebas.

“Kesadaran bahwa saya sudah bebas, bukan lagi seorang budak, membuat saya tetap ceria di bawah larangan ini dan banyak larangan serupa yang ditakdirkan untuk saya temui di New Bedford,” tulis Douglass.

9. Frederick Douglass menjadi kekuatan utama dalam gerakan abolisionis

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionisilustrasi warga datang memberikan penghormatan kepada Marsekal Frederick Douglass, di kantornya di Balai Kota (commons.wikimedia.org/Fine Art America/Unknown author)

Saat ini, Frederick Douglass terkenal berkat karyanya dalam gerakan abolisionis. Douglass pertama kali mendengar tentang abolisionis ketika diperbudak di Baltimore. Dan bisa berpartisipasi dalam gerakan abolisionis saat tinggal di New Bedford. Douglass juga berlangganan surat kabar abolisionis dari William Lloyd Garrison, The Liberator, dan menghadiri seminar anti-perbudakan di kota tersebut.

Pada 1841, William Lloyd Garrison menjadi tuan rumah konvensi di Nantucket. Sementara itu, Aktivis Abolisionis, William C. Coffin, meminta Douglass untuk menjadi pembicara di konvensi tersebut terkait pengalamannya yang pernah diperbudak. Douglass sendiri tidak percaya diri dengan pidatonya, tetapi pidatonya berdampak cukup besar bagi banyak orang. 

Frederick Douglass pun akhirnya direkrut untuk bergabung dengan Masyarakat Anti-Perbudakan Massachusetts. Douglass berkeliling negeri untuk menjadi pembicara terkait isu kejahatan perbudakan. Douglass sangat pandai berbicara di depan umum, membuat beberapa penonton kulit putih tidak percaya bahwa Douglass pernah menjadi budak. Disamping itu, Douglass mulai menulis autobiografinya yang pertama, Narrative of the Life of Frederick Douglass, untuk mendukung kisahnya.

Karena sering berbicara di depan umum, keselamatan Frederick Douglass pun dipertaruhkan. Dia sering diancam akan diculik dan dibawa kembali ke Auld. Narrative of the Life of Frederick Douglass pun menjadi buku terlaris kala itu. Akibatnya, nyawa Douglass semakin terancam.

Douglass akhirnya pindah ke Inggris dan kembali menjadi pembicara di banyak tempat di Inggris terkait isu perbudakan di Amerika. Saat berada di Inggris, beberapa temannya mengumpulkan uang mereka dan membeli kebebasan untuk Douglass. Meskipun beberapa temannya yang lain memandang ini sebagai dukungan terhadap perbudakan, tetapi Douglass menerimanya dan tetap bersyukur. Dia menggambarkan kisah ini dalam buku My Bondage sebagai gantinya.

10. Pernikahan kedua Frederick Douglass menuai skandal

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionispotret Frederick Douglass bersama istri keduanya, Helen Pitts, dan saudara perempuan Pitts yang bernama Eva (commons.wikimedia.org/National Park Service/Unknown author)

Frederick Douglass menikah dengan Anna Murray selama 44 tahun, sampai Douglass meninggal di usia 69 tahun pada 1882. Murray merawat kelima anak mereka sendirian karena Douglass sering bepergian. Murray juga harus menghidupi anak-anaknya dengan bekerja memperbaiki sepatu.

Anna Murray sendiri tidak pernah belajar membaca atau menulis. Dia juga merasa tidak cocok sekaligus tidak percaya diri dengan teman-teman Douglass yang terbilang orang-orang intelektual. Namun, dia tetap bekerja bersama suaminya dalam gerakan penghapusan perbudakan.

Di rumah mereka, Anna Murray menampung para budak yang melarikan diri dalam aksi Underground Railroad (kelompok yang menyelamatkan para budak yang melarikan diri lewat kereta api bawah tanah), serta berbagai abolisionis, termasuk perempuan yang dituduh berselingkuh dengan Frederick Douglass. Pasangan ini juga kehilangan satu anak mereka pada 1872. Saat itu, rumah mereka di Rochester, New York, dibakar.

Pada 1855, Frederick Douglass bertemu dengan jurnalis kulit putih Jerman bernama Ottilie Assing. Keduanya berselingkuh dengan saling bertukar surat. Sayangnya, Assing bunuh diri pada bulan Agustus 1884. Beberapa orang menyalahkan Douglass atas kematian Assing.

Pada bulan Januari 1884, Douglass menikah lagi dengan perempuan lain bernama Helen Pitts. Seorang abolisionis kelahiran New York, 20 tahun lebih muda dari Douglass. Namun, ini bukan masalah usia, melainkan karena Pitts adalah orang berkulit putih.

Orang tua Helen Pitts memang pendukung abolisionis, tetapi keduanya tidak merestui hubungan mereka. Beberapa teman Douglass juga menentang hubungan tersebut. Mereka menganggap bahwa Douglass telah mengkhianati Murray dan perempuan kulit hitam lainnya.

Setelah Frederick Douglass meninggal pada 1895, Pitts mengumpulkan dana untuk mengubah tanah miliknya menjadi tugu peringatan kematian Douglass. Pitts bahkan meyakinkan Kongres untuk mengesahkan undang-undang yang membentuk Asosiasi Memorial dan Sejarah Frederick Douglass.

11. Frederick Douglass mendukung hak-hak perempuan

Frederick Douglass, Mantan Budak Pemimpin Gerakan Abolisionispotret Frederick Douglass dan teman-temannya pada 24 September 1894 (commons.wikimedia.org/Luke C. Dillon)

Ada perempuan kulit hitam yang menjadi pemimpin dalam gerakan penghapusan perbudakan. Mereka adalah Sojourner Truth dan Harriet Tubman. Ada pula perempuan kulit hitam yang mempertaruhkan hidup mereka demi kebebasan budak seperti Harriet Jacobs (yang menulis narasinya sendiri), Charlotte Forten Grimké, dan Ellen Craft. Ada juga perempuan kulit putih yang berkampanye untuk mengakhiri perbudakan, di antaranya Susan B Anthony dan Elizabeth Cady Stanton, yang terkenal dengan kampanye hak pilih perempuan mereka.

Bertemu dengan banyak perempuan cerdas mengilhami Frederick Douglass untuk mendukung hak-hak perempuan. Dan dia adalah salah satu dari sedikit laki-laki yang mendukung hal tersebut. Dalam buku Life and Times of Frederick Douglass (1881), dia menulis bahwa dia menganut hak-hak perempuan.

Namun, setelah perbudakan dihapuskan, Douglass dan para feminis memiliki perbedaan pandangan. Susan B Anthony dan Elizabeth Cady Stanton ingin mencapai hak pilih bagi perempuan dan laki-laki kulit hitam. Sementara itu, Douglass merasa laki-laki kulit hitam lebih pantas mendapatkan hak pilih mereka. Terlepas dari perbedaan pendapat ini, Douglass terus memperjuangkan hak perempuan. Pidato terakhir yang disampaikan Douglass terjadi beberapa jam sebelum dia meninggal, yakni pada 20 Februari 1895 di pertemuan Dewan Nasional Perempuan.

Dari seorang budak, Frederick Douglass mampu menjadi pahlawan intelektual, abolisionis hingga menjadi diplomat di bawah banyak presiden. Bahkan setelah perbudakan dihapuskan, ia masih memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam yang kini sudah bebas, berkampanye menentang hukuman mati tanpa pengadilan dan menuntut hak pilih. Meskipun kehidupan pribadinya masih memiliki skandal, tetapi jasa Frederick Douglass bagi pembebasan para budak, mampu dikenang hingga hari ini.

Baca Juga: 8 Tokoh Muslim Kulit Hitam yang Berpengaruh di Amerika Serikat

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya