Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusia

Tikus yang kebal racun hingga gajah yang tak memiliki gading

Dunia ini keras dan setiap makhluk hidup harus memiliki cara terbaik untuk bertahan hidup. Itu sebabnya, adaptasi terjadi karena suatu alasan. Tentu saja, ada kalanya evolusi menjadi berantakan dan menghasilkan anak-anak hibrida yang aneh, seperti mamalia berparuh bebek, berbisa, dan bertelur yang dinamakan platipus.

Namun, biasanya, hewan berevolusi bukan karena mereka mencoba mengikuti tren, melainkan karena adaptasi genetik yang merupakan metode kelangsungan hidup pragmatis bagi spesies mana pun yang ingin terus berkembang biak. Kita sebagai manusia mungkin tampak bersahabat dengan hewan. Namun, ada satu fakta yang membuktikan betapa merusaknya peran kita sebagai makhluk hidup di Bumi: hewan-hewan ini telah beradaptasi semata-mata karena tindakan manusia yang sangat merusak bagi lingkungan dan makhluk hidup lain.

1. Tikus super yang kebal terhadap racun

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiailustrasi tikus (unsplash.com/Joshua J. Cotten)

Beberapa orang menjadikan tikus sebagai hewan peliharaan. Akan tetapi, kebanyakan orang menganggap hewan kecil ini sebagai hama yang sangat mengganggu. Tahukah kamu bahwa di Eropa, tikus kini kebal terhadap racun, lho. Hah, kok bisa?

Tikus "super" ini adalah tikus Jerman dan Spanyol yang berkembang biak dengan spesies tikus Aljazair selama lebih dari 1 juta tahun yang lalu. Tikus berkekuatan super ini dihasilkan dari proses spesiasi hibrida (umumnya ditemukan pada tumbuhan dan bakteri). Biasanya, perkawinan ini menghasilkan keturunan yang mandul, tetapi tikus ini justru menghasilkan populasi baru yang kebal dari racun yang dulunya bisa membunuh mereka, sebagaimana yang dijelaskan BBC .

Racun spesifik yang dulu digunakan untuk menyerang tikus ini adalah warfarin, sebagai antikoagulan yang menyebabkan pendarahan fatal dalam dosis berlebihan. Warfarin diperkenalkan sebagai pembasmi hewan pengerat pada 1950-an dan telah terbukti efektif hingga saat ini. Namun, tikus Jerman dan Spanyol justru mengatasi ancaman tersebut melalui perkawinan silang dengan tikus Aljazair, yang akhirnya tahan terhadap jenis racun pembasmi hewan pengerat tersebut.

2. Perburuan gading gajah menciptakan gajah tanpa gading

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiailustrasi ibu dan anak gajah (unsplash.com/Lisette Verwoerd)

Tidak ada yang seindah dan seanggun gading besar gajah Afrika. Sayangnya, pemburuan liar mengakibatkan semakin banyak gajah Afrika yang dilahirkan tanpa gading. Pada masa lalu, gajah dengan gading yang menakutkan cenderung hidup lebih lama, dapat mempertahankan diri dengan lebih baik, dan yang paling penting bisa menarik lebih banyak pasangan.

Namun, karena banyaknya permintaan gading ilegal, gajah yang mempunyai gading besar biasanya akan menjadi sasaran buruan. Artinya, gajah bergading besar tidak berumur panjang dan tidak mempunyai kesempatan untuk bereproduksi. Sementara itu, gajah-gajah kecil yang tidak memiliki gading tidak akan menjadi sasaran buruan. Gajah yang tidak memiliki gading ini pun hidup lebih lama dan memiliki lebih banyak anak. Fenomena ini menghasilkan lebih banyak gajah yang juga tidak memiliki gading.

Dilansir laporan The Independent, diperkirakan di beberapa lokasi, hingga 98 persen gajah betina kini dilahirkan tanpa gading, jumlah yang biasanya hanya berkisar antara 2 sampai 6 persen dalam sejarah. Sayangnya, tidak adanya gading justru menghambat gajah dalam banyak hal. Itu karena gading digunakan untuk menggali, makan, dan melakukan aktivitas gajah lainnya.

3. Ngengat yang berubah warna karena pengaruh polusi udara

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiangengat (Biston betularia) (commons.wikimedia.org/gailhampshire)

Di Inggris kuno, Biston betularia (ngengat berbintik) adalah spesies yang bertahan hidup dengan berkamuflase. Sayap putihnya yang berbintik-bintik berpadu dengan pohon birch putih yang ditutupi lumut. Namun, saat Revolusi Industri datang, semua polusi itu membuat pepohonan menjadi hitam karena jelaga. Hal ini membuat ngengat putih malang itu mudah terlihat oleh burung yang sedang mencari mangsa.

Lalu, apa yang dilakukan ngengat tersebut? Ya, mereka beradaptasi dengan berubah dari putih menjadi hitam. Akhirnya, muncullah ngengat yang memiliki warna putih dan hitam. Meskipun ngengat putih merupakan jenis yang dominan, industri yang kian banyak dan meningkatkan polusi menyebabkan semua ngengat putih dimakan. Dengan begitu, ngengat hitam yang tadinya inferior (lebih minim) mengambil alih kedudukan ngengat putih.

Fakta ini telah menjadi diskusi menarik di kalangan penggemar Darwin. Hal ini membuktikan bahwa seleksi alam yang terjadi pada masa kini itu nyata adanya. The Conversation melaporkan bahwa setelah Inggris melakukan upaya besar untuk membersihkan polusi udara, pepohonan, dan lingkungan pada 1900-an, ngengat putih kembali berkembang biak. 

4. Kutu busuk yang kebal terhadap racun pestisida

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan ManusiaKutu busuk (Cimex lectularius) sedang mengisap darah dari lengan manusia dalam sebuah percobaan. (commons.wikimedia.org/Piotr Naskrecki)

Kutu busuk adalah contoh lain hewan yang berevolusi untuk mempertahankan diri dari serangan manusia. Kutu busuk dikenal suka menghisap darah manusia dan merusak kehidupan. Dilansir laman UC Museum of Paleontology Understanding Evolution, hewan yang suka tinggal di kasur ini sempat menghilang pada pertengahan abad ke-20 akibat munculnya pestisida beracun, seperti DDT.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kutu busuk muncul kembali dengan lebih kuat. Kutu busuk telah berevolusi menjadi serangga yang kebal terhadap pestisida DDT. Manusia sudah lama mencoba membunuh kutu busuk sehingga serangga ini menemukan cara untuk berevolusi dengan adaptasi terbaiknya.

Menariknya, kutu busuk diyakini telah berevolusi bersama manusia sejak awal mula manusia hidup. Kutu busuk awalnya menghisap darah kelelawar. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyerang manusia. Sejak saat itu, mulai dari siklus tidur hingga umur rata-rata kutu busuk berevolusi seiring dengan perkembangan manusia.

5. Ikan Atlantic tomcod yang mampu beradaptasi di sungai yang terkena limbah beracun

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiailustrasi ikan Atlantic tomcod (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Sungai Hudson yang berada di New York, Amerika, sudah tercemar limbah beracun dari sebuah perusahaan bernama General Electric selama sekitar 3 dekade lamanya. Limbah beracun itu terdiri dari bifenil poliklorinasi (PCB). Menurut United States Environmental Protection Agency (EPA), PCB tidak terdegradasi dan pembuangan limbah ini mencemari seluruh bentangan Sungai Hudson sepanjang 200 mil (322 km).

Namun, karena polusi, ikan kod yang disebut Atlantic tomcod ini berevolusi dan berkembang biak untuk bertahan hidup di perairan yang terkontaminasi PCB. Ini adalah contoh evolusi yang bisa dibilang cukup cepat mengingat PCB sangat buruk bagi makhluk hidup. Sebagian besar embrio ikan yang terkena PCB memiliki masalah jantung yang parah.

Namun, Atlantic tomcod ini memiliki rangkaian gen yang bermutasi dan memungkinkannya berevolusi untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang keras. Akan tetapi, meskipun ikan-ikan ini berevolusi untuk bertahan hidup di perairan beracun, upaya untuk membersihkan Sungai Hudson justru membuat ikan-ikan ini dalam posisi yang sulit. Fisiologi mereka yang sudah berevolusi mungkin tidak akan berfungsi dengan baik di perairan yang lebih bersih.

Baca Juga: 5 Hewan Paling Ditakuti di Mesir, Dapat Membunuh!

6. Warna bulu burung hantu yang berubah karena perubahan iklim

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiailustrasi dua burung hantu kuning kecokelatan (pexels.com/Pixabay)

Pada iklim bersalju dan dingin di Skandinavia, burung hantu kuning kecokelatan memiliki bulu putih abu-abu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan bersalju. Warna ini juga memudahkan mereka untuk mengincar mangsa yang tidak menaruh curiga. Itu karena mereka tidak terlihat. Warna bulu burung hantu kuning kecokelatan bersifat turun-temurun. Gen tersebut tidak berubah selama masa hidupnya. Umumnya, ketika burung hantu cokelat dan burung hantu abu-abu berkembang biak, gen abu-abu terbukti lebih dominan.

Lalu, ketika perubahan iklim semakin parah, musim dingin di utara Skandinavia menjadi lebih hangat dan jarang turun salju. The Guardian menunjukkan bahwa para peneliti telah menemukan bahwa selama 50 tahun terakhir, warna burung hantu kuning kecokelatan di Finlandia berubah menjadi jauh lebih cokelat. Musim dingin yang lebih hangat menyebabkan burung hantu cokelat ini berkamuflase dalam kondisi lingkungan baru.

7. Hama tanaman jagung yang kebal dengan tanaman hasil rekayasa genetika

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiailustrasi hama cacing akar jagung (pixabay.com/Brett Hondow)

Genetically modified organism (GMO) adalah rekayasa genetika yang dilakukan terhadap tanaman. Beberapa contohnya bisa dilihat dari jagung dan biji-bijian yang diproduksi pabrik. Namun, rekayasa genetika ini terkait langsung dengan evolusi hama utama tanaman jagung, yaitu cacing akar jagung.

Pada 1996, banyak perusahaan yang mengira bahwa mereka berhasil membasmi cacing akar jagung ini saat meluncurkan produk jagung Bt (jagung hasil rekayasa genetika yang telah diisi gen dari bakteri Bacillus thuringiensis) atau secara genetik dimodifikasi untuk meracuni cacing akar jagung. Tiga perempat jagung di Amerika Serikat termasuk dalam varietas ini. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, cacing akar jagung ini kebal terhadap racun tersebut.

Petani dan perusahaan pertanian disalahkan karena menanam terlalu banyak jagung. Hal ini mengakibatkan cacing akar beradaptasi dengan cepat. Para ilmuwan sudah menyadari hal ini, tapi diabaikan oleh perusahaan.

Dikutip laman The New York Times, perusahaan Monsanto di Amerika akhirnya memerangi cacing akar jagung yang telah berevolusi dengan interferensi RNA (mekanisme pada sel hidup untuk mengendalikan aktivitas gen). Namun, sebelum produk baru ini diluncurkan, perusahaan harus membuktikan kepada publik bahwa produk baru ini tidak beracun bagi manusia dan tidak beracun bagi cacing akar jagung. Selain itu, sangat mungkin cacing akar akan berevolusi menjadi kebal dengan cara apa pun.

8. Ikan Atlantic molly yang kebal terhadap racun dalam tradisi suku Meksiko

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan ManusiaIkan gua Meksiko telah berevolusi di penangkaran American Cave Museum, Horse Cave, Kentucky, AS. (commons.wikimedia.org/James St. John)

Ada tradisi suku tertua di Meksiko Selatan yang dirayakan oleh penduduk asli Zoque. Sejak zaman kuno, suku Zoque melakukan ritual dengan masuk ke gua belerang untuk meminta kepada para dewa agar musim hujan tiba. Ritual tradisi ini juga mengharuskan mereka pergi ke perairan di dalam gua dan memasukkan racun alami ke dalam air. Racun ini terbuat dari akar tanaman barbasco. Saat bangkai ikan mengapung ke permukaan, suku Zoque merasa bersyukur karena ikan tersebut akan menjadi makanan mereka untuk musim mendatang.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ikan di gua Meksiko ini sepertinya sudah muak dengan tradisi tersebut. Ikan ini, yang dikenal dengan nama Atlantic molly, dapat bertahan hidup saat berenang di perairan belerang yang dapat membunuh mereka. Dalam jurnal yang diterbitkan The Royal Society berjudul "Evolutionary biology: An indigenous religious ritual selects for resistance to a toxicant in a livebearing fish" tahun 2010, peneliti Gil Rosenthal dan Michael Tobler menemukan bahwa ikan gua yang tangguh ini berevolusi dan kebal terhadap racun barbasco. Terlebih lagi, ikan ini mewariskan kekebalannya kepada anak-anak mereka. Walaupun sudah kebal, ritual kuno ini kini dilarang.

9. Ikan salmon merah mudah yang bermigrasi karena perubahan iklim

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiailustrasi salmon merah muda (commons.wikimedia.org/Timothy Knepp)

Perubahan iklim global memulai beberapa adaptasi evolusioner pada ikan salmon sehingga ikan ini dapat bertahan hidup lebih baik di kondisi lingkungan yang juga telah berubah. Di Alaska, salmon merah muda harus menghadapi peningkatan suhu di sungai. Hal ini menjadi kondisi buruk bagi ikan karena suhu air yang panas membuat ikan rentan terkena penyakit.

Hebatnya, salmon merah muda ini mengubah pola migrasi mereka sebagai respons terhadap perubahan iklim. Penelitian dari University of Alaska Fairbanks menunjukkan bahwa salmon-salmon ini bermigrasi hampir 2 minggu lebih awal dibandingkan pada awal 1970-an. Ini menunjukkan bagaimana salmon merah muda ini menyadari lingkungannya yang bermasalah.

Studi yang dilakukan oleh ahli ekologi bernama Ryan Kovach dari University of Alaska Fairbanks telah menemukan bukti yang menghubungkan perilaku baru ini dengan adaptasi genetik pada ikan. Hal ini menunjukkan seleksi alam terhadap migrasi yang terlambat. Ya, ikan salmon tersebut memiliki faktor genetik, bukan sebuah kebiasaan.

10. Domba bighorn tidak lagi memiliki tanduk yang besar karena perburuan manusia

Berevolusi, 10 Hewan yang Mampu Beradaptasi dari Serangan Manusiadomba memiliki tanduk kecil karena evolusi (pixabay.com/Natalie Faulk)

Inilah hewan yang berevolusi dengan cara yang tidak terlalu disukainya. Semua itu karena serangan manusia. Domba bighorn (bertanduk besar) di Alberta, Kanada, memiliki tanduk yang sangat khas dan besar. Sayangnya, seperti halnya gajah afrika, tanduk besar tersebut menjadikan mereka target besar para pemburu sehingga menyebabkan seleksi alam dan menciptakan domba bertanduk lebih kecil.

Evolusi pada umumnya akan menghasilkan tanduk yang lebih besar. Tanduk yang lebih besar cenderung baik bagi pejantan yang ingin berkelahi, membela diri, atau pamer kepada semua domba betina. Namun, pemburuan yang dilakukan manusia menyebabkan hal sebaliknya.

Peraturan di Alberta menetapkan bahwa domba jantan hanya boleh diburu setelah tanduknya tumbuh setidaknya menjadi empat per lima lingkaran. Namun, domba jantan, yang telah mencapai tanduk sesuai ukuran ini, biasanya pada usia sekitar 5 tahun masih belum mencapai puncak reproduksinya. Ini berarti bahwa pada saat domba diburu, mereka mungkin belum memiliki anak, bahkan kawin. Sementara itu, domba jantan yang lebih kecil dan bertanduk lebih kecil cenderung tidak diburu sehingga menghasilkan lebih banyak keturunan dan mewariskan gen yang lebih kecil ke generasi berikutnya.

Tidak hanya manusia yang harus dan bisa beradaptasi di lingkungan baru yang tidak nyaman. Hewan sebagai makhluk hidup pun sama. Hewan harus beradaptasi di lingkungan terburuk sekalipun, lingkungan yang bahkan bisa membunuhnya. Adaptasi inilah yang akhirnya diwariskan ke generasinya sampai akhirnya menciptakan generasi yang lebih tangguh, seperti hewan-hewan di atas.

Baca Juga: 7 Fakta Menarik Kalajengking Kaisar, si Hewan Sosial Pemakan Rayap! 

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate. https://linktr.ee/ameliasolekha

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya